A review by renayssance
Entrok by Okky Madasari

emotional

5.0

GILAAAAAA. GILAAAA. ORANG GILA SEMUA.

Buku ini ditulis menggunakan 2 POV. POV Marni dan Rahayu. Bahasanya mudah dipahami sehingga untuk aku sendiri, bisa lebih mudah masuk ke dalam cerita (bahkan seperti merasakan sendiri perjalanannya). ;___;
Meskipun ada beberapa yang menggunakan bahasa jawa, tapi jangan khawatir karena ada teks kecil artinya.

Berawal dari kisah Marni yang sedari kecil susah, bahkan untuk membeli entrok atau BH pun ia harus bekerja sendiri. Sejak itu ia terus bekerja dan berusaha sekuat tenaga, setiap pagi ke pasar untuk mencari uang dengan bakul sayur sampai bakul uang hingga akhirnya ia berhasil, berjaya dengan keringat dan darahnya sendiri. Dalam perjalanannya menuju kesuksesan itu, ia dikaruniai anak bernama Rahayu. Marni berjanji pada dirinya sendiri untuk menyekolahkan Rahayu sampai sarjana, tidak ingin Rahayu merasakan kesengsaraan yang pernah Marni rasakan dulu.

Tetapi tak sampai disitu, dengan kesuksesan Marni, tetangga-tetangga yang iri malah menyebarkan gosip, bahwa Marni menyembah setan lah, mempunyai tuyul lah, tukang lintah darat yang suka mencekik leher orang susah lah. Sampai Rahayu, anaknya sendiri lama-lama membenci ibunya karena gosip itu, karena keyakinan Rahayu yang beragama melihat ibunya seperti syirik—seperti yang diucapkan guru agama pada dirinya. Rahayu yang merasa dirinya benar, ikut-ikutan mencap bahwa Ibunya berdosa. Begitupun dengan Marni yang menyayangkan Rahayu yang tak sampai hati membencinya.

Aku gak bisa menyalahkan Marni, karena sedari kecil ia tidak diajarkan agama oleh ibunya. Ia hanya diajarkan untuk berterima kasih kepada yang punya alam semesta. Aku juga tidak bisa menyalahkan Rahayu yang mencoba meluruskan pemahaman Marni, hanya saja caranya salah. Cara Rahayu terlalu keras sehingga apapun yang disampaikan Rahayu tidak sampai pada Marni. Begitupun sebaliknya. Keduanya bagaikan kutub magnet sejenis yang mencoba untuk mendekatkan diri namun saling menjauh.

Perjalanan mereka yang panjang dibalut dengan campur tangan tentara, pak RT, pak Lurah yang selalu memeras dan menyiksa batin Marni. Jika ia tidak menuruti keinginan aparat/tentara, maka ia akan di cap PKI. Tetangga yang seenaknya menggosip tentang Marni, tapi tetap meminta tolong padanya. Tak tahu malu.

“Halah! Aku bukan PKI! Aku cuma mau cari makan. Tidak mencuri. Tidak merampok. Apa aku salah? Terus mereka seenak udele meras orang. Dulu ngambil panci. Sekarang datang minta duit!”

Dalam buku ini, kita dilihatkan tentang bagaimana aparat bekerja, untuk partai, untuk pemerintah, untuk mereka yang serakah. Ketidak adilan, kekerasan, pembunuhan yang terasa tidak ada apa-apanya, masa kelam yang memenjarakan semua wanita. Tidak patuh, dicap pemberontak.

Selama membaca, hatiku dipenuhi dengan amarah. Kesal karena meyayangkan semua harus terjadi kepada perempuan disana. Tidak ada yang membela, tidak bisa bicara, tidak bisa menuntut keadilan. Mereka bungkam begitu saja.

Namun, aku merasa haru karena Rahayu akhirnya mau menerima dan mau berdamai dengan ibunya setelah semua kejadian berlalu. Dalam kesengsaraan itu, keduanya menyadari bahwa kasih sayang antar keduanya, tidak bisa hilang.

Endingnya..... draining banget. Sedih banget. Peluk jauh untuk Marni dan Rahayu.

Tak gendong cucuku... tak gendong cucuku... tak gendong ke mana-mana.” 😭💔

Expand filter menu Content Warnings