A review by iraboklover
Teh dan Pengkhianat by Iksaka Banu

4.0

Saya sempat galau saat memutuskan untuk membeli buku ini. Galau mau membeli buku cetak atau buku digitalnya saja.

Kalau membeli buku cetak, saya harus pergi ke ibukota provinsi yang memakan waktu kurang lebih 10 jam pulang pergi perjalanan darat. Itupun kalau stoknya ada.

Kalau beli online saya takut tak keburu karena buku ini rencanya mau dibaca untuk ikut Tantangan Baca Goodreads Indonesia Bulan Januari dengan tema Buku yang Mendapat Penghargaan pada 2019. Belum lagi masalah ongkos kirim yang besarnya bisa untuk beli satu buku lagi. Kalau beli buku digitalnya, yaah, saya kurang nyaman saja sih membaca buku digital.

So, setelah ditimbang-timbang, akhirnya saya memutuskan untul membeli buku digitalnya saja. Karena setelah saya cek sana sini, buku ini tidak terlalu tebal. Saya rasa mata saya masih bisa diajak kompromi untuk membaca buku setebal 164 halaman saja.

Oke, sekian curcolnya. Dan inilah dia, buku Teh dan Pengkhianat, pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 kategori prosa. Haduh, saya kalau mereview buku pemenang penghargaan macam ini rada kurang pede gimana gitu. Siapalah saya ini.yang menulis review saja masih amburadul. Jadi, kalau ada kata-kata saya di review ini yang ngawur atau sotoy mohon dimaklumi ya, hihihi.

Teh dan Pengkhianat, setelah membaca blurb-nya, saya bersemangat sekali untuk membaca habis ketiga belas cerita pendek yang ada di dalam buku ini.

Apalagi setelah membaca cerita pendek pertama yang berjudul Kalabaka. Saya benar-benar tak menyangka ceritanya bakalan seperti itu. Kisahnya diceritakan dengan gaya surat yang ditulis oleh seorang ayah kepada anaknya.

Sang ayah diceritakan sebagai orang Belanda yang masih memiliki nurani. Yang berontak ketika melihat perlakuan kejam bangsanya terhadap orang-orang Banda. Haduh, perasaan saya jadi campur aduk setelah membacanya.

Hanya saja, kekaguman saya terhadap cerita pendek pertama ini jadi buyar karena di akhir cerpen ini, tertulis "Jatiwaringin, Oktober 2018". Saya sempat lola sebentar. Saya kira mungkin ada kesalahan cetak tanggal, sebelumnya akhirnya saya ngeh kalau "Jatiwaringin, Oktober 2018" itu adalah tanggal ditulisnya cerpen ini oleh si pengarang, bukan tanggal ditulisnya surat sang ayah kepada anaknya itu, *tepokjidat*.

Kedua belas cerita pendek berikutnya adalah Tegak Dunia, Teh dan Pengkhianat, Variola, Sebutir Peluru Saja, Lazarus Tak Ada di Sini, Kutukan Lara Ireng, Di Atas Kereta Angin, Belenggu Emas, Nieke De Flinder, Tawanan, Indonesia Memanggil dan Semua Sudah Selesai.

Favorit saya berikutnya setelah Kalabaka adalah Semua Sudah Selesai. Seperti judulnya, cerpen ini menceritakan tentang situasi di saat kependudukan Belanda terhadap Indonesia sudah berakhir. Orang-orang Belanda dipersilakan pulang kembali ke negerinya. Sayangnya, setelah beratus tahun berada di negeri orang, memilih menetap di Indonesia atau kembali ke negeri sendiri sama-sama menimbulkan resiko bagi orang-orang Belanda tersebut. Somehow, cerpen terakhir ini membuat hati saya dag dig dug duer dengan keputusan akhir yang diambil oleh tokoh utamanya, hahhah.

Cerpen Teh dan Pengkhianat serta Tawanan juga menarik perhatian saya karena dimasing-masing cerita tersebut terdapat tokoh pengkhianat. Hanya saja di Teh dan Pengkhianat, pengkhianatnya dari pihak Hindia sedangkan di Tawanan, pengkhianatnya dari pihak Belanda. Mereka berkhianat karena alasan situasi dan kondisi mereka masing-masing. Saya merasa ... errr... sedikit sedih saat mengetahui alasan kenapa kedua tokoh dari masing-masing cerpen tersebut memutuskan untuk berkhianat kepada bangsanya.

Next, kutipan favorit saya dari buku ini ada di cerpen Indonesia Memanggil. Kutipan tersebut adalah:

"Kalian harus tahu, mental bumiputra seperti kanak-kanak. Pemalas. Manja. Takkan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan kita. Mereka akan menyia-nyiakan sumber alam yang sangat besar ini tanpa diolah menjadi apa pun yang bermanfaat bagi kehidupan. Persis seperti yang dilakukan nenek moyang mereka sebelum kedatangan orang Eropa."---hlm. 146

Haduh saya merasa tertohok sekali dengan kutipan di atas. Terutama di bagian "pemalas, manja, dan takkan mampu berdiri sendiri". Saya merasa "kualitas-kualitas" negatif itu ada pada diri saya sendiri, hiks.

At last, saya bingung mau cuap-cuap apa lagi. Saya sangat suka buku ini. Terutama karena latar zaman kolonialnya serta cerita-ceritanya yang dikisahkan dari sudut pandang orang Belanda dan pesan moral yang terselip di setiap cerita.

So, saya beri 4 dari 5 bintang untuk buku ini. I really liked it.