Take a photo of a barcode or cover
A review by devipurwanti
Berburu Buaya di Hindia Timur by Risda Nur Widia
adventurous
informative
reflective
medium-paced
4.0
Gaya tulisan Risda Nur Widia di Berburu Buaya di Hindia Timur tuh seger dan tengil. Seger karena cerpen dalam buku ini (ada enam) punya format yang cukup beragam.
Misalnya, ada satu bagian yang ditulis seperti artikel ilmiah lengkap dengan abstrak, pendahuluan, pembahasan, dan kesimpulan. Ini aja udah bikinku tergelitik. Lebih lanjut, di bagian lain dia nunjukkin kalau dia paham betul—pembaca cenderung lebih tertarik sama aksi heroik daripada kekalahan, dan itu tercermin dari cara dia nyetir jalan ceritanya wkwkwk.
Sudut pandang yang dipakai juga nggak kalah seger. Nggak cuma dari manusia atau hewan, tapi juga dari benda mati, seperti benteng. Ini bikinku makin tertarik buat eksplor bacaan lain yang pakai sudut pandang serupa, apalagi belakangan aku terpapar pandangan kalau benda yang kita anggap mati sebenarnya punya kehidupan sendiri.
Sudut pandang yang dipakai juga nggak kalah seger. Nggak cuma dari manusia atau hewan, tapi juga dari benda mati, seperti benteng. Ini bikinku makin tertarik buat eksplor bacaan lain yang pakai sudut pandang serupa, apalagi belakangan aku terpapar pandangan kalau benda yang kita anggap mati sebenarnya punya kehidupan sendiri.
Secara latar, buku ini berpusat di Hindia Belanda, terutama di Jawa, tapi juga melebar ke Ambon dan belahan dunia lain di masa ekspedisi kolonial buat mencari wilayah yang bisa dieksploitasi sumber dayanya. Menuju bagian akhir, aku makin terkesan, terutama dengan cerpen 1913.
Sebab, tema yang diangkat masih terus relevan, dari kebebasan berekspresi, kontrol negara lewat penyensoran dan pengerahan preman (preman berseragam maupun tanpa seragam), sampai konsekuensi bagi mereka yang melawan. Nggak asing kan? Ada satu kutipan yang membekas: “Selama di negeri ini tidak ada keadilan, kami lebih memilih pergi atau diasingkan.”
Sebab, tema yang diangkat masih terus relevan, dari kebebasan berekspresi, kontrol negara lewat penyensoran dan pengerahan preman (preman berseragam maupun tanpa seragam), sampai konsekuensi bagi mereka yang melawan. Nggak asing kan? Ada satu kutipan yang membekas: “Selama di negeri ini tidak ada keadilan, kami lebih memilih pergi atau diasingkan.”
Damn. Bro udah kepikiran #KaburAjaDulu.
Setelah baca ini, aku makin penasaran juga buat ngulik Perang Jawa dan kekuatan mistis, sesuatu yang berbenturan sama akalku. Juga, soal gimana preman pertama kali digunakan pemerintah buat melenyapkan perlawanan, asal-usul kata “monyet” jadi makian, dan gimana penahanan rumahan ternyata masih lebih ringan daripada pengasingan.
Ada momen di mana nama Martha Christina Tiahahu disebut, dan aku langsung membatin, “Akhirnya, ketemu lagi tokoh perempuan yang bukan hanya jadi korban.” Sempat nemu kesalahan ketik ringan, tapi nggak sampai ganggu pengalaman membaca.
Ada momen di mana nama Martha Christina Tiahahu disebut, dan aku langsung membatin, “Akhirnya, ketemu lagi tokoh perempuan yang bukan hanya jadi korban.” Sempat nemu kesalahan ketik ringan, tapi nggak sampai ganggu pengalaman membaca.
Graphic: Slavery, Murder, Colonisation, War, Classism
Moderate: Gun violence, Rape, Alcohol
Minor: Suicide, Injury/Injury detail