A review by jenggala
Belenggu by Armijn Pane

emotional inspiring reflective sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? N/A
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.75

,,Kita takut djuga kepada bajang-bajang ........... djiwa kita. Takut mendengar suara didalam hati kita." Tono berhenti.

,,Mengapa akan takut, Tono? Kalau didalam hati menjanji, menarik lagu jang senang-senang? Apa perlunja takut?"

,,Kalau semuanja mati, mesti djugakah menarik lagu jang senang-senang?"

Jah tertawa berderai-derai. ,,Didalam hatiku djuga banjak jang sudah mati, tetapi didalam hatiku riang gembira djuga."

- hal. 82

Saya harus baca ulang ini lagi, karena saya mau menulis resensi yang proper, tapi untuk sekarang cukup diingat: ini salah satu sastra Indonesia terfavorit saya dan telah mengubah hidup saya.

Tini tiada menanti djawab, terus berkata, sama sendirinja : ,,Kalau didalam hati laju, perasaan kasih sajang hilang dalam hati perempuan, sudah mendjadi beku, seolah-olah hatinja air beku sadja ......... perempuan itu, bukan perempuan lagi ..........."

- hal. 102

Dia tiada peduli lagi mendengar Siti Hajati mendapat angka sembilan, angka tertinggi, dia mendapat hadiah kesatu. Kemudian dia bentji duduk disana, dia bentji kepada apa sadja, kepada manusia jang banjak itu, kepada siapa sadja. Dia tiada dapat menahan kekusutan pikirannja. Ditengah-tengah manusia itu dia sesak napasnja, merasa sempit dalam hatinja.

- hal. 105

,,Pernahlah aku minta ampun kepada Allah, djangan lagi didatangkannja godaan kepadaku, djangan aku pandai berpikir, biarlah dibuangnja otakku, djangan aku sadar akan diriku.

Djangan kita berpikir, biar kita mengetjap apa jang sudah ada. Djangan kita menaksir jang belum ada, djangan kita menjusahkan pikiran sebelum waktunja. Baik djugalah sekali-kali menjanjikan lagu lama."

- hal. 41-42