Reviews

The Year My Life Went Down the Loo by Katie Maxwell

sasha_in_a_box's review

Go to review page

4.0

Hilarious. A total guilty pleasure (taking a break from the slog that is Water Music)

celandine's review

Go to review page

2.0

I'll admit, I picked up the book in hopes that it'd be similar in wit and style as the Georgia Nicholson series or even Adrian Mole. Sadly, I was mistaken. I got half way through this book before I had to put it down and vowed not to pick it up again. Within pages, I found the main character, Emily, to be extremely irritating, self-centered, and not the least bit funny or witty. Her whiney attitude and inability to get over herself and see any good in her new situation pushed me over the edge. She is a bundle of American teenage stereotypes and not even the good ones (who even says "coolio" anymore, for heaven's sake?) Details that I wish were further expanded on weren't (why does she call her father "Brother"?) and I became bewildered and stuck on these details that could have been glossed over even briefly. The British diary-esque style that I think the author was trying for fell flat and the "American twist" couldn't rescue it.

jpowers13's review

Go to review page

2.0

This book is probably one of my favorite books of all time. I read it in highschool and now that I am almost 30 I still think it's hilarious. in fact anytime I am at a book store I loom for anything Katie Maxwell has written! I'm obsessed! It literally made me laugh out loud!

carradinedk's review

Go to review page

4.0

It was hilarious! Really enjoyed this book!

dreamydaenys's review

Go to review page

5.0

I would die if this happened to me. But it would be a great experience too. I recommend this book to everyone and also Sk8er Boy by Mari Mancusi.

missylynne's review

Go to review page

3.0

Read years ago, but decided to do a reread. Not as good as before, but then again I read it years ago and had different taste in reading material.

nighttimesecrets's review

Go to review page

5.0

I read this book countless times due to it's lightly weighted humor. I love the way it's written, the excellent choice of title, and the love story that never happened.

hopevollm's review against another edition

Go to review page

funny lighthearted medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

I loved these books when I first read them in like 2004. And let tell you, they are still funny as f. 

Emily is hilarious. The books are written in email format and just flow really well. Em and Co also deal with realize issues (sex, family problems, how to say no) that I think are still relevant.

gomamonshinka's review against another edition

Go to review page

4.0

Emily Williams merasa hidupnya seperti terjatuh ke dalam toilet. Ia merasa sial, sejak ayahnya, pakar sejarah abad pertengahan, mengajaknya beserta ibu dan kakak perempuannya tinggal untuk sementara selama setahun di London demi mengadakan penelitian tentang sejarah. Akibatnya, Emily terpaksa meninggalkan sahabat baiknya, Dru, dan kehidupannya yang serba terpebuhi di Seattle.

Hari pertama Emily tiba di rumah baru mereka di Piddlington-on-the-Weld—well, itu nama kota tempat mereka tinggal—Emily dihebohkan dengan hantu pakaian dalam, yang membuat pakaian-pakaian dalamnya yang sudah ia tata rapi di laci berhamburan dan berserakan di mana-mana di kamarnya. Bukan main bencinya Emily tinggal di London. Apalagi, setelah ia tahu letak mall dan tempat-tempat hang out lainnya tidak begitu dekat dengan rumah tempat tinggalnya, ia serasa tinggal di daerah terpencil, tanpa mall, tanpa bioskop, tanpa tempat nongkrong, dan tinggal bersama orang tuanya yang menurutnya aneh. Dan hantu pakaian dalamnya.

Sampai suatu hari, dekan universitas tempat ayahnya bekerja berkunjung ke rumahnya. Dan ia membawa anak laki-lakinya yang seusia Emily, bernama Aidan. Aidan merupakan siswa sixth-form di sekolah Gobbotle, tempat Emily juga akan bersekolah, hanya saja sebagai siswa fifth-form, yang artinya Emily akan menjadi junior Aidan walaupun mereka sebaya. Sejak pertama kali bertemu dengan Aidan, Emily sudah suka dengan Aidan yang menurutnya tampan, seksi, dan dewasa. Terlebih lagi Aidan langsung mengajaknya ke tempat-tempat hang-out yang ada di daerah London, dan mengenalkannya pada teman Aidan yang sudah kuliah. Ada Devon yang playboy, dan Fang yang pendiam. Keduanya juga sama-sama tampan. Menurut Emily, Aidan pasti tertarik dengannya seperti ia tertarik dengan Aidan. Tapi, saat mereka sedang asyik-asyiknya mengobrol, muncullah cewek cantik yang langsung saja menempel seperti perangko pada Aidan. Cewek ini bahkan memanggil Aidan dengan ‘Sayang’. Mau tak mau, Emily merasa cemburu walaupun ia baru sebatas naksir Aidan.

Di sekolah barunya, sama seperti kebanyakan murid baru lainnya, Emily langsung saja menjadi bulan-bulanan beberapa murid yang menganggapnya Cewek-Pirang-Amerika-Yang-Tentu-Saja-Bodoh. Beruntung kepala sekolah barunya juga tak ambil pusing mengenai kenakalan-kenakalan remaja yang biasa terjadi. Hal paling banter yang diberikan kepala sekolah kepada Emily sebagai hukuman adalah membersihkan lorong sekolah atau kamar mandi selama beberapa hari. Dan ditunjuk sebagai ketua panitia Perayaan Pesta Halloween di sekolah barunya. Beruntung juga, Emily mendapatkan teman yang walaupun sedikit pendiam tapi menurutnya pas dengannya, Holly. Dan juga Emily satu sekolahan dengan Aidan, walaupun tidak sekelas, sehingga Aidan bisa mengenalkan beberapa teman ceweknya yang asyik kepada Emily.

