sometimesdazai 's review for:

Amba by Laksmi Pamuntjak
4.0

"Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu."

Itu adalah kalimat pertama sekaligus pembuka "Amba" dan seketika saya dibuat jatuh cinta.

"Amba" mengambil latar sejarah pada masa pertengahan 1960-an, dengan puncak konflik terjadi pada Oktober 1965, beberapa saat setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S). "Amba" ditulis dengan sudut pandang yang lebih kiri; tokoh utama merupakan kekasih dari seorang yang tertuduh (atau terlibat) PKI, yang kemudian hilang ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol); dan karenanya adalah juga sebagai korban. Berpuluh tahun setelah sejarah berdarah itu terjadi -bertahun-tahun setelah Orde Baru runtuh- ia berkunjung ke Buru, dalam usaha mencari kekasihnya yang tak pernah kembali bahkan setelah kamp dibubarkan dan para tapol dipulangkan.

Tidak seperti dua buku yang saya resensi sebelum dan sesudah ini, membaca "Amba" membutuhkan tempo yang lebih lambat. "Laut Bercerita" dan "Pulang" jelas sebuah narasi dengan alur maju yang cepat dan padat, sedangkan "Amba" tidak demikian. Bagian perkenalan dengan alur yang berubah-ubah, sedikit menyulitkan saya mengenali karakter-karakter pada awalnya.

Ah, ya, karakter. Terkadang kita bisa menyukai buku sekaligus tokoh-tokohnya; bisa jadi pula memfavoritkan karakter tertentu tapi membenci keseluruhan ceritanya yang, yah, bukan selera kita saja -ya, karena membaca adalah menyoal selera. Dalam hal ini, sebaliknya: saya menyukai keseluruhan "Amba" (mungkin karena berlatar belakang sejarah yang begitu gelap dan berdarah-darah) namun rasanya sulit sekali bersimpati pada karakter tokoh-tokohnya. Salah satunya betapa Amba, sang tokoh utama, seorang perempuan mandiri, dalam, dan tangguh tetiba menjadi rapuh, tenggelam, dan terombang-ambing yang melupakan cita-citanya hanya karena seorang Bhisma: cintanya.

Tapi saya sangat menikmati "Amba" salah satunya adalah karena terdapat banyak sisipan kisah pewayangan dan Mahabharata.

"Siapa pun yang menulis Wedhatama, ia wruh sakdurunging winarah. Ia sudah melihat zaman yang belum datang: zaman yang memamerkan agama, zaman yang menghakimi orang lain. Orang semakin mundhi diri lapal makna, orang semakin pendhak-pendhak angendak gunaning janma."

Tapi, lagi-lagi, hal yang benar-benar ironis adalah betapa komunisme, yang sangat ditakuti pada masanya itu, sebenarnya tidak -atau sangat sedikit sekali- peduli pada masalah bertuhannya engkau atau tidak; sesuatu yang amat disalahpahami sejak dulu -dan bahkan mungkin sampai sekarang. Adalah betapa manusia ternyata memiliki jejak kekejaman dan kebengisan purba yang jika disulut pada sumbu yang tepat, berdarahlah sebuah kota.

"Semua yang ia ketahui tentang dunia ini telah ia pelajari di Buru."

Amba | Laksmi Pamuntjak | 577 halaman | 4/5