A review by tsamarah
The Dating Game by Nina Ardianti

emotional funny inspiring lighthearted medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

Bertemakan romansa pada kesempatan kedua (second chance romance), The Dating Game mengisahkan tentang Kemal Arsjad dan Emma Sjarief, dua milenial ibukota yang dipertemukan kembali setelah sebelumnya keduanya berada di ambang dilema hubungan tanpa status yang berujung kandas 5 tahun silam. Pertemuan kembali mereka yang tanpa disengaja dalam satu perjalanan yang sama membangkitkan kembali perasaan-perasaan yang mereka sudah kubur bertahun-tahun—antara cinta, amarah, dan penyesalan yang kini berkecamuk. Apakah Kemal dan Emma mampu memperbaiki tali kasih yang sempat rusak, atau justru pertemuan kembali ini semakin merenggangkan hati mereka?

Second chance romance secara genre sendiri merupakan kisah yang hampir jarang sekali terjadi, sama halnya dengan realita hubungan asmara yang telah kandas; hampir selalu suatu hubungan yang telah usai tidak akan memiliki sebuah loophole agar hubungan tersebut dapat dilanjutkan, dan jika hal itu terjadi, artinya sudah ada kedewasaan dan kesiapan untuk meneruskan apa yang sebelumnya sudah selesai. Berhubungan dengan novel tersebut, Ardianti mengangkat kesiapan diri menjadi topik sentral dalam mempertemukan kembali Kemal dan Emma, membawa audiens untuk menyaksikan bagaimana mereka berkembang hingga titik pendewasaan diri, di mana mereka pada akhirnya sanggup untuk berkata "iya" pada sebuah hubungan yang pasti.

Maka dari itu, alur penceritaan yang disampaikan oleh Ardianti bertumpu pada karakterisasi dua tokoh utama tersebut, menilik masing-masing kepribadian dan latar belakang Kemal dan Emma yang mendorong sikap mereka seperti yang terlihat oleh pembaca. Penceritaan yang berpusat pada penokohan tidak jarang memengaruhi laju cerita yang menjadi lambat karena penulis memakan waktu untuk "membedah" tokoh-tokohnya, namun hal demikian tidak terjadi dalam novel ini; walaupun masih terbilang slow-burn, alurnya tidak lambat atau terlalu cepat. Ardianti membagi porsi yang baik antara pembedahan karakter dan pengembangan cerita, sehingga mampu menggaet dan mempertahankan ketertarikan pembaca untuk mengikuti jalannya kisah Kemal dan Emma.

Tidak hanya dalam penokohan maupun tema, tetapi penuaian konfliknya pun juga dikatakan dewasa—dewasa yang dimaksud adalah nihilnya penambahan bumbu-bumbu "spesial" yang dapat memantik konflik berkepanjangan, seolah Ardianti sendiri ingin menyiratkan pesan melalui novelnya bahwa karakter-karakter yang ia bentuk tidak lagi pada posisi atau usia yang memerlukan konflik "panas" yang menambahkan drama tanpa esensi tertentu. Alur seperti ini sebetulnya bukan sesuatu yang langka, tapi tidak semua penulis berkeinginan untuk mengerucutkan konflik tanpa adanya tambahan-tambahan subplot yang tidak perlu. Oleh karena itu, melihat sebuah novel melakukan hal demikian seperti yang dilakukan oleh Ardianti layaknya menghirup udara segar.

Sebagai karakter utama, Kemal dan Emma merupakan tokoh yang menggambarkan manusia milenial ibukota kelas menengah ke atas secara sempurna; mulai dari pembahasaan dialog yang cenderung code-switching hingga lifestyle dan independensi sebagai orang yang memiliki karir cemerlang di usia yang memasuki kepala tiga. Emma sebagai wanita yang selama hidupnya adalah anak tunggal berstatus yatim piatu yang dibesarkan oleh kakek nenek, digambarkan sebagai sosok yang memahami apa dia butuhkan dan tegas dalam meraih kemauannya, bukan orang yang neko-neko, tetapi dapat berkompromi. Di sisi lain, Kemal memiliki kepribadian yang cukup bertolak belakang dari Emma—sesama orang yang berkemauan tegas dan memahami keinginannya, tetapi lebih banyak memikirkan pertimbangan lainnya sebelum melakukan aksi untuk mewujudkan keinginannya tersebut.

Perbedaan akan kepribadian Kemal dan Emma membuat chemistry yang dibangun menjadi natural namun menarik. Interaksi antar keduanya dilingkupi dialog yang berbobot, kasual, serta intensitas flirting yang mendorong pembaca untuk berharap agar mereka cepat jadian. Bahkan dalam situasi konflik pun, masing-masing karakter menyuguhkan argumen yang logis dan tetap mempertahankan chemistry yang ada. Sehingga, mudah sekali untuk melihat bagaimana keduanya saling memiliki persamaan maupun perbedaan akan kepribadian yang menjadikan keduanya cocok dengan satu sama lain.

Salah satu hal yang paling menarik dari penokohan dua pemeran utama ini adalah penggambaran job description Kemal sebagai lawyer dan Emma sebagai finance yang detil dan informatif, yang menunjukkan pengetahuan teknis dan riset mendalam Ardianti sebagai penulis yang juga bekerja di salah satu bank ternama dengan posisi jabatan yang cukup tinggi. Ardianti juga cukup lihai dalam menyisipkan detil ini dalam novel tanpa terkesan jenuh atau terlalu saintifik, apalagi untuk novel metropop romansa. Keterbukaan lifestyle Kemal dan Emma serta sekelilingnya tanpa ada siratan atau doktrinasi tabu, walaupun tidak terlalu vulgar dalam penggambarannya, dapat menjadi highlight tersendiri dalam novel ini.

Dengan demikian, The Dating Game merupakan novel metropop romansa yang fresh dan dewasa dengan intensitas chemistry yang kuat dari kedua pemeran utama, yang menceritakan sebuah second chance romance antar dua orang yang tujuan akhir menjalin hubungan adalah settle down selama hidup mereka. Betul-betul novel romansa yang dikemas secara apik tanpa terkesan menggurui ataupun menyek-menyek, dan cocok sebagai bacaan bagi audiens yang menggemari genre romansa atau mencari novel yang cenderung tidak terlalu berat untuk dinikmati. 

Expand filter menu Content Warnings