A review by normnialib
CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E by Henny Triskaidekaman

adventurous challenging dark informative mysterious tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

 
"Kadang hidup kita ini disutradarai nasib. Tak ada yang bisa kita lakukan, dan kita cuma jadi korban."
[176]


🍌

Rakyat Wiranacita diliputi rasa gundah saat maklumat dari sang diktator turun. Aturan macam-macam itu sama sekali tidak masuk akal. Berbondong-bondong mereka ikuti aturan gila yang datang silih berganti, belum rampung satu aturan sudah muncul aturan lainnya. Begitu saja terus sampai rakyat tak berkutik. Tentu saja banyak orang-orang cerdas yang berpikir kritis, namun dengan pikiran seperti itu apa nyawa mereka akan aman?

🍌

Jujur sejak awal ekspektasi aku ke buku ini kecil banget. Alah, palingan cuma novel komedi buat lucu-lucuan aja, hiburan di waktu senggang. Jadilah aku baca novel ini tanpa ekspektasi yang tinggi. Tapi eh, kok, makin dibaca makin bingung ya? Ini kayaknya bukan novel komedi deh. Cover bukunya aja yang pura-pura innocent padahal isinya tuh permainan gila-gila politik. Wah, aku tertipu.
Hal ini tentu gak bikin aku mundur dong, bukunya tetap aku baca. Seiring berjalannya waktu aku semakin enjoy buat baca. Banyak hal-hal unik yang tertulis di buku ini. Tidak ada huruf E, banyak kosakata asing di mata, juga banyak kata-kata kasar yang menjadi nama orang.
Aku terkesima sama gaya penulisannya buku ini. Bisa gitu ya menyampaikan plot yang lumayan sinting, walaupun buku ini gak punya huruf E sama sekali! Pada intinya aku suka. Penulisnya pandai bercerita. Ini jatuhnya parodi kan ya. Parodi suatu negara hehehe.Ada satu hal yang mau aku highlight, yaitu perkataan Zaliman Yang Mulia pada Lamin di hari-hari penantian terakhirnya.
..."Oh, jadi asal muasal hoaks itu adalah Sotar?"
"Ya."
"Bukan Jingan? Bukan 🐷?"
"Bukan dan bukan, Lamin."
"Dan Yang Mulia anggap dia patut hidup. Ini tidak adil!"
"Pimpinan mana pun takkan bisa adil, Lamin. Coba bilang pada saya, siapa pimpinan di dunia ini yang adil? Ada?"...

Pembicaraan itu sukses bikin aku nangis. Ternyata pada akhirnya toh Zaliman ngaku kalo dia juga menyesal. Di lubuk hati terdalamnya perasaan bersalah itu muncul juga. Cerita satu novel harus pupus harapan dari kalimat terakhir Zaliman itu. Aku turut berduka atas matinya keadilan dunia ini.

🍌

Walaupun aku suka sama buku ini, ada beberapa hal juga yang kurang aku sukai dari ceritanya.
Pertama, aku bingung nentuin latar waktu. Memang dibantu sih sama tulisan tahun di hampir tiap judul bab, tapi aku tetap bingung. Soalnya penggunaan kalimat-kalimat mereka terlalu musingin, banyak istilah-istilah yang terkesan jadul di mata aku haha, yah tapi itu sih karena perbendaharaan kosakata aku terlalu sedikit ya.Kedua, aku sedih karena sad ending. Aku pikir pada akhirnya akan ada keadilan di negara bernama Wiranacita ini, tapi sama aja kayak negara lainnya, keadilan itu sulit digapai. Jika sudah terjerumus, mampuslah kita. Kata-kata Lamin di hari terakhir hidupnya miris banget :
...Niatku atas catatan ini cuma satu : supaya orang-orang yang masih hidup di Wiranacita saat aku sudah mati nanti bisa tahu apa akibatnya kalau punya rasa ingin tahu yang tinggi di saat sudah tahu ada ancaman mati di mana-mana...

Pedih banget bacanya. Novel ini terlalu sad ending untuk aku yang berharap bahwa ini adalah novel komedi hahaha.

🍌

Akhir kata, aku bangga Indonesia modern punya novel bentukan cerita seperti ini. Moga-moga kedepannya juga banyak novel yang terlihat innocent tapi berisi pengetahuan luas di dalamnya.