Reviews

Queer etc. by dkk, Abigail A.

tikaw's review

Go to review page

4.0

Penuturan yang menarik tentang queer dan kaum progresif di Indonesia. Tidak semata bercerita tentang "struggles", Dede Oetomo ikut menyeimbangkan narasi memanusiakan Queer.

itzreibrary's review

Go to review page

5.0


“…tak ada panduan formal dan informal untuk menjadi transgender. Kami terpaksa menelusurinya sendiri, diam-diam, sambil diteror oleh kebencian orang-orang. Saya tidak pernah mendengar ada orang tua yang menjadikan beberapa transgender yang sukses di industry kreatif atau bidang politik sebagai figure bagi anak-anaknya. Mereka hanya menyorot sisi gelap, menyajikan kasus-kasus criminal yang melibatkan orang-orang seperti kami. Menjadi transgender tidak pernah tersedia sebagai pilihan, kita dituntut nekat memerdekakan diri sendiri untuk menempuh jalur tersebut.” -hal 43, Gerilya oleh Abigail A.

“…banyak orang yang ingin bahagia terkendala nilai atau kultur yang secara turun-temurun sudah diajarkan. Sayangnya, definisi kebahagiaan jadi kabur bagi mereka yang hidup di zaman sekarang karena ada tekanan soal bahagia dari sudut pandang orang zaman sebelumnya.” -hal. 61, Memilih Jalan Berbeda dan Tetap Bahagia oleh Diana Mayorita.

“Queer tak hanya soal identitas, tetapi soal bagaimana mengkritisi segala sesuatu yang dianggap normal. Standar normal itu sebenarnya wajib untuk dipertanyakan kembali.” -hal. 68, Memilih Jalan Berbeda dan Tetap Bahagia oleh Diana Mayorita.

“…pernikahan bukan soal perayaan, tapi soal penghayatan.”
“…komunikasi yang serara adalah fondasi penyelesaian segala konflik.”
“Kita tentu punya definisi berbeda soal bahagia, tetapi kita tak boleh lupa bahwa kita juga punya hak yang sama untuk memperjuangkannya.” -hal. 70, Memilih Jalan Berbeda dan Tetap Bahagia oleh Diana Mayorita.

“Penerimaan di masyarakat sama dengan hidup tenang. Menjadi aneh sendiri atau anomaly sama dengan hidup dengan penderitaan. Masyarakat Indonesia masih susah sekali menerima perbefaaan. Beda dikit pasti langsung dituduh kafir, kurang iman, kurang dekat dengan Tuhan, pendosa, dan lain-lain.” -hal 95, Mutilasi Diri oleh Ardhana Rishvara.

“…manusia tidak sesimpel label yang disematkan kepadanya oleh masyarakat. Terlalu banyak variable dalam seorang individu sehingga sebaiknya kita tidak berkutat pada simplifikasi akan label-label serta istilah-istilah yang merendahkan seperti ‘ngondek’, ‘jeruk makan jeruk’, atau ‘sakit’.” -hal. 141, Keputusan Terakhir Arjuna, oleh Arjuna.

“Kita bukan hanya gandrung dengan kategori, kita gandrung menciptakan kategori. Kita kerap kali merasa butuh menjelaskan diri kita dalam kategori-kategori yang ajek. Padahal kategori-kategori ini justru hadir sebagai bentuk belenggu yang seringkali membuat kita menjadi kebingungan. Hal-hal seperti ketertarikan, imajinasi, dan hasrat, saya pikir, tidak selalu dapat dijelaskan oleh kosakata yang sering kali sangat terbatas.” -hal. 173, Merawat Harapan dalam Keterasingan oleh Agnia Sambara.

“Di satu sisi, saya tentu ingin orang-orang dengan seksualitas yang non-normatif dapat mendapatkan hak-hak yang sejatinya kita miliki. Di sisi lain, saya paham bahwa pengakuan atas hak-hak ‘kita’ mengharuskan Lembaga negara menginstitusionalisasikan seksualitas dan menyadurnya menjadi kategori-kategori yang bisa diklasifikasi dan diberi nama (hal yang terbukti menyulitkan). Maka untuk saat ini, saya kira yang dapat kita lakukan adalah terus merawat harapan. Membayangkan, dan terus bergerak, agar kita dapat mewujudkan masa depan yang lebih adil, meski harus selalu dilakukan dalam keterasingan.” -hal. 174, Merawat Harapan dalam Keterasingan oleh Agnia Sambara.

