Take a photo of a barcode or cover
A review by renpuspita
The Cat Who Saved Books - Kucing Penyelamat Buku by Sōsuke Natsukawa
hopeful
inspiring
lighthearted
fast-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.0
Buku tentang toko buku dan kucing di cover. Kombinasi yang cukup maut dan untungnya ya isi buku The Cat Who Saved Books atau Kucing Penyelamat Buku ini juga sama menariknya. Dari beberapa buku fiksi yang membahas toko buku, gue bisa bilang buku Kucing ini masih lebih menarik dibaca ketimbang katakanlah, Hyunamdong Bookshop. Mungkin terkesan ga fair ya gue bandingin, tapi karena jarak bacanya juga ga terlalu lama jadi saat baca buku ini mau ga mau gue teringat buku Hyunamdong dan sepertinya juga makin meyakinkan gue kalau gue lebih suka baca J-Lit ketimbang K-Lit.
Buku ini dibuka dengan adegan yang cukup menyesakkan dimana tokoh utama kita, Rintaro Natsuki yang masih SMA dan juga hikkikomori harus kehilangan kakeknya. Walau begitu, Natsukawa sensei justru tidak menuliskan kesan haru biru atau rasa duka karena Rintaro sendiri sepertinya tidak bisa memproses rasa dukanya dengan baik yang terlihat dari sikapnya yang biasa saja. Bahkan kecenderungan hikkikomorinya juga meningkat dengan absen sekolah sampai ketua kelasnya, Sayo Suzuki datang ke rumahnya untuk kasih pe er. Almarhum kakek Rintaro meninggalkan toko buku bernama Toko Buku Natsuki yang sepertinya akan tutup karena Rintaro ikut bibinya pindah. Namun beberapa hari sebelum pindah, seekor kucing oyen bernama Tiger dengan perangai preman ala kucing oyen seutuhnya meminta Rintaro untuk menyelamatkan buku - buku melalui labirin ajaib yang tiba - tiba saja muncul di Toko Buku Natsuki. Maka dimulailah perjalanan Rintaro menyelamatkan buku-buku, mulai dari pembaca snobbish yang bangga bisa baca puluhan ribu buku, peneliti yang meriset cara untuk meringkas buku biar cepat selesai dibaca dan penerbit yang cuma menerbitkan buku - buku laku saja. Apakah setelahnya tantangan selesai? Oh tidak semudah itu ferguso, karena labirin terakhir dihuni oleh sebuah entitas yang bertanya pada Rintaro apa kuasa yang dimiliki oleh buku?
Meski dibilang menyelamatkan buku - buku, menurut gue dalam perjalanannya, Rintaro sebenarnya menyelamatkan dirinya sendiri. Tema coming of age memang sangat kental dalam buku ini tentunya juga dipadukan dengan setting magical realism karena ya mana ada sih tahu - tahu ada labirin tak berujung muncul di sebuah toko buku tua apalagi si Tiger juga bisa ngomong. Rintaro yang awalnya seorang hikkikomori dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah kematian kakek tersayangnya pada akhir perjalanannya pun menemukan makna hidup dari buku - buku yang dia selamatkan. Rintaro akhirnya membuka diri, tidak hanya pada Sayo namun juga kepada dunianya. Karena seperti nasihat sang kakek, buat apa baca buku banyak - banyak kalau tidak melangkahkan kaki ke luar dunia?
Buku ini memang vibesnya cukup hangat tapi seperti beberapa buku J-lit yang gue baca, penuh dengan kritik dan social commentary utamanya untuk dunia literasi dan penerbitan. Apakah Natsukawa sangat preachy di buku ini? Oh, BANGET! Beberapa kritiknya sangat tajam sampai gue jadi tertohok mengingat gue tuh suka baca buku buat have fun dan bahkan koleksi buku tapi baca nanti - nanti, hehehe. Labirin pertama yang berisi pembaca yang "menyekap" koleksi bukunya dalam lemari emang gue akuin sangat menampar gue sebagai pembaca buku. Tapi meski begitu, Natsukawa sensei tidak lantas menuduh secara blak - blakan karena toh gue sama pembaca di labirin pertama itu berbeda. I mean, kami sama - sama kolektor, tapi gue sangat sayang sama koleksi buku gue ketimbang si pembaca labirin pertama yang abai sama koleksinya. Jadi ya gue ga seburuk itu kan wkwkwk.
