A review by ayacchi
In the Name of Honor by Mukhtar Mai

4.0

Mata dibayar mata. Begitulah kira-kira salah satu hukum dasar dari masyarakat adat. Di mana pembalasan dendam atas kejahatan kehormatan adalah hal yang wajar dan diperbolehkan. Yang menjadi masalah adalah bahwa satu mata dapat dibalas dengan dua atau bahkan lebih mata.

Mukhtar Mai, sebagai anak perempuan tertua dan wanita terhormat (karena mengajar Al Quran), dibujuk untuk meminta pengampunan dari klan Mastoi atas tuduhan yang dijatuhkan pada adiknya yang masih berusia 12 tahun. Tuduhan tak konsisten itu mulanya hanya sebatas pencurian tebu, tapi kemudian bergulir menjadi perayuan seorang wanita Mastoi, hingga pemerkosaan. Saran dari pemimpin desa yang merupakan salah satu anggota dewan adat tidak didengar, dan anggota lain (yang kebanyakan adalah klan Mastoi) merencanakan pemerkosaan massal sebagai hukuman. Lucu memang, di saat pemerkosaan dan zina adalah perbuatan terlarang dan patut dihukum, hukuman berupa pemerkosaan tidak dianggap sebagai kejahatan. Dan wanita, sebagai makhluk 'nomor 2', yang tugasnya hanya melayani suami dan keluarga tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, selalu menjadi pelampiasan, objek pembalasan dendam dan penjatuhan hukuman.

Kasus Mukhtar Mai hanyalah satu bagian kecil dari pelanggaran HAM oleh masyarakat patriarki. Kasus yang apabila tidak terendus media, tidak akan pernah sampai ke ranah internasional. Dan korbannya tidak akan pernah mengetahui hak-haknya. Bahwa kejahatan itu adalah salah, bahwa mereka tidak sepatutnya merasa bersalah atas kejahatan yang dilakukan orang lain.

Dalam kasus-kasus semacam ini, korban dengan mudahnya berubah menjadi pihak yang bersalah atas 'kebohongannya' dan 'keikutsertaannya' dalam tindakan bejat tersebut. Masyarakat, dengan sindiran dan ancamannya, mendorong korban untuk mengakhiri hidupnya karena tekanan dan rasa malu. Melaporkan kasus hanya akan menambah daftar ancaman balas dendam. Toh, mereka tidak bisa membaca. Dan polisi, yang kebanyakan tidak berdaya dengan kekuatan dewan adat, hanya akan menyuruh korban membubuhkan cap jempol di atas kertas kosong. Segala kisah mereka berubah menjadi kata-kata polisi. Sehingga ketika kasus dibawa ke pengadilan, korban akan disudutkan dengan inkonsistensian laporan, yang menyebabkannya dicap sebagai pembohong. Ketika korban hidup dalam ketakutan, para pelaku tidak merasa resah sedikit pun, karena mereka yakin akan dibebaskan.

Keadilan dalam hukum sepertinya masih menjadi tanda tanya besar bagi kemanusiaan. Masih saja ada orang-orang apatis yang memutarbalikkan fakta dengan teori-teori tak berperikemanusiaan mereka.

Pendidikan itu penting bagi perempuan. Bukan untuk mengadu dan mengalahkan lelaki. Karena setara tidak berarti sama. Tapi banyak dari masyarakat patriarki yang menganggap pendidikan untuk anak perempuan itu tidak penting. Apakah sebenarnya mereka takut akan kekuatan perempuan? Kekuatan perempuan yang menolak untuk diam?