Reviews

Saman by Ayu Utami

karinlib's review against another edition

Go to review page

I am not sure how to rate this book. I thought the character of Saman (not his real name) was interesting and the early part of his story was the best part of the book. I felt that the book wasn't complete.

celinafaramitha's review against another edition

Go to review page

4.0

Tentang tampilannya;
Saya perhatikan di halaman editorial Ayu Utami selalu melukis sendiri sampul bukunya. Patutlah kita memuja lukisan kaca di sampul buku ini yang seolah bertema Adam and Eve ini :3 Baguuuus sudah pintar nulis, pintar menggambar. Lulusan FS UI memang top huanjay.

Tentang penulisnya;
Woooow, ini buku-buku genre sastra wangi Ayu Utami yang membuat saya tidak kapok untuk beli nantinya(kebetulan ini saya pinjam).

Saya kagum dengan penulisnya yang riset mati-matian(sepertinya) untuk mendapat info mengenai lifting crude oil-offshore. Yang bahkan beliau tahu nama-nama alat yang digunakan untuk pengeboran minyak laut lepas seperti crane, rig atau lempeng bumi yang cocok untuk digali, karst dst *applause. Saya suka orang yang totalitas buat karya-karyanya. Profesional banget. Selain alat-alat perminyakan, beliau juga mengumpulkan banyak sekali bahan untuk mengerjakan bagian kehidupan pastoran dan seluk-beluknya. Juga mungkin sedikit untuk suasana NYC, terutama di central park. Bahkan dia tahu ada kedai kopi Rusia yang enak di persimpangan jalan atau bagian Central Park yang berlokasi di dekat patung Colombus.

Tentang bukunya;
Buku ini punya banyak tokoh, satu tokoh utama, sisanya pembantu utama. Saman/Wisanggeni adalah tokoh utama, sama seperti judul buku ini sendiri punya sifat yang sulit sekali ditebak. Sepertinya golongan darahnya AB. Sedangkan, Laila, Sihar, Shakuntala, Yasmin merupakan tokoh pembantu utama. Mereka tidak bisa dianggap remeh, karena masing-masing punya sudut pandang dan berperan penting sekali dalam ceritanya. Ada juga tokoh selingan yang hanya disebut, yakni Cok.

Segaris dengan apa yang saya senggol di atas, semua tokoh baik utama maupun pembantu utama memiliki waktu untuk bercerita lewat sudut pandangnya sendiri. Yang membuat saya muntah pelangi adalah kemampuan AU untuk membuat gaya bahasa yang berbeda dari masing-masing karakter. Wuedyan. Kerasa banget, aura orag yang berbeda. Yang paling saya sukai adalah Shakuntala yang menyampaikan segalanya lewat perumpamaan, Shakun sifatnya pemberontak dan sangat unik, merenggut keperawanannya sendiri dengan sendok teh -_-" Sementara Laila orangnya suka bermonolog dalam hati, Yasmin ngomongnya dicampur-campur bahasa Inggris tipikal wanita yg jarang cerita-cerita kehidupan pribadinya, kalau Saman gaya bahasanya muter-muter ala filsuf. Asik! Bukan cuma ganti sudut pandang biasa. Istilahnya pun ganti, gaya bahasa ganti. Gilaaaaak, ini baru masterpiece--mahakarya. Fyi, novel Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar(mungkin 3 tahun di zaman dahulu ya).

Yang membuat saya ngasih 4 instead of 5 stars adalah saya tidak bisa menemukan sumber permasalahan di buku ini. Tampaknya, semuanya berjalan seperti arus tapi pointless, saya gak nemu inti problem, klimaks apalagi antiklimaks. Endingnya sangat menggantung seperti tetek nenek lampir. Mungkin karena buku ini dwilogi.

Saya kira topik awal adalah kemanusiaan ala-ala birokrat orde baru karena buku ini ditulis di zaman itu, antara Sihar dan atasannya Rossano, lalu Sihar dan Laila mencari Saman yg notabene aktivis untuk membantu menggugat Rossano ke pengadilan dan menjebloskannya ke penjara. Tapi ternyata kasus itu langsung selesai begitu saja dengan rangkaian kalimat. Sisa buku ini hanya membahas roman. Antara Laila yang suka Sihar-pria beristri, memiliki cinta lama yakni Saman yg dulunya selibat karena masuk pastoran. Tapi sekarang Yasmin yang menggoda Saman(mereka kerap sexting), tapi sejatinya dia wanita bersuami(yang tampaknya suaminya mandul). Tapi kuartet sahabat sejak kecil itu, Shakun, Laila, Cok tidak mengatahui kisah cinta terpendam Yasmin. Yah, cecintaan.

