Scan barcode
A review by ruangtitikkoma
Putri Kedua (Second Sister) by Chan Ho-Kei
adventurous
challenging
dark
emotional
funny
hopeful
informative
inspiring
mysterious
reflective
sad
tense
medium-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.5
Sejak bagian awal, saya sudah merasakan suasana seperti ketika menonton film-film detektif atau kepolisian Hong Kong yang dulu sering sekali wara-wiri di tv.
Sepanjang 632 halaman, dengan gaya penulisan naratif-informatif, menunjukkan kepiawaian penulisnya memotret detil-detil kecil adegan visual untuk diubah dalam bentuk teks. Sekaligus sebaliknya, mengubah teks menjadi tervisualisasi dalam imajinasi pembaca.
Jika film-film HK mungkin berdurasi 2-3 jam, membaca buku setebal ini menghabiskan 2-3 hari. Artinya, cukup memerlukan usaha, waktu, juga fokus agar mampu mengikuti narasi cerita yang dikisahkan penulis.
Jika pembaca sudah sering menonton film-film serupa, gagasan yang disampaikan Chan Ho-Kei ini relatif tidak baru. Kisah pembunuhan yang berusaha dibalut dalam peristiwa bunuh diri. Bukan hanya HK saja yang mengangkat kisah semacamnya, juga misal dalam drama thriller Korea.
Meski begitu, yang membuat novel ini selangkah lebih di depan adalah idenya memasukkan unsur kejahatan cyber (cyber crime) sebagai cara/metode yang digunakan pelaku, sekaligus metode penyelidikan. Detektif (jika boleh menyebutnya demikian) tidak memiliki lisensi secara formal untuk penyelidikan. Lebih kepada hacker kecenderungan karakternya.
Penokohan sang hacker ini sama persis dengan gambaran yang biasa kita lihat juga di film-film mereka : misterius, sangat cerdas, dingin, dan tampak gembel. Hidup tanpa diketahui siapa jati dirinya, tapi sangat jenius menuntaskan banyak kasus sulit. Karakter antihero yang banyak disukai pemirsa/pembaca.
Saya meratingnya 4.5/5 karena merasakan usaha penulis membuat cerita tanpa putus semacam ini tidak mudah. Bagaimana membuat plot, alur, yang harus detil dan teliti, memikirkan agar semua pertanyaan pembaca bisa terjawab sendiri, memutar otak untuk tambal sana-sini agar benar-benar tanpa plot-hole adalah sulit. Hasilnya, bisa dinikmati dengan baik oleh pembaca.
Sepanjang 632 halaman, dengan gaya penulisan naratif-informatif, menunjukkan kepiawaian penulisnya memotret detil-detil kecil adegan visual untuk diubah dalam bentuk teks. Sekaligus sebaliknya, mengubah teks menjadi tervisualisasi dalam imajinasi pembaca.
Jika film-film HK mungkin berdurasi 2-3 jam, membaca buku setebal ini menghabiskan 2-3 hari. Artinya, cukup memerlukan usaha, waktu, juga fokus agar mampu mengikuti narasi cerita yang dikisahkan penulis.
Jika pembaca sudah sering menonton film-film serupa, gagasan yang disampaikan Chan Ho-Kei ini relatif tidak baru. Kisah pembunuhan yang berusaha dibalut dalam peristiwa bunuh diri. Bukan hanya HK saja yang mengangkat kisah semacamnya, juga misal dalam drama thriller Korea.
Meski begitu, yang membuat novel ini selangkah lebih di depan adalah idenya memasukkan unsur kejahatan cyber (cyber crime) sebagai cara/metode yang digunakan pelaku, sekaligus metode penyelidikan. Detektif (jika boleh menyebutnya demikian) tidak memiliki lisensi secara formal untuk penyelidikan. Lebih kepada hacker kecenderungan karakternya.
Penokohan sang hacker ini sama persis dengan gambaran yang biasa kita lihat juga di film-film mereka : misterius, sangat cerdas, dingin, dan tampak gembel. Hidup tanpa diketahui siapa jati dirinya, tapi sangat jenius menuntaskan banyak kasus sulit. Karakter antihero yang banyak disukai pemirsa/pembaca.
Saya meratingnya 4.5/5 karena merasakan usaha penulis membuat cerita tanpa putus semacam ini tidak mudah. Bagaimana membuat plot, alur, yang harus detil dan teliti, memikirkan agar semua pertanyaan pembaca bisa terjawab sendiri, memutar otak untuk tambal sana-sini agar benar-benar tanpa plot-hole adalah sulit. Hasilnya, bisa dinikmati dengan baik oleh pembaca.