A review by pleiadesfall
Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah by Agustinus Wibowo

5.0

Akhirnya saya baca juga buku ini. Rasanya senang bisa membaca buku dalam Bahasa Indonesia, setelah beberapa waktu baca buku berbahasa Inggris melulu.
Sebenarnya, buku ini telah ada di tumpukan buku saya sejak sebulan lalu. Tapi kesibukan dan tugas-tugas kuliah membuat mood membaca benar-benar merosot, yang ada malah pengen tidur tiap kali sampai di kosan.

Yak. Cukuplah pendahuluan tak jelasnya.

Garis Batas adalah buku kedua Agustinus yang saya baca. Sebelumnya saya baca Titik Nol (ya. Saya tahu, aneh memang, membaca mundur seperti ini) dan suka banget! Di Titik Nol, gaya penceritaanlah yang memikat saya. Di buku ini, deskripsi tempatlah yang membuat saya terpikat.

Stan-stan, negeri-negeri muda bekas pecahan Soviet memang punya pesona unik. Persatuan arus berbagai ras dan bangsa, juga ideologi dan kepercayaan. Sejarah terkemuka ribuan tahun yang menyelubungi bagian tengah benua Asia ini juga yang membuatnya begitu menarik untuk saya. Tulisan Agustinus membuat saya paling tidak dapat ikun mengecap sedikit rasa Asia Tengah (saya sih, terlalu malas untuk pergi travelling, hehe)

Selain deskripsi tempat-tempat nan eksotis di jantung Eurasia ini, penuturan tentang keadaan sosial dan budaya, serta sejarah kelahiran setiap negara juga membuat saya begitu menyukai buku ini. Terlahir dari satu raksasa induk yang sama ternyata tidak menjamin negara-negara ini punya rasa solidaritas. Kecemburuan akan negeri di seberang garis batas tetap mewarnai.

Garis batas, garis pembeda baik secara nyata maupun maya, menjadi benang merah penghubung kisah-kisah perjalanan di tiap negeri dalam buku ini. Bukan hanya tentang negerinya saja, tapi juga tentang garis-garis batas kehidupan manusia dan pola pikir manusia. Bukan hanya berlaku di Asia Tengah saja, hal tersebut adalah hal alami yang mengiringi perjalanan hidup manusia, kehidupannya, di setiap tempat di dunia. Menghapus garis batas atau mempertegas? Itu adalah pertanyaan yang selama ini mungkin sering kita hadapi.

Membaca Garis Batas tidak memberikan sensasi seperti membaca novel yang saya dapatkan ketika saya membaca Titik Nol. Bahasanya, meskipun luwes, tapi tetap formal dan tidak terlalu personal (ini menurut saya loh). Meskipun begitu, tidak mengurangi rasa suka saya terhadap buku ini kok. Sejujurnya malah, saya rasa saya sedikit lebih suka Garis Batas daripada Titik Nol.

Oh ya, dan jangan lupakan selipan foto-foto cantik di dalam buku ini!