Scan barcode
A review by jephthaah
I Want to Know Why by Sherwood Anderson
challenging
mysterious
reflective
fast-paced
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? Yes
2.75
Sejujurnya, enggak terlalu yakin akan apa yang berusaha disampaikan lewat cerita ini. Tapi saya berusaha, dan mungkin ini kesan-kesan saya.
Cerita ini mengisahkan seorang remaja berusia 15 tahun, yang sangat menyukai kuda pacuan. Bahkan mungkin mencintai dan menyembah segala sesuatu tentang kuda pacu yang telah menyatu dalam satu tarikan nafas dan darahnya. Sementara ia menaruh rasa cintanya pada kuda favoritnya, Sunstreak, tokoh utama menyadari ia menaruh rasa yang sama kepada Jerry Tillford, sang pengendali kuda. Ia menyadari ini ketika saling bertatapan mata. Mungkin cinta, kagum? Saya enggak tahu juga. Yang pasti sang tokoh utama sejak itu selalu merasa ingin dekat Jerry, dan satu malam ketika ia sedang menguntit Jerry, tanpa sengaja tokoh utama melihat Jerry bercumbu-cumbuan dengan wanita penghibur, yang menurut tokoh utama, busuk. Protagonis kita tidak mengerti. Ia marah. Mungkin cemburu. Mungkin protagonis merasa terkejut, orang yang dia pikir berbagi rasa, berbagi gairah dengannya tentang kuda, orang yang ia pikir saling terikat batin dengannya ternyata sangat rendah karena menggauli wanita sundal kotor. Dia bingung. Protagonis bertanya, “I want to know why?”
Saya juga bingung. Kenapa?
Mungkin sebenarnya protagonis adalah seorang homoseksual, dan ia cemburu dengan Jerry?
Mungkin ia jijik, orang yang ia agung-agungkan dan ia sucikan bagai nabi, melakukan perbuatan bejat dan tercela?
Mungkin karena usianya yang belia, ia terkejut melihat aktivitas seksual yang ia nilai penuh dosa, khususnya di zaman ketika orang masih sangat ketat dengan nilai moral agama, bertolak belakang dengan kuda-kuda pacu favoritnya yang mencerminkan keagungan dan kekudusan hidup?
Entahlah. Juga tata bahasanya cukup aneh, tapi saya juga bukan ahli bahasa, mungkin memang bahasa yang lazim di zaman itu. Dan sangat rasis juga kalau menurut sudut pandang kekinian.
Tambahan (14 Oktober 2024):
Hari ini saya membaca Pulang. Lalu ada kalimat seperti ini:
Cerita ini mengisahkan seorang remaja berusia 15 tahun, yang sangat menyukai kuda pacuan. Bahkan mungkin mencintai dan menyembah segala sesuatu tentang kuda pacu yang telah menyatu dalam satu tarikan nafas dan darahnya. Sementara ia menaruh rasa cintanya pada kuda favoritnya, Sunstreak, tokoh utama menyadari ia menaruh rasa yang sama kepada Jerry Tillford, sang pengendali kuda. Ia menyadari ini ketika saling bertatapan mata. Mungkin cinta, kagum? Saya enggak tahu juga. Yang pasti sang tokoh utama sejak itu selalu merasa ingin dekat Jerry, dan satu malam ketika ia sedang menguntit Jerry, tanpa sengaja tokoh utama melihat Jerry bercumbu-cumbuan dengan wanita penghibur, yang menurut tokoh utama, busuk. Protagonis kita tidak mengerti. Ia marah. Mungkin cemburu. Mungkin protagonis merasa terkejut, orang yang dia pikir berbagi rasa, berbagi gairah dengannya tentang kuda, orang yang ia pikir saling terikat batin dengannya ternyata sangat rendah karena menggauli wanita sundal kotor. Dia bingung. Protagonis bertanya, “I want to know why?”
Saya juga bingung. Kenapa?
Mungkin sebenarnya protagonis adalah seorang homoseksual, dan ia cemburu dengan Jerry?
Mungkin ia jijik, orang yang ia agung-agungkan dan ia sucikan bagai nabi, melakukan perbuatan bejat dan tercela?
Mungkin karena usianya yang belia, ia terkejut melihat aktivitas seksual yang ia nilai penuh dosa, khususnya di zaman ketika orang masih sangat ketat dengan nilai moral agama, bertolak belakang dengan kuda-kuda pacu favoritnya yang mencerminkan keagungan dan kekudusan hidup?
Entahlah. Juga tata bahasanya cukup aneh, tapi saya juga bukan ahli bahasa, mungkin memang bahasa yang lazim di zaman itu. Dan sangat rasis juga kalau menurut sudut pandang kekinian.
Tambahan (14 Oktober 2024):
Hari ini saya membaca Pulang. Lalu ada kalimat seperti ini:
“Surti adalah isteri, pendamping hidup. Dengan Marni, aku merasakan nafsu kaum proletar yang bergelora.”
Lewat kalimat ini saya agak memahami apa yang dirasakan protagonis hingga ia ingin membunuh Jerry Tillford.
Betapa lancang, berani-beraninya, menggunakan tatapan yang sama, lambang kebesaran, lambang keagungan, kausematkan pada perempuan sundal!
Protagonis yang mengidolakan—mungkin mencintai—Tillford seketika runtuh semua kekaguman tentangnya dan berganti dengan kejijikan.
Rasanya hampir sama seperti Dimas—dan saya—ingin menghajar dan menghabisi Hananto semampus-mampusnya.