Yang menarik sebenarnya ada pada labirin kedua, yaitu peneliti yang meringkas isi buku supaya orang gampang mencerna. Ini jelas - jelas kritik SANGAT KERAS pada metode ringkasan buku terutama via AI atau chatjepete. Buku ini ditulis sekitar tahun 2017an tapi isunya masih sangat relevan. Gue sendiri juga setuju sama pendapat Natsukawa sensei di labirin kedua ini dengan analogi antara buku yang dipotong - potong isinya dengan melodi Bethoveen no 9 yang dipercepat. Karena semua yang instan atau serba ringkas memang ga selamanya baik gaes. Kayak okelah silakan baca ringkasan buku itu, tapi apa menariknya kalau ga membaca buku dari awal sampai akhir? Toh jika emang ada kata - kata kurang efektif atau bertele - tele seperti misal kebanyakan narasi dan deskripsi, justru disitu menariknya kan? Sementara untuk labirin ketiga tentang penerbit yang hanya menerbitkan buku laku ini emang masalah yang umum terjadi dan kritik Natsukawa sensei terkait kapitalisme dalam dunia buku itu memang benar adanya.
Natsukawa sensei melalui buku ini mengingatkan kembali apa sih esensi dari membaca buku? Kenapa orang membaca buku? Jawabannya salah satunya adalah menumbuhkan rasa empati dan menurut gue ya itu emang benar. Kita membaca untuk memahami tidak hanya orang lain tapi dengan lingkungan sekitar. Memang cara Natsukawa sensei mengutarakan maksudnya tentang membaca buku ini bisa sangat "in your face" atau menggurui tapi ini pada akhirnya kembali ke masing - masing pembacanya. Gue sejujurnya ga masalah karena toh meski disampaikan dengan keras, jujur dan apa adanya, sebenarnya gue juga setuju sama beberapa hal yang ditulis sang penulis di buku ini. Pun buku ini bisa banget jadi bahan diskusi yang sangat mengasyikkan terkait dengan literasi lho!
Kalaupun ada yang kurang, mungkin karena sampai akhir identitas Tiger ini ga jelas. Gue kira Tiger ini perwujudan almarhum kakek Rintaro tapi sepertinya bukan? Kenapa juga Tiger muncul, apakah emang untuk menyelamatkan buku - buku atau justru Rintaro sendiri? Untuk beberapa peringatannya seperti 'wah lawan di labirin ini lawan yang kuat lho!', sebenarnya ya biasa aja wkwk. Emang ada atmosfir menekan kalau misal Rintaro (kayaknya) gagal tapi tenang aja, semuanya berakhir dengan cukup baik. Buku ini juga sepertinya diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris bukan dari bahasa Jepang langsung jadi kayaknya sayang banget meski gue tetep bisa menikmati baca terjemahannya sih.
Kucing Penyelamat Buku emang buku yang tipis, but the book pack quite a punch! Salah satu buku tentang toko buku dan buku yang sayang dilewatkan sama pembaca buku.
Buku ini dibuka dengan adegan yang cukup menyesakkan dimana tokoh utama kita, Rintaro Natsuki yang masih SMA dan juga hikkikomori harus kehilangan kakeknya. Walau begitu, Natsukawa sensei justru tidak menuliskan kesan haru biru atau rasa duka karena Rintaro sendiri sepertinya tidak bisa memproses rasa dukanya dengan baik yang terlihat dari sikapnya yang biasa saja. Bahkan kecenderungan hikkikomorinya juga meningkat dengan absen sekolah sampai ketua kelasnya, Sayo Suzuki datang ke rumahnya untuk kasih pe er. Almarhum kakek Rintaro meninggalkan toko buku bernama Toko Buku Natsuki yang sepertinya akan tutup karena Rintaro ikut bibinya pindah. Namun beberapa hari sebelum pindah, seekor kucing oyen bernama Tiger dengan perangai preman ala kucing oyen seutuhnya meminta Rintaro untuk menyelamatkan buku - buku melalui labirin ajaib yang tiba - tiba saja muncul di Toko Buku Natsuki. Maka dimulailah perjalanan Rintaro menyelamatkan buku-buku, mulai dari pembaca snobbish yang bangga bisa baca puluhan ribu buku, peneliti yang meriset cara untuk meringkas buku biar cepat selesai dibaca dan penerbit yang cuma menerbitkan buku - buku laku saja. Apakah setelahnya tantangan selesai? Oh tidak semudah itu ferguso, karena labirin terakhir dihuni oleh sebuah entitas yang bertanya pada Rintaro apa kuasa yang dimiliki oleh buku?
