You need to sign in or sign up before continuing.
Take a photo of a barcode or cover
ranerania 's review for:
Anak-Anak Kereta Api - The Railway Children
by E. Nesbit
The Railway Children ini cerita anak-anak yang manis, heartwarming, serta ringan. Aku hampir sama sekali nggak mikir waktu membaca novel ini, kecuali di beberapa bagian yang terjemahannya agak kaku dan kurang mulus.
Setiap babnya menyajikan petualangan baru, alurnya mudah diikuti, tokoh utamanya pun tipikal protagonis yang cenderung bersikap lurus.
Interaksi antara Roberta, Peter, dan Phyllis kelihatan natural serta menghibur, saling mengasihi namun tak jarang beradu cekcok. Aku juga lumayan suka dengan kehadiran karakter pendukung seperti Pak Tua, Pak Perks, Dokter Forrest, maupun Kepala Stasiun yang menjadikan cerita ini lebih hidup. Bonus tambahan untuk deskripsi tentang desa tempat mereka tinggal yang kelihatan asri dan ala-ala visual film klasik.
Meski ini novel anak-anak, pesan-pesan yang disampaikan terbilang deep, terutama yang berkaitan tentang keadilan, tolong menolong dan bersikap baik. Aku terutama masih gagal move on sama percakapan antara Peter dan Ibunya, yang kurang lebih berbunyi seperti ini:
Peter: “Bu, maukah Ibu menulis cerita, menulis buku tentang kami semua, tapi dalam cerita itu ditulis bahwa Ayah segera pulang? Mau, Bu?”
Ibu: “Tidakkah lebih baik kalau kita bayangkan diri kita sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditulis Tuhan? Kalau Ibu yang menulis cerita, mungkin Ibu akan membuat kesalahan. Tapi kalau Tuhan yang jadi sang Pengarang, Tuhan tahu bagaimana mengakhiri sebuah cerita dengan sebaik-baiknya–yang terbaik bagi kita semua.”
Huhuhu, rasanya mau ikutan nangis waktu membaca adegan di atas. Konflik kepergian Ayah barangkali adalah salah satu alasan kenapa The Railway Children tetap punya sisi “sedih” di balik ceritanya yang ceria :')
Setiap babnya menyajikan petualangan baru, alurnya mudah diikuti, tokoh utamanya pun tipikal protagonis yang cenderung bersikap lurus.
Interaksi antara Roberta, Peter, dan Phyllis kelihatan natural serta menghibur, saling mengasihi namun tak jarang beradu cekcok. Aku juga lumayan suka dengan kehadiran karakter pendukung seperti Pak Tua, Pak Perks, Dokter Forrest, maupun Kepala Stasiun yang menjadikan cerita ini lebih hidup. Bonus tambahan untuk deskripsi tentang desa tempat mereka tinggal yang kelihatan asri dan ala-ala visual film klasik.
Meski ini novel anak-anak, pesan-pesan yang disampaikan terbilang deep, terutama yang berkaitan tentang keadilan, tolong menolong dan bersikap baik. Aku terutama masih gagal move on sama percakapan antara Peter dan Ibunya, yang kurang lebih berbunyi seperti ini:
Peter: “Bu, maukah Ibu menulis cerita, menulis buku tentang kami semua, tapi dalam cerita itu ditulis bahwa Ayah segera pulang? Mau, Bu?”
Ibu: “Tidakkah lebih baik kalau kita bayangkan diri kita sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditulis Tuhan? Kalau Ibu yang menulis cerita, mungkin Ibu akan membuat kesalahan. Tapi kalau Tuhan yang jadi sang Pengarang, Tuhan tahu bagaimana mengakhiri sebuah cerita dengan sebaik-baiknya–yang terbaik bagi kita semua.”
Huhuhu, rasanya mau ikutan nangis waktu membaca adegan di atas. Konflik kepergian Ayah barangkali adalah salah satu alasan kenapa The Railway Children tetap punya sisi “sedih” di balik ceritanya yang ceria :')