You need to sign in or sign up before continuing.
Take a photo of a barcode or cover
nonania 's review for:
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pepohonan
sampai ke puncak.
Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti!
pg. 61
Membaca buku ini rasanya seperti menonton film musikal. Bedanya, “Aku” ini ada dalam bentuk buku, lalu bukanlah musik yang terjalin ke dalam narasinya, melainkan syair-syair dari Chairil Anwar. Terdapat narasi-narasi yang menuju pada penciptaan syair atau narasi pembacaan syair secara langsung oleh si lelaki parlente. Terlebih, ada gambaran penciptaan syair dari Chairil untuk perempuan-perempuan yang ia dekati (yang juga hadir dalam naskah ini). Ah, sulit menampik fakta bahwa Chairil adalah softboi pada masanya.
Buku ini berupa naskah film. Terdapat penggambaran mengenai latar cerita, tetapi dituliskan dengan tidak pasti, baik dari latar tempat maupun latar waktu. Namun, mengacu pada kalimat pertama, terdapat transisi-transisi dalam jalannya cerita, sehingga asumsi-asumsi mengenai latar tempat dan waktu dapat diciptakan saat membacanya. Naskah ini pun terlahir dari biografi. Kisah hidup Chairil yang eksentrik dan bebas memang layak untuk disimpan, dibaca, dan dikenang.
Beberapa bagian cerita cukup membingungkan karena bentuknya yang berupa naskah. Perlu dibaca lebih dari sekali untuk memastikan mana yang nyata dan mana yang khayal. Setelah dipahami dengan baik, terlahir image cerita yang sungguh mendalam. Dari segi detail, sulit rasanya membedakan tokoh, waktu, dan tempat hanya dengan membaca tanpa membayangkannya. Akan tetapi, apabila memperhatikan keseluruhan cerita, buku ini sangat bagus dan kompleks.
…
di Karet, di Karet (daerahku yang akan
datang) sampai juga deru angin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku
jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru
padamu, tapi kini hanya tangan yang
bergerak lantang. Tubuhku diam dan
sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
pg. 154
Rest in peace, Chairil Anwar
Lurus kaku pepohonan
sampai ke puncak.
Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti!
pg. 61
Membaca buku ini rasanya seperti menonton film musikal. Bedanya, “Aku” ini ada dalam bentuk buku, lalu bukanlah musik yang terjalin ke dalam narasinya, melainkan syair-syair dari Chairil Anwar. Terdapat narasi-narasi yang menuju pada penciptaan syair atau narasi pembacaan syair secara langsung oleh si lelaki parlente. Terlebih, ada gambaran penciptaan syair dari Chairil untuk perempuan-perempuan yang ia dekati (yang juga hadir dalam naskah ini). Ah, sulit menampik fakta bahwa Chairil adalah softboi pada masanya.
Buku ini berupa naskah film. Terdapat penggambaran mengenai latar cerita, tetapi dituliskan dengan tidak pasti, baik dari latar tempat maupun latar waktu. Namun, mengacu pada kalimat pertama, terdapat transisi-transisi dalam jalannya cerita, sehingga asumsi-asumsi mengenai latar tempat dan waktu dapat diciptakan saat membacanya. Naskah ini pun terlahir dari biografi. Kisah hidup Chairil yang eksentrik dan bebas memang layak untuk disimpan, dibaca, dan dikenang.
Beberapa bagian cerita cukup membingungkan karena bentuknya yang berupa naskah. Perlu dibaca lebih dari sekali untuk memastikan mana yang nyata dan mana yang khayal. Setelah dipahami dengan baik, terlahir image cerita yang sungguh mendalam. Dari segi detail, sulit rasanya membedakan tokoh, waktu, dan tempat hanya dengan membaca tanpa membayangkannya. Akan tetapi, apabila memperhatikan keseluruhan cerita, buku ini sangat bagus dan kompleks.
…
di Karet, di Karet (daerahku yang akan
datang) sampai juga deru angin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku
jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru
padamu, tapi kini hanya tangan yang
bergerak lantang. Tubuhku diam dan
sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
pg. 154
Rest in peace, Chairil Anwar