Scan barcode
A review by diaratewi
Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari
5.0
Buku ini sudah mengendap di sudut rak buku saya sekurang-kurangnya 7 tahun—pernah saya baca kira-kira seperempatnya, tapi itu pun sudah lama sekali. Dulu saya bukan penikmat fiksi-fiksi literatur semacam ini, jadi rasanya wajar saja saya tidak pernah benar-benar tertarik membaca buku ini saat usia saya masih belasan.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang kehidupan Srintil dan Rasus, dua anak Dukuh Paruk yang ditinggal mati ayah-ibunya akibat tragedi racun tempe bongkrek (yang saya sendiri tidak tahu apa itu atau bagaimana wujudnya). Srintil kemudian menjadi ronggeng, dan Rasus menjadi tentara—sederhananya begitu. Lebih dari itu, buku ini bercerita tentang Dukuh Paruk, kampung tertinggal di Dawuan yang setiap penduduknya buta huruf, melarat, dan hidup dalam norma-norma yang mungkin kurang lazim jika dianut di daerah lain.
Srintil sejak kecil senang menari, dan tetua Dukuh Paruk dibuatnya percaya bahwa ada indang ronggeng dalam dirinya—syarat utama menjadi ronggeng yang sebenarnya. Semua gembira, kecuali Rasus yang telah lama menjadikan Srintil perwujudan ibunya yang hilang entah di mana. Tapi Srintil tetap harus menjadi ronggeng, dan Rasus yang marah pada Dukuh Paruk karena menjadikan perwujudan ibunya seorang ronggeng minggat untuk menjadi tentara tanpa pangkat. Ia pergi meninggalkan dua: Srintil yang patah hati luar biasa, dan Dukuh Paruk yang damai dan bergembira dengan kehadiran ronggeng di tengah-tengahnya.
Menjadi ronggeng, tentu saja bukan hanya perkara menari—ia korban dominasi budaya patriarki. Dan menjadi penduduk Dukuh Paruk juga bukan hanya perkara hidup dalam keluguan—ia korban hiruk pikuk politik Indonesia di tahun 1965. Srintil dan kelompok ronggengnya dianggap berkaitan dengan PKI, dan karenanya seluruh pedukuhan dilalap api, sosok-sosok pentingnya dibui.
Secara kasat mata, barangkali akan banyak yang melihat Ronggeng Dukuh Paruk sebagai sebuah love story—yang saya rasa tepat, namun hanya secara parsial. Srintil mencintai Rasus, mencintai juga keperempuanannya—semula yang dapat menguasai laki-laki, kemudian yang menginginkan 'tempat berlabuh'. Rasus mencintai (atau mungkin lebih tepatnya merindukan) sosok Emak, mencintai juga Dukuh Paruk, tanah airnya yang tidak seberapa. Sakarya mencintai kesetiaannya pada Ki Secamenggala. Kartareja dan istrinya mencintai penghasilan mereka sebagai dukun ronggeng.
Membaca Ronggeng Dukuh Paruk, rasanya seperti melihat dengan mata kepala sendiri segala kejadian di dalamnya berkat penuturan yang mendetail. Isi pikir setiap tokohnya juga diuraikan secara rinci, sehingga setiap bagian cerita terasa sangat manusiawi—meski mungkin bagi sebagian orang ini menjadikannya terkesan lambat dan terlalu bertele-tele.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang kehidupan Srintil dan Rasus, dua anak Dukuh Paruk yang ditinggal mati ayah-ibunya akibat tragedi racun tempe bongkrek (yang saya sendiri tidak tahu apa itu atau bagaimana wujudnya). Srintil kemudian menjadi ronggeng, dan Rasus menjadi tentara—sederhananya begitu. Lebih dari itu, buku ini bercerita tentang Dukuh Paruk, kampung tertinggal di Dawuan yang setiap penduduknya buta huruf, melarat, dan hidup dalam norma-norma yang mungkin kurang lazim jika dianut di daerah lain.
Srintil sejak kecil senang menari, dan tetua Dukuh Paruk dibuatnya percaya bahwa ada indang ronggeng dalam dirinya—syarat utama menjadi ronggeng yang sebenarnya. Semua gembira, kecuali Rasus yang telah lama menjadikan Srintil perwujudan ibunya yang hilang entah di mana. Tapi Srintil tetap harus menjadi ronggeng, dan Rasus yang marah pada Dukuh Paruk karena menjadikan perwujudan ibunya seorang ronggeng minggat untuk menjadi tentara tanpa pangkat. Ia pergi meninggalkan dua: Srintil yang patah hati luar biasa, dan Dukuh Paruk yang damai dan bergembira dengan kehadiran ronggeng di tengah-tengahnya.
Menjadi ronggeng, tentu saja bukan hanya perkara menari—ia korban dominasi budaya patriarki. Dan menjadi penduduk Dukuh Paruk juga bukan hanya perkara hidup dalam keluguan—ia korban hiruk pikuk politik Indonesia di tahun 1965. Srintil dan kelompok ronggengnya dianggap berkaitan dengan PKI, dan karenanya seluruh pedukuhan dilalap api, sosok-sosok pentingnya dibui.
Secara kasat mata, barangkali akan banyak yang melihat Ronggeng Dukuh Paruk sebagai sebuah love story—yang saya rasa tepat, namun hanya secara parsial. Srintil mencintai Rasus, mencintai juga keperempuanannya—semula yang dapat menguasai laki-laki, kemudian yang menginginkan 'tempat berlabuh'. Rasus mencintai (atau mungkin lebih tepatnya merindukan) sosok Emak, mencintai juga Dukuh Paruk, tanah airnya yang tidak seberapa. Sakarya mencintai kesetiaannya pada Ki Secamenggala. Kartareja dan istrinya mencintai penghasilan mereka sebagai dukun ronggeng.
Membaca Ronggeng Dukuh Paruk, rasanya seperti melihat dengan mata kepala sendiri segala kejadian di dalamnya berkat penuturan yang mendetail. Isi pikir setiap tokohnya juga diuraikan secara rinci, sehingga setiap bagian cerita terasa sangat manusiawi—meski mungkin bagi sebagian orang ini menjadikannya terkesan lambat dan terlalu bertele-tele.