Take a photo of a barcode or cover
A review by whatnovireads
Damar Kambang by Muna Masyari
5.0
Penulis di novel ini bagus banget di awal bab memancing emosi pembaca. Pembaca langsung disuguhkan oleh fenomena perempuan yang tak berdaya mendebat keputusan-keputusan salah sang suami dalam rumah tangga. Ini jadi poin plus yang buat pembaca semakim tertarik untuk melahap buku sampai habis.
Gak hanya di Madura, di daerah lain bahkan di kota pun perihal hantaran masih menjadi primadona dalam pernikahan. Sedikit hantaran yang diberikan, cibiran bisik-bisik tak enak pun terdengar "murah sekali harga wanita, masa hanya itu?, loh tapi orang kaya?, kan mereka keluarga terpandang". Tapi di sisi lain, mahal dan banyaknya hantaran pun tak bisa lepas juga dari bisik-bisik tak enak, "dasar matre, kasihan calon lelaki diperas habis, harusnya perempuan meringankan mahar". Sungguh serba salah dunia pernikahan.
Kasihan sekali dengan semua tokoh wanita yang ada di novel ini kecuali Sahla. Mungkin karena perannya sedikit, tapi sisanya semua menanggung sedih, malu, sakit hati, dan amarah terhadap lelaki yang mereka percayai.
Kalau di Sumba, tingginya belis menjadi alasan untuk melakukan tradisi Kawin Tangkap dan menikahlah mereka, maka lain di Madura. Tingginya mahar menjadi syarat mutlak adat, jika tidak maka pernikahan gagal di depan pagar rumah dan takkan ada pernikahan lagi dengan calon yang sama.
Kegagalan pernikahan itu harus Cebbhing lupakan dan dia diminta diam oleh orangtua meski telah menjadi tumbal atas nama adat dan kehormatan.
Mana sebenarnya syarat yang harus kita ikuti? Menurut ajaran agama atau adat yang sudah meluhur?
Gak hanya di Madura, di daerah lain bahkan di kota pun perihal hantaran masih menjadi primadona dalam pernikahan. Sedikit hantaran yang diberikan, cibiran bisik-bisik tak enak pun terdengar "murah sekali harga wanita, masa hanya itu?, loh tapi orang kaya?, kan mereka keluarga terpandang". Tapi di sisi lain, mahal dan banyaknya hantaran pun tak bisa lepas juga dari bisik-bisik tak enak, "dasar matre, kasihan calon lelaki diperas habis, harusnya perempuan meringankan mahar". Sungguh serba salah dunia pernikahan.
Kasihan sekali dengan semua tokoh wanita yang ada di novel ini kecuali Sahla. Mungkin karena perannya sedikit, tapi sisanya semua menanggung sedih, malu, sakit hati, dan amarah terhadap lelaki yang mereka percayai.
Kalau di Sumba, tingginya belis menjadi alasan untuk melakukan tradisi Kawin Tangkap dan menikahlah mereka, maka lain di Madura. Tingginya mahar menjadi syarat mutlak adat, jika tidak maka pernikahan gagal di depan pagar rumah dan takkan ada pernikahan lagi dengan calon yang sama.
Kegagalan pernikahan itu harus Cebbhing lupakan dan dia diminta diam oleh orangtua meski telah menjadi tumbal atas nama adat dan kehormatan.
Mana sebenarnya syarat yang harus kita ikuti? Menurut ajaran agama atau adat yang sudah meluhur?