A review by erdeaka
Legenda Perompak Naga: Seni Membangunkan Naga dari Laut by Wisnu Suryaning Adji

3.0

3.5 bintang

Apakah ini novel fantasi? 50% bukan. Apakah ini novel remaja? Lebih dari 50% iya. Penulis mengategorikan buku ini sebagai novel fantasi remaja. Tetapi bila dalam satu bentuk narasi terdapat dua kategori (dalam hal ini “fantasi” dan “remaja”, atau sebut saja teenlit) maka terkadang ada yang harus dikorbankan. Novel fantasi membutuhkan deskripsi dan detail yang tidak sedikit, sedangkan novel remaja perlu menjabarkan kegelisahan dan perkembangan karakter dengan kuat―karena memang kedua hal itulah yang terjadi pada anak remaja―singkat kata, novel remaja membutuhkan “drama”. Jika narasi tidak seimbang, maka jelas akan terlihat lebih berat fantasi/petualangannya atau lebih berat “dramanya”. Inilah yang menjadi masalah dalam novel Legenda Perompak Naga: Seni Membangunkan Naga dari Laut.

Novel ini langsung dibuka dengan sebuah aksi, yang seharusnya terasa “exciting”, jika melihat idenya. Tetapi jika melihat deskripsinya, adegan pertarungan di kapal tersebut justru terasa janggal karena penggambaran yang kurang detail dan penggunaan kosakata serta tata bahasa yang tidak nyaman dibaca. Narasi baru terasa nyaman ketika berpindah ke area “drama” di mana Juru Masak, sang tokoh utama, menangisi kematian Tabib Kapal pada “penguburannya” dan kemudian berkilas balik ke masa kecilnya. Cerita masa kecil Juru Masak ditulis dengan sangat baik, hingga akhirnya ia mencapai usia remaja dan berhadapan dengan kegelisahan-kegelisahan yang memang harus dihadapinya. Penulis juga menarasikan kisah anak si Perompak Naga, Kelana, dengan baik, terutama bagaimana sebagai anak kecil ia tidak tahu (dan tentu saja tidak peduli) tentang jalan pikiran orang dewasa yang mengatur hidupnya. Kisah bagaimana Juru Masak berusaha menapaki jalan yang dipilihnya dan lantas menyadari bahwa hidup sering kali tidak seperti yang kita bayangkan, dan bagaimana Kelana akhirnya menyadari bahwa ayahnya tidaklah sejahat yang dipikirkannya, sungguh diceritakan dengan sangat kuat. Bisa dibilang, unsur “drama” di sini sangat kental.

Tetapi jika kita bicara tentang unsur “fantasi”-nya, itu lain soal. Unsur ini sangat sedikit, deskripsinya sangat minim. Satu-satunya adegan fantasi yang terasa mendetail adalah adegan final duel antara Perompak Naga dan Juru Masak. Bagaimana akhirnya mereka bisa lepas dari kepungan tentara kerajaan pun tidak digambarkan dengan memadai, terkesan hanya sekilas saja.

Setiap kali saya melihat sampul dan judul bukunya, saya merasa sayang. Sampul bukunya sungguh luar biasa, benar-benar sampul buku “novel fantasi”. Sayangnya, bagi saya novel ini lebih berat drama remajanya, jadi rasa-rasanya sampul dan judul bukunya kurang pas.

Jadi, apakah Legenda Perompak Naga ini novel yang buruk? Tidak―jika kita melihat dari segi dramanya. Idenya pun sebenarnya cukup menarik, sayang kurang seimbang antara unsur fantasi dan unsur “teenlit”-nya. Andai adegan-adegan pertarungan dan petualangannya lebih banyak dan lebih detail lagi, saya rasa akan lebih baik hasilnya. Tetapi novel ini hanya novel tipis yang ringkas, jadi hal tersebut tidak bisa diharapkan.