Oh, iya ada satu hal yang menjijikkan tapi akhirnya gak menjijikkan juga. Saman pernah sayang dengan Upi. Gadis cacat mental umur 21 tahun yang fetisis. Suka bersenggama dengan pagar, bambu, pohon, memperkosa kambing, bebek, pokoknya semua hal dimasukkan ke selangkangan. Tidak jarang juga orang yang memperkosanya, tapi sepertinya dia menikmati -_- Terpaksa gadis ini harus dipasung tapi Saman amat menyayanginya dan kerap memikirkan gadis ini -_- Acrotomophilia mungkin? Birahi memuncak ketika melihat orang cacat.

Yah kesimpulan-> ini hanya buku cinta-cintaan pada umumnya, TAPI dikemas dgn superkeren.

***
Seperti biasa saya akan menulis kutipan asyique yang merasuk ke hidup(meh :/), kali ini agak banyak daripada biasanya:

"Tapi ia tak bisa lagi berdoa untuk itu. Setelah semua kepedihan ini, agaknya Tuhan memang tak menyelamatkan mereka. Tak mau, atau tak sanggup. Atau Dia memang tak ada." -Saman, hlm. 109-

"Tapi mencari suami memang seperti melihat-lihat toko perabot untuk setelan meja makan yang pas buat ruangan dan keuangan. Kita datang dengan sejumlah syarat geometri dan bujet. Sedangkan kekasih muncul seperti sebuah lukisan yang tiba-tiba membuat kita jatuh hati. Kita ingin mendapatkannya, dan mengubah seluruh desain kamar agar turut padanya. Laila selalu jatuh cinta pada lukisan, bukan meja makan." -Shakuntala, hlm. 130--131-

"Tapi kemudian aku tak peduli lagi. Sebab sebuah karya tak harus lahir dari perasaan yang sama atau yang bersetuju. Ia adalah muara dari sungai-sungai, yang sebagian mengandung polusi, juga bangkai." - Shakuntala, hlm. 145-

"Kukira, kita seharusnya sudah mesti belajar dari kelemahan aksi massa. Ribuan orang yang berkerumun akan dgn segera berubah menjadi kawanan dgn mentalitasnya yg khas: satu intel(atau bukan intel) bersuara lantang menyusup lalu berteriak dgn yakin, dan manusia-manusia itu akan menurut, seperti kawanan kambing patuh pada anjing, tak bisa lagi membedakan mana herder mana serigala." -Saman, hlm. 173-

"Apapun alasannya, betatapun telah panjang penyebabnya, kekerasan yang kita lakukan akan dibilang teror liar. Dan kita akan dianggap kriminal atau sebversif. Sementara kekerasan yang dilakukan polisi dan tentara disebut tindakan legal demi keamanan atau pembangunan. Itulah yg dinamakan hukum." -Saman, hlm. 173-

Terimakasih sudah membaca ulasan saya sampai habis ^_^v
Terimakasih Sari, sa su dipinjami ini buku epik.

battramsysni's review against another edition

Go to review page

adventurous emotional hopeful inspiring mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.25

freddie's review against another edition

Go to review page

5.0

The prose and the story are mesmerizing and sensual. This book explores character motivations really well. Different sections of the book take different forms and POVs, so reading this was very exciting.

yuusasih's review against another edition

Go to review page

3.0

Tertarik untuk membaca cerita ini begitu melihat versi bahasa Inggrisnya di Times Bookstores UI dan akhirnya menemukannya waktu iseng menyelinap di antara rak-rak buku perpustakaan pusat UI. Jadi, yah... why not?

Saya suka gaya penuturan Ayu Utami yang gamblang. Setting yang sangat Indonesia, tetap timur walaupun menceritakan mengenai barat, dan kisah yang semacam memberikan angin segar bagi paradigma saya mengenai novel Indonesia (yang biasanya hanya berkutat di sekitar kaum jet set atau remaja labil yang bercinta lebih parah daripada burung). Pesan-pesan tersirat yang sangat halus mengenai ideologi, politik, feminisme, dan agama juga mendapat acungan jempol dari saya.

