A review by itzreibrary
Parade Hantu Siang Bolong by Titah AW

4.0

Anak Indonesia mana yang tidak tumbuh besar tanpa cerita mitos? Tentang makhluk-makhluk gaib menakutkan semacam tuyul, pocong, dan kuntilanak? Atau mungkin tentang tenung/santet dan kesurupan? Tak bisa dimungkiri, hal-hal semacam ini sudah menjadi budaya yang lekat dalam keseharian masyarakat Indonesia. Tak berlebihan apabila disebutkan, bahwa bila Indonesia merupakan sebuah buku, maka genrenya pastilah realisme magis. Lalu, apakah Parade Hantu Siang Bolong, yang bersubjudul Kumpulan Reportase Jurnalistik Menyoal Mitos dan Lokalitas, juga membahas hal-hal mistis dan gaib semacam itu, hanya dengan gaya yang lebih keren?⁣⁣
⁣⁣
Jawabannya sayang sekali tidak, huehehe. Sebenarnya buku ini berisi laporan reportase sang penulis, Titah AW, yang menyorot kehidupan masyarakat melalui sisi budayanya, dalam hal ini, secara spesifik masyarakat lokal dari wilayah Yogyakarta. Menurutnya, selama ini cerita-cerita budaya yang diterbitkan oleh surat kabar hanya menyorot sisi mistisnya saja, dengan gaya yang payah dan murahan, sekadar clickbait. Sementara Titah lebih menggali seperti apa sebetulnya budaya dalam suatu wilayah, baik yang bersifat mistis maupun lebih sederhana dan realistis, dan dampaknya kepada kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.⁣⁣
⁣⁣
Mulai dari yang bernuansa mistis seperti flashmob kesurupan, pesta pernikahan batu, ilmu tarot, kampung keramat yang hanya bisa dihuni oleh tujuh kepala keluarga, sampai yang lebih nyata seperti budaya tawuran dan grup Facebook lokal yang membahas tentang berbagai kejadian di jalan raya, Titah menyajikan reportasenya dengan teramat apik, tidak menghakimi, pun tidak membahas fakta ilmiah atau penjelasan yang masuk nalar, hanya penyajian yang apa adanya dengan bahasa yang ringan bahkan kocak, dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.⁣⁣

Kalau harus memilih, kisah tentang kampung tandus yang berswasembada pangan dan pameran sejarah di Kaliurang jadi favoritku, tapi yang bisa membuatku ngakak sejadi-jadinya: sayembara mengumpat demi melestarikan bahasa. Sayang sekali aku bukan orang Jawa, aku membayangkan kelucuan berlipat bila sayembara ini diadakan dalam bahasa Sunda!⁣⁣