A review by tsamarah
Tiga dalam Kayu by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

challenging dark tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

4.0

Berlatar nun jauh di masa depan, Tiga dalam Kayu merupakan sekumpulan cerita yang dikemas sebagai "jurnal masa lalu" yang ditemukan oleh seseorang pada masa depan tersebut. Jurnal tersebut dikatakan sebagai tautan cerita yang terdengar tidak masuk akal, tidak lazim, dan cukup fantastis, namun mengundang rasa penasaran yang membuncah bagi sang narator, terutama ketika kata demi kata yang tertuang memiliki benang merah yang ia sadari masih relevan dengan periode hidup yang sekarang ia jalani.

Terdapat sejumlah 18 cerita dalam novella kecil ini, terbagi menjadi 11 cerita dengan judul bab yang dimulai dari kata "Buku", kemudian dilanjutkan oleh 7 cerita dengan judul bab yang sepertinya adalah referensi dari bahasa Rusia. Kisah dengan judul "Buku" adalah kisah-kisah yang terjadi di masa lampau, menitikberatkan kepada contoh-contoh kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan pada masa itu, yang ditulis seolah sebagai sebuah sejarah yang membentuk kehidupan sosial sang narator pada masanya. Lain halnya dengan 7 cerita selanjutnya, di mana sang narator mulai mengolah informasi yang didapatkan dari jurnal-jurnal yang ia temukan itu terhadap kehidupannya, orang-orang di sekitarnya, serta para penguasa yang mengatur hidupnya.

Jika membicarakan isi buku itu sendiri, Ziggy memusatkan keseluruhan cerita dalam satu kesatuan tema mengenai perempuan; bagaimana perempuan bergaul, bagaimana perempuan berkarier, hidup, dan terlebih lagi, diperlakukan oleh masyarakat. Dengan begitu, Ziggy membuka suatu ironi yang berkesinambungan antara masa lalu dan masa depan, bahwa dengan sebegitu hebatnya perkembangan masyarakat, perlakuan terhadap perempuan tetap tidak berubah dalam hal merendahkan posisinya sampai kematian mereka justru adalah “pengampunan” yang terbaik untuk menyelamatkan mereka.

Gaya penulisan Ziggy yang konsisten dalam penggunaan majas dan alusi dalam penggambaran suatu cerita mendorong pembaca untuk menerka inti kisah tersebut sebelum berakhir—Ziggy kerap kali mengungkap kebenarannya di akhir bab atau cerita—tanpa mengorbankan kejelasan cerita sehingga pembaca masih mampu memahami alur yang tampil dalam setiap paragrafnya.

Bukan Ziggy jika tidak menulis ceritanya dengan bumbu eksplisitasi yang terkesan seronok dan gamblang, tetapi, perbedaan antara Tiga dalam Kayu dengan karyanya yang lain seperti Semua Ikan di Langit atau Kapan Nanti, buku ini memiliki tingkat eksplisitasi yang mungkin dapat dibilang paling brutal—terkesan sangat keterlaluan tanpa ada sensor mumpuni. Namun demikian, gaya penulisan ini yang menjadi unsur yang unik dalam novel tersebut, mendukung struktur cerita yang dibentuk sebagai “jurnal sejarah” tanpa ada hal-hal yang ditutupi. Sehingga, maksud cerita dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca.

Walaupun gaya penulisan Ziggy yang “mendayu” masih dapat dipahami oleh pembaca, tetap ada beberapa bagian cerita yang kurang diolah dan dikembangan dengan baik sehingga penggalan kisah tersebut terkesan mengambang dan kurang sesuai dengan atmosfer keseluruhan buku.

Lalu, bagaimana buku tersebut secara keseluruhan? Tiga dalam Kayu mungkin bukan buku yang dapat dibaca terus menerus, tetapi merupakan suatu bacaan yang perlu ditelisik sekali seumur hidup, terutama ketika cerita-cerita yang diberikan memiliki relevansi yang tinggi terhadap realita yang ada. Walaupun begitu, perlu adanya kesiapan mental yang cukup mengingat gaya penulisan Ziggy yang terbuka dan kerap kali “bengis”, yang mungkin tidak cocok bagi beberapa pembaca yang condong terhadap bacaan yang ringan. 

Expand filter menu Content Warnings