Semuanya berjalan lancar bagi Emily, ia tak terlalu memusingkan adanya masalah-masalah yang timbul karena teman-teman barunya yang usil, dan hantu pakaian dalamnya. Terlebih lagi Aidan sepertinya juga menunjukkan rasa ketertarikan terhadap Emily. Suatu malam, Aidan mengajak Emily ke suatu club. Aidan berjanji pada ayah Emily bahwa ia akan memulangkan Emily sebelum larut malam, dan tak akan mengantar Emily pulang dengan keadaan mabuk. Sesampainya di club, Emily bertemu dengan Devon yang—tentu saja—bersama dengan dua orang gadis, dan Fang yang—juga tentu saja—sendirian. Tak beberapa lama, ternyata Aidan melupakan janjinya, ia mabuk berat. Saking mabuknya Aidan, ia malah menghujani Emily dengan ciuman-ciuman a la orang mabuk yang tentu saja menjijikkan, Aidan bahkan menarik tangan Emily dan mengarahkan ke selangkangannya. Emily yang—untungnya—masih sadar jelas sekali menolak. Aidan kecewa, marah, dan menolak untuk mengantar Emily pulang. Emily pun pulang diantar Fang. Berjalan kaki.

Buku ini merupakan kumpulan email-email Emily kepada sahabat baiknya di Seattle, Dru. Walaupun merupakan kumpulan email-email, tapi pembaca nggak akan dibuat bosan membacanya. Biasanya orang akan cenderung bosan membaca novel yang berupa kumpulan-kumpulan catatan harian, atau apapun. Entah itu karena dalam satu catatan harian, tulisannya terlalu panjang, berbelit-belit, dan tidak straight to the point. Atau bisa juga karena kurangnya dialog yang tercantum di catatan tersebut. Jadi, saya nggak tahu sih, apa karena novel ini merupakan noval Teenlit, sehingga pembaca pun nggak akan bosan membaca catatan harian Emily. Dialog-dialog yang dicantumkan Emily di email-emailnya sama seperti novel-novel lainnya (yang ceritanya nggak berasal dari catatan-catatan harian semacamnya lah), ringan, enteng, lucu, dan benar-benar menyegarkan kalo aku bilang.

Satu lagi, hal yang nggak bikin pembaca novel ini bored adalah, adanya sedikit potongan balasan dari Dru. Kadang-kadang kan, di novel kebanyakan, email yang dicantumkan kan cuma milik tokoh utama aja, nggak ada balesan dari yang dikirimin email.

Jadi pertama saya suka banget sama penulis yang menceritakan Aidan dan Devon yang ternyata mesum abis. Maksudnya adalah kalo kebanyakan novel-novel teenlit—terutama yang ditulis sama penulis Indonesia, nih—terlalu sopan. Ini kan remaja, man. Dan ini dunia semakin modern dan semakin ‘nggak bener’, konyol aja ketika membaca ada orang pacaran dan yang paling banter mereka lakukan adalah ‘sekedar’ candle-light-dinner. Mengutip kata-katanya Mbak Clara Ng di twitter nih, ‘mereka nggak ML?’. Yah, walaupun di novel ini nggak hubungan fisik yang sampai sejauh itu, tapi tetap aja bisa bikin emosi pembacanya naik turun, menurutku sih ujung-ujungnya anti-klimaks. Kayak pas Emily yang memuntahi Devon pas Devon asyik-asyiknya menciumi leher Emily. Jadi, sejujurnya, ketika membaca novel ini, sedikit amaze juga, sih. Keren, lucu, dan bikin saya mikir, ‘nah, ini dia nih!’.

Berhubung saya penasaran sama hubungan Emily dengan ketiga cowok kece ini. Akhirnya saya sampai searching-searching lagi tentang lanjutan buku ini. Gimana-gimana ending buku ini nggantung, lo. Pembaca dibikin penasaran dengan ‘Apakah Emily akan tetep pacaran sama Aidan, atau Em bakalan sama Fang?’ hey, saya lebih setuju kalo Emily sama Fang lho! Oh iya, lanjut tentang pencarian saya, jadi emang ada beberapa seri lanjutan tentang buku ini, banyak deh kalo nggak salah, tapi tiap buku ini nggak dibikin bersambung kayak novel-novel serial lainnya. Jadi lebih mirip kayak serial Tvnya Supernatural, tiap episode itu beda cerita. Nah kalo serial ini, tiap buku beda ceritanya.

Oke, sembari saya menimbang-nimbang apakah saya akan membeli salah satu lanjutannya atau nggak, coba deh baca novel yang—kalo dipasarin di Indonesia—berlabel teenlit ini. Dijamin ketawa terus deh, dengan tingkah konyolnya Emily Williams.
More...