A review by hzboy
Capitalism: A Ghost Story by Arundhati Roy

3.0

I read in English but this review is written in Bahasa Indonesia

"Capitalism, he said, has conjured up such gigantic means of production and of exchange, that it is like the sorcerer who is no longer able to control powers of the netherworld whom he has called up by his spells".


Nama Arundhati Roy terdengar asing bagiku. Melalui beberapa esai Intan Paramaditha, ternyata Roy adalah salah satu penulis perempuan Asia yang karyanya patut dibaca. Roy sudah menulis sejak lama dan bukunya masuk ke dalam berbagai penghargaan.

Memulai mengenal Roy melalui Capitalism: A Ghost Story cukup mengagetkan. Roy adalah orang India dan hingga kini masih tinggal di New Delhi. Tidak heran jika India menjadi sorotan dalam tulisannya. Ia menjelaskan pandangannya mengenai bagaimana negaranya seakan memang "menciptakan" batas yang jelas antara kelompok ekonomi atas dengan kelompok ekonomi bawah. Bagaimana para konglomerat dan dibantu dengan beberapa pemangku jabatan di pemerintahan mewujudkan "kapitalisme" yang belum mensejahterakan banyak orang.

"Those who live outside the system; the outlaws in the forests, or those whose protests are never covered by the press, or the well-behaved Dispossessed, who go from tribunal to tribunal, bearing witness, giving testimony."


Roy memberikan sudut pandang yang berbeda terkait ekonomi dan pergerakan politik yang ada di negaranya. Hal ini mengingatkanku pada salah satu episode Patriot Acts with Hasan Minhaj yang membahas tentang pemilihan umum di India. Hanya saja, versi Roy memberikan sisi yang lebih gelap ketimbang Hasan Minhaj.

Meskipun demikian, tulisan Roy akan lebih mudah dipahami jika pembacanya memang sudah awam dengan berita-berita yang beredar di India. Banyak nama asing dan juga peristiwa-peristiwa yang sepertinya kurang diberitakan oleh media.

Tetapi, memulai mengenal Roy dengan Capitalism: A Ghost Story sepertinya bisa dianggap sebagai perkenalan yang cukup bijak. Capitalism tersaji dalam kumpulan esai yang tidak tebal (kurang dari 100 halaman) sehingga bisa dihabiskan dalam waktu yang relatif cepat. Dan ketika berhasil menyelesaikan Capitalism, rasanya ingin meneruskan membaca buku yang serupa (seperti tulisannya Naomi Klein atau Noam Chomsky atau George Orwell). Tidak heran jika buku ini dalam versi cetak, dihargai dengan cukup tinggi.

"Do we need weapons to fight wars? Or do we need wars to create a market for weapons?"