A review by veraveruchka
Inheritance by Christopher Paolini

3.0

(review asli dapat dibaca pada http://veramaharani.blogspot.com/2012/07/book-for-breakfast-inheritance.html )

Saya menulis review ini beberapa hari sejak saya menamatkan bukunya. Otherwise, my review will contain a lot more fangirl-ish rant (I've been a fan of Inheritance Cycle since my 2nd year of Junior High School) and occasional blabber in ancient language. Sekarang juga sih, masih pengen ngomel-ngomel, tapi percayalah nggak sebanyak kalau saya langsung nulis review begitu tamat baca buku.

1. You know what is interesting about fantasy stories like The Inheritance Cycle? Akhirnya sudah jelas. Kebaikan menang. Kejahatan kalah. Jadi, sejak halaman pertama buku Eragon, saya tahu Eragon akan menang melawan Raja Galbatorix. Yang jadi permasalahan (dan yang membuatnya menarik) adalah bagaimana proses Eragon memenangkan itu. Selama tiga buku (Eragon, Eldest, Brisingr), saya sangat menikmati proses itu, jadi ekspektasi untuk buku keempat yang juga finale ini semakin meninggi. Di antara ekspektasi-ekspektasi itu adalah:

2. More great, epic battle, please! Preferably with Galbatorix directly involved. Dia tokoh antagonis utama, tapi seumur-umur belum tampak batang hidungnya (kalaupun sudah, saya lupa di buku berapa dan dalam event apa). Ya, Sauron di The Lord of The Ring juga sepanjang cerita berupa mata api di atas menara, nggak langsung berantem melawan pasukan gabungan Gondor-Rohan-Elf-Dwarf-ras lainnya, tapi ini kan beda kasus. Sauron memang nggak punya bentuk fisik, baru bisa kembali kalau dia mendapatkan Cincin. Sementara Galbatorix kuat, nggak terkalahkan, tapi penampilan paling mencoloknya cuma lewat tubuh Murtagh dan Thorn di Brisingr. Semoga Christopher Paolini melakukan ini atas nama save the best for the last.

3. Misteri-misteri pada buku sebelumnya akhirnya terjawab. Misalnya "siapa penunggang naga berikutnya?" Dengan pengembangan plot dan karakter yang begitu keren di buku 1-3, sekarang kandidat untuk menjadi penunggang naga terakhir di Kekaisaran makin meluas. Apakah itu Arya, elf wanita romantic-interest Eragon? Apakah itu Roran, sepupu Eragon yang ternyata punya kharisma memimpin, kecerdikan, dan kemampuan bertarung luar biasa? Apakah itu Nasuada, pemimpin kaum Varden? Atau tokoh-tokoh yang jarang diperhitungkan, misalnya Jormundur, Elva...atau mungkin kurcaci dan Urgal yang sepanjang sejarah nggak pernah jadi penunggang naga? Apakah penunggang terakhir akan berada di pihak kaum Varden atau Galbatorix? Ah...curiosity makes me itch.

4. MORE ROMANCE PLEASE. Sepanjang seri ini, adegan romansanya...mana? Yang mendekati, paling waktu Eragon nembak Arya setelah Agaeti Blodhren, setelah itu..na-da. Sementara itu, ramalan Angela di Teirm mengatakan bahwa Eragon akan memiliki kisah cinta dengan seorang wanita dari keturunan bangsawan...obviously Arya. No, it must be Arya *fangirl-ish screech* But at this rate I would be happy if Eragon ends up with anyone, as long as there's some kind of romance in this book.

Bagaimana ekspektasi-ekspektasi tersebut terjawab?

Well, yang pertama, the battles are epic. Memuaskan. Skalanya meningkat dan semakin serius, which is great for a finale. Bahkan pertempuran-pertempuran yang nggak melibatkan Eragon secara langsung pun ditulis dengan sangat baik (misalnya pertempuran di Aroughs, yang SANGAT menonjolkan peran Roran). Pada saat membaca mengenai pertempuran, rasanya merinding, perlu berhenti sejenak untuk menarik nafas dan menghilangkan adegan gore di otak, terus bersyukur itu cuma ada di buku. Is it that good? Yep.

