Take a photo of a barcode or cover
A review by devipurwanti
Student Hidjo: Sebuah Novel by Marco Kartodikromo, Marco Kartodikromo
inspiring
reflective
fast-paced
- Flaws of characters a main focus? Yes
3.5
Awalnya, kupikir Student Hidjo bakal banyak menyoroti pengalaman Hidjo belajar di Belanda sebagai bentuk “pembebasan.” Ternyata, begitu sampai di sana, dia justru lebih banyak bergulat dengan hal-hal yang menggoyahkan niat belajarnya, terutama perempuan.
Satu hal yang bikin ku mikir, perempuan-perempuan Belanda dalam buku ini digambarkan begitu ekspresif, bahkan cenderung menggoda. Sementara itu, perempuan bumiputera juga ekspresif, tapi lebih hati-hati dalam bertindak. Meski begitu, karakter Woengoe menyelipkan sisi berdaya perempuan. Dia menyoroti kerja domestik semestinya nggak dibatasi gender dan mendukung pergerakan perempuan. Jadi, apakah ini memang realitas saat itu atau lebih karena sudut pandang penulis laki-laki?
Satu hal yang bikin ku mikir, perempuan-perempuan Belanda dalam buku ini digambarkan begitu ekspresif, bahkan cenderung menggoda. Sementara itu, perempuan bumiputera juga ekspresif, tapi lebih hati-hati dalam bertindak. Meski begitu, karakter Woengoe menyelipkan sisi berdaya perempuan. Dia menyoroti kerja domestik semestinya nggak dibatasi gender dan mendukung pergerakan perempuan. Jadi, apakah ini memang realitas saat itu atau lebih karena sudut pandang penulis laki-laki?
Aku juga sempat berharap ada perkembangan karakter dari Hidjo—dari yang people pleaser menjadi lebih tegas, terutama dalam menolak hal-hal yang dia anggap “bahaya.” Tapi menjelang akhir cerita, dia masih aja terjebak dalam situasi yang sama. Mungkin aku juga melihatnya dengan bias zaman sekarang, mengingat buku ini terbit lebih dari seabad yang lalu. Selain itu, kelas sosial Hidjo juga sangat menentukan masa depannya. Meskipun dia nggak menyelesaikan studinya di Belanda, dia dapat jabatan bagus di kampung halamannya.
Meskipun buku ini nggak banyak memperlihatkan pengalaman belajar Hidjo, Mas Marco justru menghadirkan bentuk pembelajaran lain—dengan membantah stereotip kolonial yang menggambarkan bumiputera sebagai bangsa yang malas, bodoh, dan kriminal. Menariknya, kritik ini disampaikan melalui karakter pejabat Belanda sendiri. Nggak heran kalau buku ini dan pemikiran Mas Marco lainnya bikin pemerintah kolonial ketar-ketir sampai akhirnya dia diasingkan ke Boven Digoel.
Dari segi bahasa, buku ini juga bikin aku mengingat kembali kosakata lama yang jarang ku temui sekarang, kayak handai taulan, melancong, plesiran, dan setali tiga uang. Ada juga banyak kosakata Belanda, sayangnya nggak selalu disertai catatan kaki.
Graphic: Racism, Colonisation, Classism
Minor: Abortion