A review by paupereads
Kita Pergi Hari Ini by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

dark emotional mysterious sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? N/A
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.5

KITA PERGI HARI INI sudah lama tersimpan di bookshelf, beberapa kali aku coba baca tapi disimpan kembali. Tiga hari lalu, mau coba baca karena ngerasa gak paham jokes teman-teman sudah baca buku ini. Yang berakhir.. Aku pengen banget GWS-in diri sendiri.

Dibandingkan JSP & Di Tanah Lada, KPHI bisa dibilang absurd. Jangan tertipu dengan cover, ataupun embel-embel kata anak, atau pun blurb terlihat seperti kisah petualangan biasa.

Diawal cerita, pembaca diperkenalkan dengan tokoh-tokoh dalam kisah ini. Mi, Ma, Mo, dan Tetangga Sebelah, Fifi & Fufu. Tiga bersaudara diperlihatkan sebagai sosok anak-anak lucu dan bikin ketawa. Sementara, Tetangga sebelah, sangat manis. Pertemuan dengan Nona Gigi, kucing dari Kota Terapung Luar Kucing Luar Biasa bukan untuk petualangan heroik & menyenangkan. Tapi, menakutkan dan membuat mereka ingin pulang.

Menurut aku— awal buku ini ngebosenin, aku berusaha banget untuk kelarin. Aku gak masalah dengan imajinasi Ziggy, ataupun kata-kata dia gunakan. Sudahlah, baca buku dia tanpa perlu mikir, let it flow aja (Buku ini penggunaan kata bikin pusing) Tapi, aku ngerasa KPHI bertele-tele.

Setelah sampai di Sirkus Sendu mulai terlihat titik dari keseluruhan cerita ini, flow dari ketawa-ketiwi-seru-lucu- mulai berubah menjadi gore, darkness, dan bikin melongo.

"KOK JADI GINI?"

Apapun itu terkait narasi mengenai Kota Terapung Kucing Luar Biasa bikin aku geleng-geleng. Ziggy, mau sentil isu tentang apa sih? Biasanya, aku masih bisa paham dan gak terlalu sulit menafsirkan cerita-cerita aneh, tapi pengecualian untuk KPHI, aku bener-bener pusing.

Aku bahkan menganggap ini soal orang tua capek sama anak-anak akhirnya menyingkirkan mereka, pas bukan dengan narasi ending KPHI? (Footnote di sini gila. Apalagi bagian terakhir. Cukup tahu saja). 

KPHI sukses bikin ekspresi aku berubah-ubah setiap halaman, bagaimana pun buku ini memang gak bisa dibilang kurang bagus, karena untuk memahami sang penulis sendiri, kita harus masuk ke dunianya. Buat aku pribadi, JSP & Di Tanah Lada masih terbaik, namun KPHI bisa dibilang salah satu jembatan untuk bisa lebih mengenal sang penulis.