A review by veraveruchka
Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat by Galih Pandu Adi

5.0

Insya Allah rating 5 bukan karena bias berkat kenal dengan penulisnya (kalau beberapa interaksi dan komen-komenan di blog masing-masing bisa dianggap sebagai kenal, hehe).

Menurut Kak Galih dalam blognya (www.doadiputikkamboja.blogspot.com ayo berkunjung kalau belum pernah), puisi ini ditulis di antara 2008 dan 2012. Beberapa puisi tidak asing bagi pengunjung blognya, karena sudah pernah dipajang di sana, namun ada juga puisi yang belum.

Pada sebuah komentarnya di blog saya, Kak Galih berkata bahwa puisi itu lahir dari perasaan. Puisi menyentuh kita, tanpa kita tahu benar alasannya. Buat saya, puisi-puisi Kak Galih sendiri benar-benar mencerminkan kata-kata itu. Touching with a thousand butterfly touches which linger on your skin for a long time. Tengok saja sepotong bait dari sajak 'Saat Musim Tak Lagi Mencintai Kita' yang jadi salah satu puisi favorit saya di sini (juga sukses membuat teman-teman saya bermasygul ria saat saya pamer buku ini):
barangkali benar,
kita mungkin tak perlu banyak bertanya
kenapa aku mesti jadi angin yang memelukmu sedemikian rupa
lantas, saat kau berpaling
hanya ada sepi belaka

Untuk menginterpretasikan puisi-puisinya, saya kira itu akan kembali pada pengalaman apa yang dimiliki masing-masing pembaca, sehingga makna susunan sajak Kak Galih bisa berbeda-beda. Bagi saya, banyak di antaranya yang bercerita tentang cinta (atau otak saya sedang melulu berpikir tentang cinta). Hanya cinta di sini lebih banyak nuansa sendu, menunggu-nunggu. Mungkin memang sengaja suasana itu yang dibangun, sesuai judul bukunya 'Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat'. Perjumpaan, penantian, dan perpisahan adalah tema yang akrab dengan peron stasiun serta rel keretanya, namun 'Bangku Tunggu yang Memucat' seakan menyiratkan penantian yang mulai melelahkan, hampir siap untuk dilepaskan.

Cuma tafsiran amatir saya aja sih, hehe. Nggak apa-apa ya, negara bebas ini kan.

Intinya, membaca sajak Kak Galih dalam buku ini merupakan pengalaman yang...syahdu, kalau boleh saya bilang begitu. Ilustrasi di dalam bukunya mendukung suasana yang diciptakan masing-masing sajak. Apa lagi jika buku ini dibaca sambil menunggu. Mantap sekalilah masygulnya itu.

Yang paling penting setelah membaca buku ini, saya jadi ingin menulis banyak puisi. Siapa tahu, di masa depan saya juga bisa nulis buku puisi sebagus Kak Galih ini.

lelaplah lelap dan habisi segala duka lewat kelopak matamu.

kita memang mudah kalah dan rela dihabisi,
tapi kita belum selesai bukan?

kucium keningmu dalam pendar bulan dan sajak-sajak yang tanggal.


(dari sajak 'Sketsa Kelopak Mata dengan Pendar Cahaya Bulan')