A review by aynsrtn
Satine by Ika Natassa

emotional inspiring lighthearted reflective slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix

4.0

"Ash, let's date. Maksudku, kamu butuh teman bicara. Aku butuh kencan. Kita sama-sama mengerti kebutuhan masing-masing. Kenapa kita nggak bikin semacam arrangement aja? Take me out on dates and I'll become someone you can talk to. Cuma itu. No strings attached." - p. 33 ~ p. 34

Satine dan Ash bertemu melalui dating agency. Satine ingin mendapatkan proper date dan Ash ingin memiliki teman bicara. Mereka membuat kesepakatan—pada awalnya—namun, ternyata ketika hati yang memegang kendali, siapa yang mampu menahannya?

Melalui novel Satine ini, Kak Ika begitu cantik membawakan narasi kesepian, kesunyian, dan kesendirian, baik dari perspektif wanita maupun pria. Satine di usia 37 tahun dengan segala gemilang karirnya sebagai direktur di suatu bank dan Ash di usia 37 tahun menjadi konsultan di perusahan bonafit, mereka cemerlang dari segi karir, namun hidupnya hanya lembur, kerja, dan sepi. Hingga akhirnya bertemu dan serasa menemukan teman sesama kesepiannya. Yang saling mengerti dan memahami.

Peringatan pemicu: mengandung adegan kekerasan, tindakan kekerasan dalam rumah tangga, pemikiran untuk bunuh diri.

---

Disclaimer dulu: ulasan ini akan sangat panjang dan tentu sudah pasti sangat subjektif.

[-]

Mari dimulai dengan hal yang "agak" kurang aku suka di novel ini.

1) Konflik dan penyelesaiannya

Bukan pada konflik kesepian tetapi pada konflik internal masing-masing, terutama Ash. Pada paruh pertama, aku kesal dengan Satine. Memang kenapa dan apa yang menyebabkan harus teguh dengan level pertemanan tidak biasa dengan Ash, wong udah sama-sama suka? Oh, ternyata ada background percintaan masa lalu. Tapi, sayangnya, hanya sekilas dan nggak diceritakan secara jelas putusnya Satine dan Aksara sehingga aku kurang bisa menangkap urgensi kenapa Satine nggak [belum] mau naik level hubungannya dengan Ash.

Lalu, di paruh kedua, gantian deh kesalnya dengan Ash, haha. Aku memahami bagaimana trauma Ash dan segala pergolakan batinnya. But, man ... kenapa harus ghosting? Kalau misalkan Ash usia awal 20 tahun atau belasan tahun ala remaja, bolehlah. Tapi, ini 37 tahun, for god's sake usia matang. Ternyata ghosting bukan perihal umur. Dan setelah itu, dia mengembaralah sampai bertemu Bang Bistok dan Binsar, tak kira akan refleksi diri, tapi malah lanjut part dua. Dia udah bagus tuh ke psikiater, tapi ternyata berhenti dengan alasan, ya gimana gen bapak gue kan ga bisa ilang. Hm, bro ... ? Tapinya lagi, Ash mengakui kalau penyelesaian konflik batinnya meh banget, haha. Sadar si bapak, tapi tetap aja stuck, wkwk.

But well, thank to Emma. Kalau ga ada Emma mungkin udah aja ini hanya ajang kontemplasi diri tanpa aksi.

2) Screentime Satine dan Ash

Ini karena novel Kak Ika as always diadaptasi menjadi film, jadi saat membaca, aku membayangkan bagaimana kalau Satine menjadi produk film. Kalau filmnya plek ketiplek sama bukunya, maka screentime Satine sama Ash bareng-bareng itu bisa dihitung jari. Banyaknya adegan Satine dan Ash kontemplasi diri dan perang batin sama diri sendiri. Makanya aku kurang bisa merasakan chemistry yang kuat dari mereka karena ya kebanyakan ngobrol tentang diri sendiri atau nostalgia obrolan Satine dan Ash di masa lalu—yang beberapa hanya itu-itu aja: nasi padang, film, museum/lukisan.

3) Info dump tentang lukisan/museum

Tulisan Kak Ika itu khas banget memang. Kadang mau mendeskripsikan satu perasaan karakter protagonisnya aja, mesti cerita dulu tentang pelukis terkenal, sejarah Marie Antoinette, self-improvement, dan masih banyak lagi. Tapi untuk Satine ini aku merasa terlalu banyak informasi lukisan/museum dari sudut pandang Ash—yang akhirnya turut meng-influence sudut pandang Satine. Aku banyak menerima informasi tentang lukisan, tapi karena repetitif jadi agak sedikit bosan.

[+]

Lanjut sekarang ke hal yang aku sukai.

1) Paragraf pembuka

Well, ini cantik banget. Total ada 43 kutipan yang aku tulis di novel ini. Dan setiap paragraf pembuka tiap chapter tuh selalu bagus kalimatnya. Seolah nggak ada kalimat yang sia-sia di setiap tulisannya.

2) Sequence

Dalam menceritakan masa lalu, ada dialog lalu ada narasi pikiran sang protagonis yang sedikit demi sedikit secara berurutan membawa emosi pembaca ikut serta, lalu pas di ujung chapter ... GONG banget. Nggak hanya pas bahas masa lalu, tapi di saat tension sedang tinggi. Salah satunya saat Satine debat dengan Maman—mamanya. Mulai dari dia diam dan hanya mendengarkan mamanya yang menanyakan—terkesan interograsi—perlahan hingga Satine emosional dan ternyata ada fakta yang baru Satine ketahui yang membuat emosi dia yang meletup-letup langsung mereda. Menurutku itu bagus banget. Maaf kalau penjelasanku rada belibet, contohnya seperti di halaman 233 - 234 [aku catat karena aku suka adegan itu].

3) Hubungan protagonis dan para pendukungnya

Uniknya, biasanya yang disukai itu seringnya hubungan sesama protagonisnya ya, tapi ini aku malah lebih suka dinamika Ash dengan Emma, Satine dengan Maman dan Sabai, Satine dengan Kala dan Nadine. Mereka tuh penyokong kewarasan sang protagonis yang terkadang agak-agak labil, hehe. Paling suka obrolan Satine sama Nadine, kek Nadine tuh menyuarakan hati pembaca kepada Satine, persis Emma ke Ash.

4) Adegan Satine melihat satu per satu koleksi tasnya

Dyem, ini kalau film namanya ✨️sinematik✨️

---

Ternyata sudah panjang sekali 😃

Akhir kata, novel ini mampu dengan cantik mengejawantahkan narasi kesepian. Romansa tipis yang penuh dengan kontemplasi diri. Sangat relate apalagi untuk kaum-kaum yang dunianya hanya sibuk kerja dan butuh teman—apalagi teman hidup.

Expand filter menu Content Warnings