A review by tiareadsbooks25
Kakakku, Bongsoon by Gong Jiyoung

4.0

•recently read•
3.8/5⭐️

•••

Kakakku, Bongsoon merupakan buku autobiografi tentang kisah kehidupan Bongsoon, seorang pembantu di Seoul pada tahun 1960-an. Buku ini diceritakan dari sudut pandang Jjang, gadis berusia 5 tahun yang diasuh Bongsoon sejak ia lahir.

Dari Jjang, kita akan mengikuti cerita kehidupan Bongsoon yang selalu menderita dan bernasib buruk. Pada usia 6 atau 7 tahun, Bongsoon melarikan diri dari kekerasan ayah tirinya dan ditelantarkan oleh saudara ibunya. Tak sampai di situ, Bongsoon pun pernah bekerja tanpa pernah dibayar. Nasib baik baru datang pada Bongsoon ketika ia tinggal dan bekerja untuk keluarga Jjang, bahkan dianggap sebagai keluarga.

Bagi Jjang, Bongsoon bukan sekedar pembantu. Perempuan berusia 18 tahun itu merupakan orang pertama yang melihat wajah Jjang saat lahir, juga satu-satunya orang di dunia yang selalu ada dan memihak pada Jjang.

Jujur ya, buku ini tuh bikin nano-nano dan menguras emosi. Miris rasanya melihat Jjang tak diperhatikan dan tumbuh dewasa lebih cepat dari usianya. Ia bahkan sampai merokok, membaca majalah dewasa, hingga minum alkohol. Sedih dengan nasib Bongsoon yang selalu menjadi korban ketidakadilan dan gemes dengan kenaifan-nya yang mudah percaya pada orang lain. Tapi di sisi lain, aku salut dengan cara berpikirnya yang selalu positif.

Overall, aku cukup menikmati buku dengan genre slice of life ini. Buku autobiografi yang biasanya bikin bosen, tapi di buku ini enggak~ Aku suka gaya bercerita Gong Ji-young yang mengalir, apalagi bab-bab pendeknya bikin buku ini page-turner! Oh, aku cover bukunya pun cantik meski bernuansa sendu~ Buku ini pun padat akan pesan moral yang bisa dijadikan pembelajaran dalam hidup.

•••

#tiareadsbooks #tiawritesreviews

•••

FAVE QUOTES:

❝Peran kita seharusnya mengikuti nasib yang ada di depan kita. Seharusnya semuanya cukup dengan memikir-kan makna hidup bagi masing-masing. Sayangnya, tidak sesederhana itu...❞
—Page 9

❝Yah, beginilah kehidupan di dunia ini. Orang yang mengalami kesusahan biasanya bisa memahami perasaan satu sama lain. Sementara itu, orang yang serba berkecukupan terkadang memang menyeramkan.❞
—Page 27

❝Seharusnya aku menyadarinya saat itu. Dari sekian banyaknya emosi manusia yang tidak terhitung, seharusnya aku tidak menaruh harapan kepada mereka yang menunjukkan sikap permusuhan denganku. Meskipun aku tahu sejak awal bahwa dia akan bersikap seperti itu, aku tetap menaruh harapan yang akhirnya menjadi racun untukku.❞
—Page 70

❝Mungkin orang-orang tidak menginginkan kebenaran yang apa adanya. Orang-orang hanya menginginkan sesuatu yang telah dipikirkan atau diharapkannya. Ketika seseorang berjalan dengan membawa peta, tapi jalannya mengarah ke arah lain, maka orang itu lebih menginginkan jalannya berubah sesuai peta yang sudah tergambar. Dia tidak akan mau mengikuti jalan yang ada.❞
—Page 129