A review by aynsrtn
Naomi: Cinta Si Tolol by Jun'ichirō Tanizaki

4.0

Buku yang bikin aku kesel dan hanya bisa mengelus dada karena saking keselnya melihat ketololan dan kebucinan Kawai Joji kepada Naomi. Huft, buku yang cukup satu kali aku baca selama hidupku. Bukan berarti buku ini tidak bagus, justru bagus. Namun, agar demi ketenangan batin, lebih baik cukup dibaca sekali saja :D

Aku membaca buku ini dalam versi terjemahan bahasa Indonesia yang berjudul Naomi: Cinta si Tolol. Sesuai judulnya memang cerita tentang orang yang tolol dalam hal percintaan. Terima kasih kepada Penerbit Haru dan Ribeka Ota yang sudah menerjemahkan buku ini.

Berkisah tentang Kawai Joji, seorang insinyur muda yang menyukai kebarat-baratan, salah satunya perempuan jepang yang terlihat seperti perempuan barat bernama Naomi. Saking sukanya sama budaya barat, di buku ini nama Naomi dicetak miring agar supaya dianggap konsonan asing. Sungguh dedikasi. Joji pun merawat Naomi dari usia 15 tahun sampai dijadikan istri. Usia mereka terpaut jauh yaitu 13 tahun. Jadi, saat itu Naomi 15 tahun sementara Joji 28 tahun.

Melihat sinopsis singkat di atas sudah terlihat bukan bahwa buku ini disinyalir ada kisah grooming di dalamnya. Ya, memang betul. Bahkan ada beberapa adegan yang menurutku eksplisit ya. Kalau rating bukunya 21+ mungkin bisa dipertimbangkan. Tapi, buku ini ratingnya 17+. Serta ucapan-ucapan dan celetukan Joji dan Naomi kadang bikin bulu kuduk meremang :""

Namun, disamping hal itu, buku ini pun menjelaskan kultur dan apa yang terjadi di era Taisho (saat buku ini ditulis dan setting di bukunya sendiri). Di mana masyarakat Jepang seakan—hampir—kehilangan identitas diri karena menyukai budaya barat. Padahal Jepang bukan negara yang pernah dijajah oleh bangsa barat, tapi kultur barat sungguh berkesan bagi mereka, terutama si tokoh utama di buku ini yaitu Kawai Joji.

Joji ingin hidup ala barat. Pernikahannya dengan Naomi tidak berdasarkan perjodohan, tetapi atas keinginan sendiri. Dulu waktu zaman itu, menikah kan berdasarkan perjodohan orang tua. Lalu, tinggal di rumah gaya barat. Bukan rumah yang ada tatami seperti biasanya rumah-rumah Jepang. Gaya hidupnya pun ala barat. Makan beefsteak, pergi dansa, dan pakaian pun kebarat-baratan. Obsesi itu yang membuat Joji sadar—tanpa sadar—membentuk karakter Naomi. Bahkan aku menuliskan daftar "dosa" Naomi karena dia sungguh karakter yang membuatku tercenung. Dia hidup di tahun 1920an, tetapi bisa relevan di era sekarang. Dan membuatku berkontemplasi, ada lho perempuan seperti "itu".

Akhir kata, buku ini bisa merefleksi tentang penting relasi dalam sebuah hubungan. Bagaimana efek budaya luar tidak membuat diri sendiri krisis identitas. Dan yang terpenting, meskipun cinta kadang tak ada logika, but please still being logic. Atau jika tidak, mungkin akan bernasib sama seperti Kawai Joji.