Scan barcode
A review by moniqcla
Teh dan Pengkhianat by Iksaka Banu
5.0
“Aku tak pernah gentar menghadapi maut. Semua tahu, aku kehilangan nyawa di sini karena membela sesuatu yang kuyakini sebagai kebenaran.”
Iksaka Banu mengajak para pembacanya menyusuri kisah yang terbentang dari era kolonial Belanda di Indonesia hingga selepas kemerdakaan melalui 13 kumpulan cerita pendeknya berjudul Teh dan Pengkhianat. Yang pertama kali ingin saya apresiasi mengenai buku ini adalah, saya jatuh cinta dengan gaya penulisan dan ide-ide yang tertuang. Banu berhasil menaruh nafas dan ruh pada setiap cerita yang dibangun, disertai pula ilustrasi yang membantu pembaca untuk membentuk daya imajinasi. Meski terkesan baku, tulisannya tetap renyah dinikmati.
Beberapa kejadian historis di'remake' dalam bentuk fiksi, seperti penemuan globe, peran Alibasah Sentot Prawirodirdjo, pendirian surat kabar Soenting Meladjoe, perubahan keputusan Prajurit Jannes Grisjman, mencakup hal detail lain tentang cara berpakaian orang Eropa, Cina, dan pribumi. Dari sini saya juga mengetahui taktik licik yang dilakukan orang Belanda setelah mengepung penyelundupan opium.
Nano-nano sekali rasanya setelah tuntas membaca ini, walaupun wordbuildingnya tidak begitu kompleks. Bila ditanya 3 cerpen mana yang menjadi favorit, saya akan memilih Kalabaka, Kutukan Lara Ireng, dan Indonesia Memanggil.
Saya merekomendasikan buku ini bagi yang ingin terjun ke genre historical fiction atau yang malas membaca novel sejarah tebal.
Iksaka Banu mengajak para pembacanya menyusuri kisah yang terbentang dari era kolonial Belanda di Indonesia hingga selepas kemerdakaan melalui 13 kumpulan cerita pendeknya berjudul Teh dan Pengkhianat. Yang pertama kali ingin saya apresiasi mengenai buku ini adalah, saya jatuh cinta dengan gaya penulisan dan ide-ide yang tertuang. Banu berhasil menaruh nafas dan ruh pada setiap cerita yang dibangun, disertai pula ilustrasi yang membantu pembaca untuk membentuk daya imajinasi. Meski terkesan baku, tulisannya tetap renyah dinikmati.
Beberapa kejadian historis di'remake' dalam bentuk fiksi, seperti penemuan globe, peran Alibasah Sentot Prawirodirdjo, pendirian surat kabar Soenting Meladjoe, perubahan keputusan Prajurit Jannes Grisjman, mencakup hal detail lain tentang cara berpakaian orang Eropa, Cina, dan pribumi. Dari sini saya juga mengetahui taktik licik yang dilakukan orang Belanda setelah mengepung penyelundupan opium.
Nano-nano sekali rasanya setelah tuntas membaca ini, walaupun wordbuildingnya tidak begitu kompleks. Bila ditanya 3 cerpen mana yang menjadi favorit, saya akan memilih Kalabaka, Kutukan Lara Ireng, dan Indonesia Memanggil.
Saya merekomendasikan buku ini bagi yang ingin terjun ke genre historical fiction atau yang malas membaca novel sejarah tebal.