A review by tsamarah
Laut Bercerita by Leila S. Chudori

challenging dark sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

Laut Bercerita merupakan karya fiksi sejarah yang ditulis oleh Leila S. Chudori yang berlatarkan zaman Orde Baru hingga Tragedi 1998, di mana sang penulis bertekad untuk menunjukkan bagaimana demokrasi harus diperjuangkan walaupun harus bersimbah darah dan kesedihan. Novel ini mengisahkan tentang karakter titular bernama Biru Laut, yang merekam perjuangannya secara kronologis sampai dengan titik 'hilangnya' tubuh sang karakter, serta mengisahkan tentang adik sang karakter bernama Asmara Jati, yang masih berjuang bertahun-tahun lamanya demi keadilan dan kejelasan atas lenyapnya Biru Laut.

Sebagai karya yang mengorek sejarah lama yang masih meninggalkan luka mendalam secara generasional, tentunya, karya ini dapat dikatakan sebagai karya tulis yang sugestif dan berprasangka (biased), tetapi penyampaian narasi tidaklah mendayu, melebih-lebihkan, atau mengurangi esensi topik yang ingin disuguhkan oleh penulis. Karya tulis yang menggunakan pandangan orang pertama, yaitu Laut dan Asmara, sebagai penyetir alur cerita membentuk kisahnya seperti rekaman jurnalistik yang hidup dan tidak membosankan. Tidak hanya itu, uraian latar dekade 90an yang disajikan mampu membangun nostalgia lama akan berwarnanya akhir abad ke-20, meskipun dengan adanya rezim kekuasaan yang buruk, di mana Leila menggambarkan peran berbagai macam karya seni sebagai simbol resistensi atas opresi pemerintahan terhadap masyarakat.

Jika berbicara tentang karakter dalam Laut Bercerita, sebetulnya Laut dan Asmara tidak harus menjadi pemeran utama dalam cerita tersebut. Setiap karakter yang dikenalkan oleh Leila memiliki latar cerita masing-masing, yang juga menunjukkan sentimen hegemonik terhadap pemerintahan totaliter pada masa itu, sehingga karakter-karakter tersebut juga mempunyai potensi sebagai pemeran utama dan menyampaikan cerita dari perspektif mereka masing-masing. Maka dari itu, posisi Laut dan Asmara dalam cerita ini sendiri sebagai perwakilan dari suara-suara geram penuh kekecewaan dan kemarahan atas ketidakadilan yang terjadi, dan sebagai suara perjuangan kaum-kaum terlantar dan terkungkung kebebasannya dikarenakan demokrasi yang semu.

Leila mengilustrasikan peran-peran mereka tersebut dengan transparan, terutama bagaimana peristiwa yang terjadi pada rezim tersebut memiliki pengaruh permanen terhadap kedua karakter utama, khususnya Asmara sebagai sosok yang ditinggalkan; mulai dari kepribadiannya yang mengulik kebenaran hingga ke akarnya sampai dengan keputusannya yang condong memilih peminatan medis yang terbilang mendekat dengan hukum dan keadilan. Sementara Laut yang sifatnya “menyeni” lebih mengutamakan optimistis dan kerelaan diri dalam karakterisasi dan perjuangannya, terlihat dari bagaimana sikapnya yang masih menjunjung harapan tinggi walaupun dalam kondisi penyiksaan yang tidak ada kepastian untuk berhenti.

Pengaruh permanen tidak hanya terlihat dalam Laut dan Asmara, tetapi juga keluarga dan rekan yang ditampilkan dan juga menjadi representasi atas kerabat korban tragedi tersebut. Pembaca diberikan cuplikan sebuah penyangkalan bahwa korban tragedi telah tiada, terlihat dari orang tua Laut dan Asmara, serta Anjani yang secara sadar mengunci diri mereka dalam delusi bahwa Laut itu “selamat”. Pembaca juga melihat dari perkembangan karakterisasi Alex Perazon, sahabat Laut yang juga kekasih Asmara, dari sosok yang terbilang ceria menjadi lebih getir—dari sosok yang menampilkan seni fotografinya sebagai sebatas potret individual yang stylistic menjadi potret yang menekankan kejujuran hati dan realita yang sebenarnya.

Bergeser kembali ke penceritaan dalam karya fiksi ini, mari bercakap sedikit tentang kesan pribadi yang meluap ketika membaca kisah hingga selesai. Mungkin dikarenakan sedang hidup di rezim yang sederajat, atau bahkan lebih buruk dari Orde Soeharto tersebut, atau karena adanya manipulasi perspektif terhadap generasi muda untuk melihat pejabat Orde sebagai “orang baik” dan bukan pelaku pelanggaran hak kemanusiaan, maka impresi yang bangkit adalah kegusaran dan patah hati yang serupa dengan apa yang dirasakan oleh Laut, Asmara, dan karakter-karakter Laut Bercerita lainnya. Ada juga perasaan khawatir dan takut yang hadir akan hak kebebasan berpendapat masyarakat dalam menuntut akuntabilitas orang-orang berkuasa, walaupun secara realita, penggunaan media sosial yang masif dengan segala triknya masih mampu mendukung kebebasan tersebut. Dan terakhir, rasa gelisah akan cita-cita muluk yang bertajuk “Indonesia Emas”, yang seolah cita-cita tersebut semakin jauh dari harapan dengan buruknya pengendalian dan perbaikan struktural yang ada.

Pada akhirnya, menyelesaikan Laut Bercerita menjadi sebuah introspeksi diri—refleksi atas nasib diri sendiri dan masa depan nantinya bagi generasi setelah diri saya dan orang lain. Refleksi atas sejarah yang kian hari semakin “dibersihkan” untuk menutupi kekejaman dan ketidakadilan yang masih hidup sampai sekarang di negara ini. Maka dari itu, novel ini adalah karya fiksi yang harus dibaca sekali seumur hidup, terutama sebelum suatu saat nanti menjadi karya yang ditiadakan demi memutihkan sisi gelap riwayat politik dan kemanusiaan yang ada. 

Expand filter menu Content Warnings