A review by someonefromthesky
Sihir Perempuan by Intan Paramaditha

4.0

Ini adalah salah satu buku yang saya masukkan dalam daftar "must-read" sebagai referensi perkembangan fiksi horor terbaru di Indonesia. Agak sulit untuk mendapatkan buku ini. Setelah gagal menemukannya di berbagai toko buku, akhirnya saya memesan langsung ke penerbitnya via Facebook dan langsung tiba di rumah 2 hari kemudian.

Ketika akan membaca buku ini, tentu saya tidak berharap akan menemukan cerita horor murni. Lagipula tidak ada yang menyebutkan secara eksplisit bahwa buku ini berisi cerita horor, meski banyak yang menyebutnya sebagai cerita hantu. Nirwan Dewanto menulis di sampul belakang bahwa "... Penulis ini berhasil menjadikan cerita hantu sebagai genre terhormat ....", yang seolah mengatakan bahwa tadinya cerita hantu adalah genre yang tidak terhormat (hina atau memalukan?). Entah, tetapi kalau melihat film-film horor dan buku-buku horor lokal yang banyak beredar di pasaran selama ini, cara pandang tersebut bisa dimaklumi.

Seperti yang bisa ditebak dari judulnya, tema dari kumpulan cerpen ini adalah tentang perempuan dan hal-hal gelap yang mengelilinginya. Ini adalah sebuah tema yang sangat menarik, mengingat betapa besarnya peran tokoh perempuan dalam cerita-cerita hantu. Dalam kisah-kisah horor dan misteri, perempuan memang kerap menjadi sosok yang emosional, misterius, bahkan menakutkan. Komik Gareng dan Petruk karya Tatang S. yang sering saya baca saat SD hampir selalu mengisahkan seorang lelaki hidung belang yang menggoda perempuan, lalu perempuan itu pura-pura meladeni, hingga akhirnya terungkap bahwa perempuan itu ternyata adalah kuntilanak/sundal bolong yang membuat si pria hidung belang lari terbirit-birit. Mulai dari cerita Si Manis Jembatan Ancol hingga film The Ring, kurang lebih menempatkan hantu perempuan pada "trope" yang sama: hantu yang penuh tipu daya, emosional, dan pendendam--seolah mereka masih mengalami PMS bahkan setelah mati.

Intan Paramaditha sedikit banyak masih mempertahankan kesan misterius dari sosok perempuan, bahkan dalam beberapa cerpen ia tampak mengamini peran hantu perempuan sebagai penghukum dan pembalas dendam. Misalnya pada cerpen "Sang Ratu" yang menceritakan bagaimana seorang lelaki playboy mendapatkan hukuman dari Ratu Pantai Selatan.

Dalam cerpen "Darah", Intan membahas mengenai sisi psikologis perempuan yang berhubungan dengan kondisi biologisnya. Ia menceritakan bagaimana menstruasi menjadi suatu pengalaman yang traumatik sekaligus menjadi stigma terhadap tubuh perempuan (mungkin ini termasuk tema favorit para feminis). Penggambaran sesosok hantu perempuan yang menjilati darah mens dari pembalut yang tidak dicuci sebelum dibuang menurut saya sangat mengerikan.

Satu cerpen yang menurut saya memiliki selera humor adalah "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari". Cerita ini pada dasarnya adalah bentuk parodi dari dongeng Cinderella, hanya saja tokoh Cinderella di sini bernama Sindelarat. Berbeda dengan dongeng aslinya, dalam cerpen ini Intan berusaha melihat dari sudut pandang sang kakak tiri. Meski dari segi alur cerita sudah bisa ditebak, tapi dari segi penokohan sangat menarik.

Walaupun memiliki benang merah tema perempuan, tetapi gaya penceritaan dalam buku ini bisa dibilang beragam. Beberapa cerpen memiliki gaya yang sastrawi, misalnya "Jeritan Dalam Botol" yang tidak menggunakan tanda kutip untuk dialog (stream of consciousness?), begitu pula dengan "Vampir" yang terasa gothic dan sensual. Sebagian cerpen lainnya terasa sangat sederhana, misalnya "Mobil Jenazah" yang bisa dibilang sebagai cerpen paling biasa-biasa saja di dalam buku ini. Cerpen "Misteri Polaroid" juga sebenarnya sederhana, tetapi memiliki kesan yang kuat dan cukup memenuhi syarat untuk digolongkan dalam genre horor.

Secara keseluruhan, buku ini adalah kumpulan cerpen yang sangat menarik, terutama bagi mereka yang menyukai tema gothic atau horor--dan mungkin juga penikmat karya sastra. Sebagaimana fenomena yang belakangan sering dibahas dalam forum-forum fiksi horor, bahwa adanya gejala "main mata" antara genre horor dengan fiksi literatur/sastra. Sebagian menganggap hal ini sebagai peningkatan derajat, sementara sebagian lagi menganggapnya sebagai bentuk pelarian yang salah langkah. Tentu ini tergantung bagaimana kita memahami hubungan antara karya sastra (sebagai sesuatu yang luhur) dan genre populer terutama horor(sebagai sesuatu yang ... berasal dari dalam kubur?).