Meski dibilang menyelamatkan buku - buku, menurut gue dalam perjalanannya, Rintaro sebenarnya menyelamatkan dirinya sendiri. Tema coming of age memang sangat kental dalam buku ini tentunya juga dipadukan dengan setting magical realism karena ya mana ada sih tahu - tahu ada labirin tak berujung muncul di sebuah toko buku tua apalagi si Tiger juga bisa ngomong. Rintaro yang awalnya seorang hikkikomori dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah kematian kakek tersayangnya pada akhir perjalanannya pun menemukan makna hidup dari buku - buku yang dia selamatkan. Rintaro akhirnya membuka diri, tidak hanya pada Sayo namun juga kepada dunianya. Karena seperti nasihat sang kakek, buat apa baca buku banyak - banyak kalau tidak melangkahkan kaki ke luar dunia?
Buku ini memang vibesnya cukup hangat tapi seperti beberapa buku J-lit yang gue baca, penuh dengan kritik dan social commentary utamanya untuk dunia literasi dan penerbitan. Apakah Natsukawa sangat preachy di buku ini? Oh, BANGET! Beberapa kritiknya sangat tajam sampai gue jadi tertohok mengingat gue tuh suka baca buku buat have fun dan bahkan koleksi buku tapi baca nanti - nanti, hehehe. Labirin pertama yang berisi pembaca yang "menyekap" koleksi bukunya dalam lemari emang gue akuin sangat menampar gue sebagai pembaca buku. Tapi meski begitu, Natsukawa sensei tidak lantas menuduh secara blak - blakan karena toh gue sama pembaca di labirin pertama itu berbeda. I mean, kami sama - sama kolektor, tapi gue sangat sayang sama koleksi buku gue ketimbang si pembaca labirin pertama yang abai sama koleksinya. Jadi ya gue ga seburuk itu kan wkwkwk.
Yang menarik sebenarnya ada pada labirin kedua, yaitu peneliti yang meringkas isi buku supaya orang gampang mencerna. Ini jelas - jelas kritik SANGAT KERAS pada metode ringkasan buku terutama via AI atau chatjepete. Buku ini ditulis sekitar tahun 2017an tapi isunya masih sangat relevan. Gue sendiri juga setuju sama pendapat Natsukawa sensei di labirin kedua ini dengan analogi antara buku yang dipotong - potong isinya dengan melodi Bethoveen no 9 yang dipercepat. Karena semua yang instan atau serba ringkas memang ga selamanya baik gaes. Kayak okelah silakan baca ringkasan buku itu, tapi apa menariknya kalau ga membaca buku dari awal sampai akhir? Toh jika emang ada kata - kata kurang efektif atau bertele - tele seperti misal kebanyakan narasi dan deskripsi, justru disitu menariknya kan? Sementara untuk labirin ketiga tentang penerbit yang hanya menerbitkan buku laku ini emang masalah yang umum terjadi dan kritik Natsukawa sensei terkait kapitalisme dalam dunia buku itu memang benar adanya.
Natsukawa sensei melalui buku ini mengingatkan kembali apa sih esensi dari membaca buku? Kenapa orang membaca buku? Jawabannya salah satunya adalah menumbuhkan rasa empati dan menurut gue ya itu emang benar. Kita membaca untuk memahami tidak hanya orang lain tapi dengan lingkungan sekitar. Memang cara Natsukawa sensei mengutarakan maksudnya tentang membaca buku ini bisa sangat "in your face" atau menggurui tapi ini pada akhirnya kembali ke masing - masing pembacanya. Gue sejujurnya ga masalah karena toh meski disampaikan dengan keras, jujur dan apa adanya, sebenarnya gue juga setuju sama beberapa hal yang ditulis sang penulis di buku ini. Pun buku ini bisa banget jadi bahan diskusi yang sangat mengasyikkan terkait dengan literasi lho!
Kalaupun ada yang kurang, mungkin karena sampai akhir identitas Tiger ini ga jelas. Gue kira Tiger ini perwujudan almarhum kakek Rintaro tapi sepertinya bukan? Kenapa juga Tiger muncul, apakah emang untuk menyelamatkan buku - buku atau justru Rintaro sendiri? Untuk beberapa peringatannya seperti 'wah lawan di labirin ini lawan yang kuat lho!', sebenarnya ya biasa aja wkwk. Emang ada atmosfir menekan kalau misal Rintaro (kayaknya) gagal tapi tenang aja, semuanya berakhir dengan cukup baik. Buku ini juga sepertinya diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris bukan dari bahasa Jepang langsung jadi kayaknya sayang banget meski gue tetep bisa menikmati baca terjemahannya sih.
Kucing Penyelamat Buku emang buku yang tipis, but the book pack quite a punch! Salah satu buku tentang toko buku dan buku yang sayang dilewatkan sama pembaca buku.
Graphic: Grief
Moderate: Kidnapping