A review by eireen
The Invasion of the Tearling by Erika Johansen

3.0

“There's a better world out there, so close we can almost touch it.”

Baca buku kedua dari seri The Queen of the Tearling ini sebenarnya butuh usaha lebih. Aku pertama kali baca buku pertamanya itu bulan April 2016 lalu. Dan aku ingat banget sebenarnya ide cerita buku pertamanya bagus tapi entah kenapa masih belum tertarik banget untuk baca lanjutannya. Alhasil sekarang, 3 tahun kemudian, aku baru mulai penasaran dengan kelanjutannya dan memutuskan untuk menyelesaikan seri ini.

Yang aku alamin sepanjang buku ini mungkin hampir sama seperti orang lain. BINGGUNG. Ini buku sebenarnya genrenya apa sih? Yang aku ingat di buku pertama genrenya itu medieval fantasy. Middle age dengan sentuhan magic. Tapi dibuku kedua ini (di dunia Lily Mayhew) kelihatannya lebih ke futuristic. Lily sendiri lahirnya di tahun 2058, hidup di jaman penuh teknologi modern dan pemberontakan. Sontak berasa seperti culture shock. Jadi selama ini aku mengira Queen Kelsea dkk hidup di Middle Age itu salah donk? Karena Erika Johansen ini menggambarkan seolah-olah Kelsea dan Lily hidup di dunia parallel. Anyway itu semua nanti akan terjawab di akhir buku kedua ini.
“The problems of the past.
How the problems of the past, uncorrected, inevitably became the problems of the future.”

Aku merasa buku kedua ini lebih menitikberatkan masalah women oppression. Baik di dunia Lily maupun Kelsea, nampaknya selalu ada masalah ini.

Contoh, di dunianya pada tahun 2083, Lily dan teman-teman sesama wanitanya masih dianggap lebih rendah daripada pria dan sudah seharusnya mereka tunduk pada suami. Lily dianggap gagal sebagai wanita hanya karena ia belum memiliki anak dan harus rela dipukuli dan dikasari.

Di dunia Kelsea sendiri juga tidak jauh berbeda. Kelsea diharapkan untuk segera punya keturunan di usianya yang baru 19 tahun. Bahkan ia ditawari “reward” oleh raja dari kerajaan lain yaitu menjadi istri utamanya (dari 24 istri lainnya!) untuk membentuk aliansi dan Kelsea harus rela kehilangan posisinya sebagai Queen of Tearling. Seriously, how could you call that a reward??

description

Memang sepanjang buku ini kelihatan ada hubungan antara Kelsea dan Lily, tapi semua ini baru akan mulai jelas ketika sudah memasuki 3 chapter akhir. Barulah jelas bahwa memang Kelsea adalah keturunan dari Lily dan vision yang didapat Kelsea selama ini adalah masa sebelum crossing. Dan ternyata crossing yang dimaksud selama ini adalah melewati ruang waktu.

Jadi memang benar Lily hidup di jaman modern dan akhirnya ikut menyebrangi ruang waktu bersama William Tear (yang adalah raja pertama kerajaan Tearling) ke masa lalu, masa dimana Kelsea dan para pendahulunya hidup. Disitu pula lah terungkap salah satu kekuatan terbesar kalung sapphire yang dimiliki Kelsea adalah untuk menyebrang ke masa lalu.

Harus aku akui cara bercerita Erika Johansen ini cukup pintar. Dia bisa membuat pembacanya bingung dan sibuk menebak-nebak dan baru pada akhirnya terjawab di akhir cerita. Itu pula lah yang membuat aku merasa harus menyelesaikan buku ini karena pasti belum puas kalau belum mendapat jawaban yang jelas.

Tapi tetap saja, diakhir buku kedua ini ada cliffhanger yang menyebalkan dan masih ada beberapa hal yang masih belum jelas. Siapa sih sebenarnya Fetch? Terus Rowland Finn itu siapa? Penghianatan macam apa yang dia lakukan sampai dia mendapat hukuman (atau kutukan) yang berat? Bagaimana dengan nasib Kelsea dan kerajaannya? Akan jadi ratu macam apa dia diakhir cerita nanti?

Karena hal-hal yang belum terjawab inilah, aku jadi semakin penasaran dan memutuskan untuk langsung lanjut baca buku terakhirnya. (Pinter juga triknya si Erika ini.) Semoga buku terakhirnya nanti memang bisa menjawab semua pertanyaan dari buku-buku sebelumnya dan cerita ini bisa ditutup dengan ending yang sempurna ya.
“When it fails, they do call it madness, Lazarus. But when it succeeds, they call it genius.”