A review by haifarania
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam by Dian Purnomo

4.0

Sebagai seorang perempuan, membaca buku ini membuatku serasa kena tampar. Di tengah dunia yang sudah berseru-seru tentang kesetaraan dan keadilan gender, ternyata masih banyak perempuan lain yang kebebasannya terenggut.

Lebih mirisnya, sering kali, tradisilah yang menimpakan nasib buruk bagi perempuan-perempuan tersebut; dipaksa menjadi properti laki-laki, dibungkam suaranya, dan (meminjam salah satu perkataan Magi) dihargai seperti barang yang bisa ditukar hanya karena mereka punya rahim.

Tradisi kawin tangkap yang digambarkan di buku ini membuka mataku. Bahwa tidak sedikit kebudayaan di Indonesia yang merugikan perempuan, namun ironisnya masih juga diterapkan dengan dalih melindungi warisan nenek moyang.

Melihat perjuangan Magi memperoleh keadilan dengan melawan adat, masyarakat, dan keluarganya, berhasil membuatku ikut teraduk emosi.

Terlepas dari itu, ada pula kisah Dangu Toda yang membuatku ikut terbawa perasaan. Persahabatan Dangu Toda dan Magi Diela adalah gambaran dari "hubungan cinta" yang menurutku, saking tulusnya, sama sekali tidak mengharapkan balasan atau keinginan untuk saling memiliki. Murni karena mereka hanya tidak ingin melihat satu sama lain tersakiti lagi.

Dalam genangan air matanya, dia mengutuk adat. Hanya karena terlahir dari kabisu yang sama, dia tidak akan pernah bisa menyelamatkan Magi dari kejamnya paksaan per kawinan ini. Sampai mati pun dia berusaha, dia tidak akan berhasil menjadi laki-laki yang dapat melindungi Magi Diela seutuhnya. – Halaman 264

Beralih ke halaman terakhir buku ini, aku kembali disadarkan.

Magi Diela bukanlah satu-satunya perempuan yang mengalami semua kepedihan ini. Ada banyak Magi lainnya, yangmenantikan di balik tangisan tanpa akhir mereka, yang terus bertanya-tanya, kapankah keadilan bisa mereka dapatkan? Sementara lingkaran setan ini terus-menerus berputar?

Tangisnya kepada bulan hitam adalah tangis perempuan yang tubuhnya masih menjadi properti laki-laki. Kisah perempuan lain masih mungkin akan diukir dengan tinta darah, selama pendewaan terhadap adat mengalahkan logika dan kemanusiaan. – Halaman 312