Masalahnya hanya pada tema yang menurut saya tidak mempunyai pusat konflik. Kisah ini hanya seakan menceritakan mengenai empat wanita dan seorang mantan pastor, yang bahkan konfliknya tidak terlalu berhubungan kecuali persahabatan (atau hubungan percintaan mereka). Kesannya hanya jadi seperti Laila jatuh cinta setengah mati pada Sihar yang oh, ternyata mempunyai masalah di pekerjaannya (dan istrinya) sehingga mereka akhirnya berkenalan dengan Saman. Lalu masuklah bab mengenai masa lalu Saman, lalu tiba-tiba kembali ke Laila, di New York kali ini, yang membuat kita berkenalan dengan Shakuntala dan masalahnya, lalu kembali ke Saman yang kabur dari Indonesia dengan bantuan Yasmin dan Cok. Lalu tamat. Begitu saja.

Ada banyak masalah yang pada akhirnya dibiarkan mengambang seakan pembaca diberi jatah satu novel sendiri untuk menentukan nasib kelima tokoh ini selanjutnya. Dan, well, saya tidak mau kalau harus membuat satu novel tersendiri hanya untuk mencoba menjawab masalah-masalah yang menggantung di udara buku tersebut. Jadi, yah, saya memutuskan untuk berhenti protes dan menutup buku itu tepat di kalimat akhir mengenai Saman yang minta diperkosa. Saya juga memutuskan untuk tidak menanyakan mengenai tema besar kisah ini. Cukup buka tiap halamannya dan nikmati cara Ayu Utami menyihir saya dengan rangkaian katanya.

A nice read with nice writing style, but not that amazingly grip my attention. But still a nice read, though.

zeezah's review against another edition

Go to review page

3.0

all over the place but okay

syifaghifary's review against another edition

Go to review page

4.0

Buku kedua dari karya beliau yg aku baca. Dulu pertama kali baca karyanya yg Bilangan Fu dan memang selalu menggelitik pikiran juga hati.

"Waktu adalah hal yang aneh sekali. Bagaimana dia bisa memisahkan kita dari kita di masa lalu?"

astalaa's review against another edition

Go to review page

dark emotional reflective fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.5

Saman
by Ayu Utami 

⭐4,5
Cerita yang berlatar tahun 90an atau di masa rezim orde baru. Mengangkat isu mengenai politik, sosial, KKN, perampasan lahan, serta isu agama, sensualitas dan seksualitas. 

Novel yang bagus, dengan kepenulisan yang menurutku unik dalam menggambarkan kevulgaran didalamnya. 


itzreibrary's review against another edition

Go to review page

4.0

mungkin banyak yang menyebut buku ini vulgar ya? Saru, porno, ga mutu, bahkan anti-Islam (yang saya tak paham. Soalnya Saman itu Katolik). Padahal kalau kita lihat melampaui hal itu, banyak yang disampaikan oleh buku ini. Isu politik, rasial, feminisme, sexual abuse, sampai pelanggaran HAM. Kalau ditanya kenapa musti memasukkan unsur roman bahkan seks? Well, bukankah seks itu fitrahnya manusia? Justru adanya unsur-unsur tersebut bagi saya malah semakin menggarisbawahi sisi kemanusiaannya. Pada akhirnya, semuanya manusia. Bukan robot.
.
.
.
Surat Yasmin tentang Adam dan Hawa...menurut saya disampaikan dengan halus dan indah. Jangan dulu terburu nafsu (maksudnya nafsu disini marah yaa), menurut saya itu hanya imajinasi penulis saja kok. Ini kan buku novel. Kecuali kalau konteksnya beda, maka silakan lakukan penelitian lebih lanjut. Tapi ini cuma fiksi kok. Yang dihayati, metafor-metafornya yang indah itu.

courtraemck's review against another edition

Go to review page

1.0

Needless to say, this book slowed me down... It would have been more interesting broken into a few short stories, and some parts of the plot were more underdeveloped than others, which felt incomplete. And the ending left no satisfaction toward any of the plot I was invested in.