Galbatorix juga muncul di sini, tapi...agak membuat kecewa. Galbatorix tidak tampak seperti all-powerful-king yang bikin menderita kekaisaran selama berpuluh-puluh tahun. Caranya dituliskan membuat dia tampak seperti penjahat pada umumnya, yang kebetulan kuat karena punya Eldunari. Mungkin karena di sini dia jarang ditampilkan menggunakan kemahiran bertarungnya. Saya berharap Galbatorix ditulis lebih mengesankan daripada itu. However, poin positifnya, Galbatorix digambarkan sebagai seseorang yang juga fighting for a cause, no matter how twisted that cause is. So Galbatorix is not simply cruel because he is cruel. There's a depth in his character. Well, not much depth, but I think I have to applaud that.

Banyak juga misteri yang belum terjawab di buku ini (I won't say which). Mungkin ini karena Paolini mengungkapkan bahwa dia akan menulis lagi cerita terkait dengan Alagaesia (dunia tempat Eragon tinggal), walaupun dia pun belum yakin kapan (YES, PLEASE DO, PAOLINI-ELDA *happy fangirl*). Mungkin juga sebenarnya ada misteri yang terjawab dalam The Inheritance Almanac, buku pendamping resmi, semacam ensiklopedia untuk seri Inheritance Cycle. Saya belum tahu, belum baca, baru merencanakan beli versi bahasa Indonesia yang sebenarnya sudah cukup lama beredar di pasaran.

Mengenai penunggang naga baru dan jawaban dari pertanyaan 'siapakah naga hijau yang jadi cover buku ini?' itu terjawab, tapi tidak dengan memuaskan. I mean...I was expecting more surprise, maybe more angst...and it's just too...predictable. Here's a not-so-happy fangirl...

And one thing that makes me more unhappy as a fangirl is the lack of romance. Apakah semua tokoh di novel ini harus banget digambarkan sebagai tentara yang mementingkan tugas daripada perasaan? Yeah, oke sih kalau memang itu karakter yang diperlukan, mengingat sebagian besar dari mereka dibesarkan dalam didikan Varden dan tujuan utama mereka adalah menggulingkan Galbatorix, tapi harus banget seketat itu ya? Or is it simply because Paolini cringe at the thought of writing about romance? Another big mystery.

Poin positif lainnya dari buku ini adalah pengembangan karakter. I admire especially Roran, Murtagh, and Nasuada. Eragon adalah protagonis utama dari cerita ini, tapi pada buku keempat dia justru nggak terlalu tampak heroik. Kemenangannya kebanyakan karena bantuan orang lain. Sepanjang buku ini, saya membayangkan Eragon sebagai tokoh remaja berusia 15 tahun, sama seperti di awal buku pertama, padahal seharusnya Eragon sudah banyak berkembang, baik secara fisik maupun mental. Di lain pihak, Roran adalah karakter yang menarik walaupun dalam pertempuran dia agak mengingatkan saya pada Chuck Norris, hehe. Motivasinya hampir tunggal, yaitu Katrina dan anaknya yang belum lahir, dan kadang-kadang rasa cintanya pada desa Carvahall, tapi justru ini membuat dia jadi terasa konsisten dan simpatik. Yah, bagaimanapun dia kan anak gunung yang paling banter jadi pandai besi kalau hidupnya normal, tapi kecemplung masuk perang karena kebetulan sepupunya penunggang naga. Sementara itu Nasuada adalah karakter wanita yang teguh, kuat, dan akan membuat Kartini bangga...tapi di buku ini saya juga bisa melihat kelemahannya, which make her feels more human. Murtagh adalah tokoh yang penuh angst, dan pada akhirnya di sini saya bisa mengerti karakter dia, membuat perasaan antara cinta dan benci yang saya rasakan padanya, akhirnya bisa lebih condong pada 'cinta'. Sekarang saya ngerti kenapa sobat saya Emma Kusuma Dewi punya ketertarikan pada tokoh Murtagh sejak awal...he is interesting, Em, that I approve.

Yah, Inheritance bagi saya bagaikan jawaban dari pertanyaan 'kenapa fanfiction dibuat?' Begitu banyak gap yang bisa diisi, plot yang dapat dipelintir sesuai dengan keinginan fans. Membacanya merupakan kegiatan yang menyenangkan, tapi masih belum sampai memuaskan. Seiring dengan bertambahnya jumlah halaman yang saya baca, skala pertempuran bertambah, sayang emosi menurun. Karakter-karakternya jadi kurang terasa 'manusia', padahal di depan udah keren. Saya jadi berpikir, mungkin ini karena Paolini udah diteror deadline, mungkin juga death-threat, because, honestly, the waiting from 'Brisingr' to 'Inheritance' is too long.

Jadi, walaupun saya adalah fangirl, maafkan saya, Paolini-elda, karena saya cuma bisa ngasih 3 dari 5 bintang...