“…konsep tauhid, salah satu ajaran yang paling mendasar dalam Islam, yaitu keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, bukan berarti bahwa agama lain salah, melainkan menegaskan bahwa selain Tuhan, semuanya adalah makhluk, dan sebagai makhluk, kita semua setara.” -hal. 206, Pakaian, Iman, dan Identitas oleh Kolektif As-Salam.

“Esai-esai dalam buku ini menawarkan cerita-cerita unik dari setiap individu, meyakinkan kita semua bahwa setiap orang berbeda, dan mengalami tubuh, gender, dan seksualitas yang tak selalu bisa diutarakan dalam bahasa yang sama.” -hal 224, Epilog oleh Hendri Yulius Wijaya.


aldysatria's review

Go to review page

4.0

Menelisik ulang bagaimana payung 'queer' di tengah masyarakat. Buku ini berhasil membuka wawasan tentang payung queer ini dan bagaimana bisa di-relate di Indonesia. Queer lebih dari sekedar seksualitas dan gender di tengah kehidupan normatif yang sudah diformulasikan, namun juga bagaimana yang sudah 'normal' tetap mendapatkan tekanan normatif pula. Pondasi awal yang bagus untuk menumbuhkan ketertarikan terhadap teori queer.

pemangsya's review

Go to review page

4.0

kumpulan essai yg bisa dibilang merupakan curahan hati (serasa baca thread twitter dan seru buat diikutin) dan sangat menyuarakan kehidupan para queer di indonesia

betapa rumit kehidupan mereka di tengah stigma masyarakat yg bikin gerah seperti anggapan hanya mementingkan sex, sengaja caper, hingga masyarakat yg menekan jati diri mereka karna sumber petaka

adn_'s review

Go to review page

informative reflective medium-paced

3.75

wistereads's review

Go to review page

4.0

Senang sekali ada buku terbitan lokal yang membahas tentang queer!

Buku ini menggunakan istilah 'queer' yang maknanya tidak terbatas dan tidak mengotak-ngotakkan identitas seseorang. Persis yang dikatakan salah satu dosen gender di kampus: Ketika menggunakan istilah transgender, apakah kita mengeksklusi transeksual? Bagaimana dengan non-binary gender? Jadi, istilah queer sangat sesuai dan sudah seharusnya lazim untuk digunakan.

Queer, etc berisi 18 esai naratif dari penulis queer maupun yang hidupnya beririsan dengan orang-orang queer. Masing-masing membagikan pengalamannya yang beragam.

Salah satu hal menarik yang diangkat dalam beberapa esai adalah melela (coming out), masa transisi, serta pengalaman disforia tubuh. Seperti dalam esai Not Somewhere in Between karya Alvi A. H. yang merasa dirinya sibuk dilabeli identitas oleh masyarakat—tak terkecuali kelompok queer sendiri. Padahal, label identitas masih terbatas dan tidak semuanya cocok dilekatkan pada seseorang. Dalam hal ini, kita diajak mengingat kembali istilah queer yang membuka ketidakterbatasan.

Ada juga cerita dari penulis ODHA seperti dalam esai Menjadi Positif karya Amahl S. Azwar dan Merawat Harapan dalam Keterasingan karya Agnia Sambara. Perjuangan mereka berdamai dengan kondisi fisik dan stereotip masyarakat terhadap ODHA patut untuk dipahami.

Tema lain yang dibahas adalah embodiment atau ketubuhan. Beberapa memilih untuk melakukan tindakan medis, namun beberapa lainnya memilih untuk mempertahankan tubuh mereka. Semua pilihan tentu saja valid dan menjadi otoritas masing-masing.

Nyatanya, pengalaman orang-orang queer sama berharganya dengan pengalaman lainnya. Buku ini dapat membantu orang-orang cisgender dan heteroseksual memahami sebagian dari pengalaman hidup yang tidak kita alami.

Padahal, kami tidak hanya hidup di film biru dan menjajakan seks kilat melalui aplikasi kencan. Kami juga membaca buku di perpustakaan, mengantre untuk menggunakan transportasi umum, pergi ke tempat suci, sama seperti manusia pada umumnya.
More...