4.02 AVERAGE


Telah beberapa waktu mengetahui sepak terjangnya sebagai maestro fiksi historis, ini pertama kalinya saya mencicipi karya Iksaka Banu. Dibuat ngiler oleh berbagai review atas dua novelnya, Sang Raja dan Pangeran dari Timur, akhirnya cicipan pertama saya jatuh pada kumpulan cerpen dengan konteks kolonial yang kental ini.

Kesan pertama membacanya, wow, saya tidak pernah membaca fiksi historis dari sudut pandang seperti ini dengan detail sedalam ini. Terbiasa membaca fiksi historis lokal heroik a la Pram, membaca cerpen2 di sini seakan menggiring saya ke dalam cara berpikir para warga negeri asal kolonialisme itu. Cara berpikir yang tak jarang memuakkan penuh kebanggaan supremasi bangsa kulit putih terhadap jajahannya, namun juga tak jarang melahirkan simpati; ternyata memang tak semua setuju dengan pemerintahan mereka, & tidak sedikit yang terpaksa patuh, mau tak mau melaksanakan tugas negara untuk tetap menyintas.

Tiga belas cerita pendek di sini membawa kita menyelami "bule2" (atau para Indo yang memiliki unsur bule juga) yang jalan hidupnya bersinggungan dengan Hindia Belanda. Prajurit penjajah, pelaut, pendeta, pembelot, sosialita, ibu rumah tangga, istri petinggi. Interaksi khas mereka dengan warga pribumi, entah mereka yang tunduk untuk dijajah, mereka yang berperang & bertarung, pun yang ditundukkan, juga mereka yang berasimilasi untuk panjat sosial maupun mencari selamat di tengah dominasi kolonial.

Iksaka Banu sukses membiuskan humanisme bahkan di kalangan kolonial. Bahwa penjajahan tidak pernah hitam putih. Tak jarang, semuanya menjadi abu2. Seperti cerpen favorit saya, "Teh dan Pengkhianat" ketika panglima perang andalan Diponegoro bersekutu dengan pihak penjajah & membuat para prajurit kolonial ketakutan akan terjadinya pengkhianatan. Atau "Tawanan", ketika justru prajurit Belanda membelot & ikut menyiksa mantan kawannya.

Setiap kisah punya keunikannya masing2, namun ada satu kesan yang tetap kuat: bahwa yang di kubu penjajah juga adalah manusia. Yang di sana pun juga bisa menjadi korban sistem, walau mungkin tidak menghadapi opresi.

Jadi, siapa kawan & siapa lawan? Entahlah.

Membaca [b: Semua untuk Hindia|22175715|Semua Untuk Hindia|Iksaka Banu|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1400467077l/22175715._SX50_.jpg|41523377] beberapa tahun lalu, saya terpukau. Buku itu bisa saya selesaikan seharian saja.

Buku ini, walau kisahnya membentang dari masa VOC membantai penduduk Banda tahun 1600-an hingga zaman nasionalisasi perusahan Belanda di Indonesia tahun 1950-an, ternyata perlu waktu lima hari untuk saya baca.
informative reflective fast-paced
Plot or Character Driven: A mix
Strong character development: Complicated
Loveable characters: Complicated
Diverse cast of characters: Yes
Flaws of characters a main focus: Complicated
medium-paced
emotional inspiring fast-paced
Plot or Character Driven: A mix
Strong character development: Yes
Loveable characters: Yes
Diverse cast of characters: Complicated
Flaws of characters a main focus: Complicated

Awalnya cukup berat buat ngikutin karena belum pernah baca hisfic dengan latar belakang kolonial, tapi ternyata semakin ke belakang malah ceritanya semakin menarik - karena tiap cerpennya juga ngikutin timeline dari awal indonesia mulai dijajah sampai indonesia merdeka. Banyak banget pengetahuan baru dari cerpen ini (yang bikin lanjut googling) misalnya tentang roehana koddoes, bantuan partai komunis australia dalam proses kemerdekaan indonesia, dsb. Such an eye opening book

Cerita yang paling berkesan: Variola dan Kereta Angin.

11-12 dengan Semua Untuk Hindia. Iksaka Banu masih berkutat dengan cerita yang memakai sudut pandang orang Belanda di masa Hindia Belanda. Kali ini cerita yang ada di sini cenderung underwhelming bagi saya. Mungkin karena cerita seperti ini sudah berhenti jadi hal yang baru. Suara dan pemikiran yang disampaikan pun tidak beda jauh dengan buku sebelumnya: ada orang belanda yang anti-kolonialisme dan humanis.

Aku bukan tipe pembaca yang suka kumcer, tapi aku akui kumcer yang ini jadi pengecualian. 4.2 jadi rating final-ku untuk buku ini.

Mungkin karena buku hisfic ini mengambil latar era kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, yang aku rasa sangat menarik karena beberapa hisfic yang aku baca —yang sering disebut dalam komunitas buku— lebih sering berlatar periode pemerintahanan Soeharto. Karena masih "asing" dengan sejarah pendudukan Belanda di negeri ini, informasi-informasi baru tentang peristiwa penting dan tokoh-tokoh berpengaruh di era itu cukup membuatku tertarik dan betah menghabiskan buku ini.

Selain itu kemenarikan buku ini juga terletak pada bagaimana protagonis-protagonisnya adalah orang Belanda. Buatku ini menarik karena sang penulis memposisikan diri dengan cara yang berbeda dalam menunjukkan sejarah Indonesia.

Jika biasanya aku cukup lelah membaca kumcer karena adaptasiku dalam peralihan ceritanya —terkadang ada cerpen yang sangat menarik tapi ada juga yang biasa saja juga— , buku ini tidak memberi kesan melelahkan sama sekali.

Ya intinya ini adalah bacaan yang menarik.
challenging dark emotional medium-paced
Plot or Character Driven: A mix
Strong character development: No
Loveable characters: Complicated
Diverse cast of characters: Yes
Flaws of characters a main focus: No

Benar-benar membuka mata karena banyak hal yang baru saya ketahui. Apalagi tulisan ini ditulis dari sudut pandang yang tak biasa, dari yang berlawanan dengan Bangsa Indonesia dan semua ini konflik2 mereka. Ofc emosi yang terasa dari buku ini adalah kesal karena yah, saya sendiri kan rakyat Indonesia dan kayak nggak terima atas pemikiran2 mereka. Tapi namanya penjajah ya, ofc mereka semena2. Saya suka gaya penulisan di sini!

Minusnya ... ada beberapa kurang detail, tapi kembali lagi, karena buku ini 'kumcer' jadi kedetailan dapat diabaikan.
adventurous emotional informative lighthearted mysterious medium-paced