26 reviews for:

Larung

Ayu Utami

3.65 AVERAGE


"Ketika orang menjadi tua maka keindahan pergi ke luar dirinya. Pada saat itulah kita tahu rasanya memiliki mata untuk melihat kecantikan hidup dari luarnya sebab kita telah berjarak dari hidup. (..) Tapi menjadi tua adalah seperti bayangan yang pelan - pelan terlepas dari layar dan meninggalkan film yang terus berputar sementara ia terhirup ke kursi penonton dan menyaksikan cerita yang berjalan tanpa dirinya disana lagi. ( sebuah gedung bioskop, nak, adalah layar lebar yang bercahaya dan ruang pemirsa yang gelap daan luas; kita tahu banyak kursi meski kita tak melihat warnanya.) Ketika orang menjadi tua maka ia menjadi mata. Dan hanya mata. Tak ada lagi saya. Hanya mereka."

"Kalau kamu berseru pada dirimu, 'Berani! Berani Berani! Berani!..' kamu akan berani."

***

Masih lanjutan dari novel sebelumnya, Saman. Saya masih lebih suka dengan Saman, barangkali karena dulu merupakan eksperimen mencari bacaan yang "beda". Untuk sekarang rasanya membaca semacam Larung seperti kurang wah lagi. Namun saya tetap suka dengan Ayu Utami, Larung tetap salah satu tulisannya yang keren. Dengan gaya bahasa yang khas dan lugas, saya menikmati dalam membacanya.

Fakta-fakta Orde Baru yang ikut disampirkan pun memberikan kesan lebih menarik, juga ending yang khas, menggantung. Sayang, tak ada kelanjutan dwilogi.

Ada persamaan antara Larung dengan Saman. Sama2 lahir dari sesuatu yang mistis. Tapi Larung bener - bener membuat gue merasa ngeri.
Bahasanya sering buat gue nggak ngerti.

Adegan yang gue suka adalah saat dia ketemu sama sahabat si Neneknya. Di gua. Itu bagian yang gue suka.

Dan buku ini Ayu Utami banget. Tapi gue nggak suka ending si Laila sama Shakun. Sumpah!! Jijik gue -_-.

Ada persamaan antara Larung dengan Saman. Sama2 lahir dari sesuatu yang mistis. Tapi Larung bener - bener membuat gue merasa ngeri.
Bahasanya sering buat gue nggak ngerti.

Adegan yang gue suka adalah saat dia ketemu sama sahabat si Neneknya. Di gua. Itu bagian yang gue suka.

Dan buku ini Ayu Utami banget. Tapi gue nggak suka ending si Laila sama Shakun. Sumpah!! Jijik gue -_-.

Seriously, was that the best way to end this novel? With a frickin' cliffhanger? I thought it was gonna end well *sobs*

In terms of its writing, Larung is definitely more vulgar compared to Saman and man, her imagination is truly bizarre but it really suits the novel as a whole. I found it hard to understand some of the vocabularies used and it made me want to take an advanced class in Bahasa Indonesia. LOL. But overall, it was quite engaging although there were a few letdowns.

Akhirnya selesai juga. Ini buku paling males saya baca sebenernya. tapi dipaksain buat selesai.

Nggak terlalu suka cara ayu utami menulis. fokusnya nggak jelas. terlalu banyak tema yang diangkat. banyak analogi yang melebar kesana kemari terhadap hal-hal kecil yang kurang penting.

awal ke tengah sama sekali berbeda dengan tengah ke akhir. sebagus-bagusnya unsur ekstrinsik yang coba ayu utami sampaikan, tetep aja saya nggak bisa nikmatin.

Agak susah memang sekarang untuk mendapatkan lanjutan dari buku Saman ini. Setelah membaca Saman, rasanya aku langsung ingin melanjutkannya untuk mengetahui apa yang terjadi setelah pelarian tersebut. Meskipun memang, pembaca sudah tahu bahwa Saman berhasil berpindah negara dengan bantuan 4 sahabat tersebut.

Resensi Lengkapnya

Kalau mau membaca Larung, pastikan kamu sudah membaca Saman. Kalau mau mengenal konsep feminisme dari sisi Ayu Utami, sila baca Larung.