A review by clavishorti
Silsilah Duka by Dwi Ratih Ramadhany

dark emotional mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Buku Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany menyingkap tabir dengan narasi yang tegas dan menghunjam, menampilkan pemandangan yang meratap. Bagai aliran sungai yang deras, saya dengan cepat terhanyut dalam alur cerita yang, meski tenggelam dalam gelap, mampu menelusup begitu mudah di benak saya. Meski terselip beberapa kata yang mengundang saya untuk merenung lebih lama, saya menemukan kedalaman makna dengan menjelajahi samudra kata di perpustakaan maya.

Sesuai dengan namanya, Silsilah Duka, karya ini memaparkan bagaimana duka tak hanya lahir, melainkan juga merembes dalam aliran waktu, membentuk karakter, bahkan menyulam tradisi. Melalui rentetan kisah yang dimulai dari Juhairiyah, Ramlah, hingga Majang, pena penulis menjejak kerumitan simpul masa lalu yang masih tersamar untuk diungkapkan.

Dengan tebalnya nuansa yang menyelimuti setiap halaman, buku ini menampilkan potongan-potongan kehidupan yang terjalin dalam 134 halaman, membentuk gambaran yang terdiri dari beberapa bab yang bersambung. Namun, di balik kerapatan itu, saya masih menemukan celah untuk pengembangan lebih lanjut, menggali plot menjadi sebuah novela yang memukau dengan kedalaman dan kejelasan yang lebih besar.

Dari segi penokohan, saya merasa sang penulis mampu mengukir dengan sangat baik. Terutama, saya ingin memberikan tepuk tangan yang meriah kepada sang penulis karena kepiawaiannya dalam membentuk karakter Juhairiyah yang begitu hidup—sehingga membuat pembaca merasakan gelora emosional, dari kemarahan hingga kejengkelan.

Saya menemukan bahwa setiap gerak dan tingkah laku Juhairiyah terasa sungguh nyata, seakan-akan dia hidup di hadapan kita. Bahkan, tidak jarang saya merasa tersinggung dan terganggu oleh perbuatannya, sebagaimana layaknya reaksi yang muncul terhadap seorang tokoh yang memiliki kepribadian yang kuat dan kontroversial.

Oh, bagaimana tidak, ketika membaca kisah Juhairiyah, seolah-olah saya telah terlibat langsung dalam percakapan dengan karakter tersebut, merasakan getaran emosi yang mengalir begitu alami. Sungguh, keberhasilan penulis dalam menjiwai tokoh ini layak diapresiasi dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Meskipun cerita ini hanyalah hasil cipta imajinasi, namun tak dapat disangkal bahwa realitasnya mencerminkan kejadian yang sering menghiasi panggung dunia nyata. Bagaimana perempuan, terlebih yang telah melangkah menjadi seorang istri, haruslah meniti perjalanan hidup di bawah tekanan standar masyarakat yang kadangkala menyempitkan, bahkan menindas. Begitu mereka melangkah ke pelaminan, seakan-akan tangan-tangan tak terlihat mengikat mereka, merenggut hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Tak hanya itu, buku ini juga menyoroti betapa seringnya kita terdengar menyebutkan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Namun, apabila sang “penjaga” surga tersebut ternyata bertingkah laku dengan kurang mulia, bagaimana nasib sang anak? Terlebih lagi, ketika sang anak berani mengingatkan sang ibu akan kebaikan, namun malah dituduh sebagai anak yang durhaka dan pemberontak. Sungguh, tema yang diusung begitu mendalam dan memikat hati.

Dalam kerangka cerita ini, kita dapat merenungkan betapa kompleksnya relasi antara ibu dan anak, serta bagaimana peran mereka saling memengaruhi dalam membentuk kepribadian dan pandangan hidup. Setiap baris kata yang terpahat dalam buku ini menghembuskan kehidupan pada tiap halamannya, mengajak kita untuk menenggelamkan diri dalam samudra perenungan yang mendalam.

Saya merasakan kesenangan yang tiada tara saat menjelajahi setiap lembaran kata, terutama dengan alur yang dipaparkan, naik-turun, menyuguhkan misteri yang semakin menggelora dan mengundang teka-teki di setiap putarannya. Namun, sayangnya, ketika kisah yang begitu berani diawali dengan langkah-langkah mantap, di penghujung perjalanan, saya merasakan kekosongan dalam narasi.

Dalam hal ini, saya merenungkan bahwa sebuah karya seni, sekalipun indah di awalnya, memerlukan kesetiaan terhadap visi dan keberanian untuk mengeksplorasi setiap lapisan cerita hingga akhir. Mungkin, keberanian yang diharapkan tidak hanya terletak pada langkah-langkah pertama, tetapi juga pada langkah-langkah terakhir, di mana penulis dapat mengekspresikan pandangan dan pesannya dengan penuh keberanian dan konsistensi.

Kelemahan ini, bagaimanapun, tidak melukai keindahan keseluruhan karya. Ia meninggalkan ruang bagi imajinasi pembaca untuk merenung dan berupaya menerka-nerka. Seolah-olah sang penulis dengan sengaja menabur beberapa petunjuk tersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, atau bahkan menyisakan kesan ambigu yang memacu pemikiran pembaca.

Dengan demikian, setelah menyelami setiap halaman dengan cermat, saya menemukan bahwa Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany adalah sebuah karya yang memikat, memukau, dan menggugah. Meskipun tak luput dari beberapa kekurangan, namun keindahan yang tersirat dalam setiap baris kata mampu menembus jantung pembaca dan membiarkan imajinasi terbang menjelajahi dunia yang diciptakan sang penulis. Sebuah karya yang patut diapresiasi dan diperbincangkan, mampu merajut benang merah kehidupan yang kompleks, dan menaburkan biji-biji pemikiran yang akan terus bersemi dalam ingatan pembaca.

Expand filter menu Content Warnings