A review by chemistreads
Kabut Negeri si Dali by A.A. Navis

5.0

Kumpulan cerpen ketiga karya Ali Akbar Navis yang gw baca setelah [b:Jodoh: Kumpulan Cerpen|40899881|Jodoh Kumpulan Cerpen|A.A. Navis|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1532272143l/40899881._SY75_.jpg|1648051] dan [b:Bertanya Kerbau pada Pedati: Kumpulan Cerpen|1653456|Bertanya Kerbau pada Pedati Kumpulan Cerpen|A.A. Navis|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1484379119l/1653456._SX50_.jpg|1648039]. Lima belas cerpen yang ditulis dalam rentang waktu antara tahun 1990 sampai 1999. Jika kumcer berjudul 'Jodoh' penulis bercerita kehidupan tokoh fiksional sebelum dan sesudah pernikahan, dan kemudian kumcer 'Bertanya Kerbau pada Pedati' penulis menggunakan majas metafora untuk menyinggung masalah kemanusiaan dan politik, maka di kumcer berjudul 'Kabut di Negeri si Dali' ini penulis menceritakan sisi lain kehidupan tokoh-tokoh di masa perang/pertempuran/pemberontakan.

Hidup dalam tatanan kekuasaan dan dominasi militer lebih dari 50 tahun (yakni sejak pendudukan Jepang tahun 1942; ke perang Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia hingga ke kekuasaan militerisme Orde Baru) memberi pengaruh dan kesan yang tidak sama antara militer sebagai pasukan dan militer sebagai pribadi anggotanya. -kata pengantar

Kata 'Dali' yang disematkan di judul merupakan nama yang terinspirasi dari panggilan adik-adik penulis terhadap dirinya, Uda Ali. Tokoh Dali digambarkan sebagai tokoh yang tidak hanya berdiri sendiri di dalam suatu cerpen, tetapi berdiri di hampir keseluruhan cerpen dalam kumcer ini.

Semua cerpen melibatkan sebuah nama, yakni si Dali. Dia bisa menjadi pelaku utama atau pelaku sampingan. Bisa juga sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. - kata pengantar

Semua cerpen dalam 'Kabut di Negeri si Dali' ini menyenangkan untuk dibaca. Walaupun begitu, ada beberapa cerpen yang gw favoritkan, diantaranya berjudul 'Sang Guru Juki', 'Gundar Sepatu', dan 'Marah yang Merasai'. Cerita 'Gundar Sepatu' mengisahkan sebuah benda bernama 'gundar', yang bahkan ketika diketik dalam mesin pencarian saat ini sepertinya tidak menggambarkan wujud yang sama seperti yang ada di zaman dahulu, yang sangat penting sekali di zamannya, hingga membuat seorang letnan mencurinya dari seorang sersan. Ternyata, gundar itu berperan sebagai pengganti keberadaan istri yang ditinggalkan berperang dalam waktu yang tidak sebentar. Sementara itu, cerpen 'Marah yang Merasai' bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Marah Ahmad yang idealismenya untuk tidak menunjukkan kesetiaan kepada Jepang pada masa pendudukan akhirnya runtuh juga akibat siksaan yang dialaminya. Cerita ini juga mengisahkan bagaimana strategi licik penjajah dalam mengadu domba penduduk setempat yang kemudian dijadikan alibi untuk berkuasa.

Dalam cerita berjudul 'Sang Guru Juki', diceritakan seorang tokoh bernama Juki yang berprofesi sebagai guru namun ikut teman-temannya di garis depan perjuangan untuk menyingkir ke pedalaman saat keadaan memburuk. Suasana yang tersirat dalam cerita ini sepertinya suasana pertempuran saudara, bukan melawan penjajah. Buat gw, cerita ini menarik salah satunya karena penggambaran suasana tersebut dengan baik, yang mengisahkan sisi lain kehidupan orang-orang yang 'mundur' sementara dari pertempuran. Istri dan anak ditinggal, untuk kemudian numpang di kediaman kenalan baru. Tokoh Juki ini sayangnya digambarkan sebagai orang yang kerjanya hanya kawin sana-sini. Setiap musuh berhasil menyerbu jauh lebih ke dalam, Juki pun, yang ikut teman-temannya masuk ke pedalaman yang lebih jauh, mengawini perempuan tempatnya menetap. Pertama, muridnya bernama Sitti, kemudian seorang janda bernama Baiyah. Hobi kawin beserta jalan pikiran Juki yang diceritakan dalam cerita ini memang sangat menggelitik nilai moral. Mungkin pada masa peperangan, jalan pikiran seperti itu yang ada pada kebanyakan laki-laki?

"Kau pikir enak jika menumpang di rumah orang tanpa memberi apa pun? Enak, ya memang enak. Tapi hatiku ini yang merasa tidak enak. Tidak ada jalan lain, si Janda dapat suami, aku dapat makan. Impaslah", kata Juki seperti seenak perutnya. - halaman 29

"Bagaimana kau mengemasi istri-istrimu nanti bila perang berakhir?"
"Kau pikir hidup perempuan-perempuan desa itu bergantung pada suaminya? Mereka perempuan yang mandiri. Mereka punya rumah, punya tanah, punya ladang untuk menjamin hidupnya."
"Tapi di mana letak moralnya?"
"Moralnya? Moralnya adalah pada kebanggan orang desa dapat suami orang kota seperti aku. Guru lagi."
- halaman 31

Sembarangan juga jalan pikiran tokoh bernama Juki ini.

Di dalam cerita 'Sang Guru Juki' ini penulis juga menyelipkan satu ajaran filosofis yang mengena, tentang dua macam takdir.

"Si Dali tidak menyesali jalan hidupnya yang dia rancang dan lalui. Karena dia menghayati benar makna tulisan H. Agus Salim dalam buku Takdir, Iman dan Tawakal. Maksudnya kira-kira: "Ada takdir yang tidak bisa dipikirkan akal, yaitu lahir dan mati. Lainnya, takdir yang datang karena bersebab dan berakibat. Karena manusia berbuat sesuatu pada suatu waktu dan pada suatu tempat, maka berakibat tertentu pada diri sendiri. Berbuat dan berakibat oleh per-usaha-an itulah yang harus dipikirkan oleh akal supaya hidup selamat dunia dan akhirat." - halaman 35

Cerita ini berkembang hingga suatu saat si Juki tertangkap dan ditahan di dalam penjara. Tidak lama dia dipenjara. Sebabnya, ia menggunakan jalan pikirannya yang picik dengan 'menjual' istrinya yang ketiga, Baiyah yang janda, kepada Komandan yang menahannya. Sekali lagi, penulis mengungkapkan sisi filosofis yang ada di dalam dirinya:

"Dalam hati si Dali bertanya-tanya, "Siapa sebetulnya yang berkorban atau yang dikorbankan?" Jalaran pikirannya berlanjut pada istri Juki yang lain. Rosni (istri pertama) dan Sitti (murid, istri kedua). Apakah mereka ikut berkorban atau jadi korban? Ataukah ikut terseret oleh perjalanan takdir yang berputar di sekitar sumbu sejarah. Bila benar, apa makna manusia sebagai orang seorang sebagaimana makhluk Tuhan?" - halaman 37