A review by veraveruchka
A Walk to Remember by Nicholas Sparks

4.0

Saya termasuk orang yang skeptis terhadap Sparks. Oke, dia penulis bagus. Oke, dia kayaknya punya satu lemari besar berisi ide siapa-jatuh-cinta-sama-siapa-karena-apa. Tapi setelah membaca dua bukunya (persisnya [b:Message in a bottle|3478|Message in a Bottle|Nicholas Sparks|http://d202m5krfqbpi5.cloudfront.net/books/1357124038s/3478.jpg|1622450] dan [b:The Lucky One|3063499|The Lucky One|Nicholas Sparks|http://d202m5krfqbpi5.cloudfront.net/books/1334083859s/3063499.jpg|3094402], saya merasa...ide awalnya bagus tapi makin ke belakang makin flat ya. Plotnya gampang ketebak. Ada bagian-bagian yang menarik untuk dibaca, tapi sebagian besar...humbala humbala humbala. Terasa seperti gumaman tanpa emosi buat saya. Walaupun Alin, teman saya, kayaknya naksir berat sama karya-karya Sparks (dan sukses bikin saya langsung inget dia tiap liat buku Sparks), itu nggak menular sama saya.

A Walk to Remember ini saya baca karena pengaruh teman-teman sih. Filmnya, yang dibintangi Mandy Moore, kata teman-teman saya 'sedih parah' atau 'ngena banget'. Pas saya tanya kenapa, mereka dengan 'baik hati'-nya menjabarkan cerita dari awal sampai akhir. Iya, lengkap dengan informasi yang seharusnya bisa saya nikmati lebih kalau saya menonton film/membaca buku sendiri. Ah, kebaikan teman-teman saya memang unik kadang-kadang.

Jadi, pas saya baca buku ini, saya udah tahu akhirnya bakal gimana. Garis besar jalan ceritanya juga saya udah tahu. Saya sama sekali nggak mengharapkan kejutan dari buku ini. Saya cuma mengharapkan...well, teman-teman saya diam karena akhirnya toh saya bersentuhan langsung juga dengan kisah ini, hahaha

Ternyata buku ini melampaui jauh ekspektasi saya. Sudut pandang orang pertama lewat mata Landon Carter, tokoh utama pria, membuat kisah ini jadi lebih hidup. Carter di usia tua mengingat kembali masa lalunya pada tahun 1958 di Beaufort, sebuah kota kecil di North Carolina. Saat itu dia adalah seorang cowok umur 17 tahun dari keluarga kaya dan termasuk golongan 'keren'. Dia tahu itu sebagian besar karena keberuntungan daripada kekerenannya sendiri. Seperti banyak remaja, Carter juga berpikir bahwa 'keren' itu semacam sinonim dari 'bandel', walaupun kebandelan di tahun 1958 terdengar sangat cupu jika dibandingkan dengan sekarang (Makan kacang malam-malam di kuburan? Yakali). Carter akan menjalani masa remajanya seperti remaja pada umumnya, apabila rencana Tuhan tidak mendekatkannya dengan Jamie Sullivan, anak pendeta setempat.

Apa yang saya sukai dari kisah ini? Saya suka bahwa kisah cinta antara Carter dan Jamie berlangsung mengalir dan dapat dengan mudah dipercaya. Saya suka bagaimana Sparks menggambarkan masa remaja pada tahun 1950-an di kota kecil, somehow it feels so quaint and comfortable to read. Saya suka penggambaran karakter Hegbert Sullivan, ayah Jamie, dengan Carter. Juga karakter Jamie...oh Jamie, the little angel! Kadang-kadang saya berpikir dia itu borderline Mary-Sue tapi saya nggak bisa mencibir karakter dia, nggak bisa! Seperti karakter lain dalam cerita, saya menunduk melihat senyum malaikat Jamie di dalam otak saya, dan dia boleh melanjutkan kebaikan hatinya yang seakan tanpa noda itu, suka-suka dia.

Tema besar dalam cerita ini buat saya adalah cinta, penerimaan, dan kedekatan dengan Tuhan sebagai kunci kedamaian. Agama saya berbeda dengan Jamie dan Carter sehingga saya tidak bisa terlalu menghayati ayat-ayat Alkitab yang bertebaran di buku ini, tapi saya bisa menangkap garis besarnya dan merujuk pada kitab suci saya sendiri. Menuju ke akhir cerita (yang saya udah tahu benar bagaimana, MAKASIH BANGET LOH TEMAN-TEMAN. IF YOU READ IT, YOU KNOW WHO YOU ARE!), saya juga merasa terlibat dalam kegelisahan Carter. Pada saat dia akhirnya menemukan jalan kedamaian, saya dapat mengerti perasaan itu.

Setiap ujung halaman seperti membisiki saya, "baca se-chapter lagi nggak apa-apa sih." Ada bagian-bagian yang mampu membuat saya menitikkan air mata, walaupun nangis kejer sih nggak, lebay ah. Akan lebih bagus kalau Sparks menceritakan juga bagaimana kehidupan Landon Carter di masa depan. Kan sempat disebut bahwa hubungannya dengan Jamie telah membentuk Carter menjadi 'lelaki yang seperti sekarang'. Nah, memangnya Carter di masa depan itu lelaki seperti apa? Seperti apa kira-kira efek sentuhan Jamie pada hidupnya? Ini adalah hal-hal yang ingin saya tahu setelah membaca kisah menyentuh ini, tapi sayang Sparks nggak banyak membahasnya.

This should be the first book of Sparks I have ever read. Maybe I won't be as skeptical when I read another...