A review by blackferrum
A Week-Long Journey by Altami N.D.

adventurous emotional informative lighthearted medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.0

Terpaksa masuk jurusan yang nggak diidamkan emang bikin bad mood, sih, apalagi kalau ada embel-embel meneruskan usaha keluarga. Auto nggak bisa berkutik.

Lina nggak punya minat sama sekali masuk jurusan peternakan IPB, walaupun itu termasuk fakultas peternakan terbaik se-Indonesia. Tapi, orang tua dan mbah putrinya ingin dia meneruskan usaha keluarga. Kepentok idealisme dan realitas, mimpi Lina menjadi penulis harus terpendam jauh. Sebelum idealismenya goyah ketika berlibur seminggu ke Hongkong.

Topik salah jurusan di sini emang relatable, banget. Yang menjalani sampai semester akhir pun kadang masih berpikir salah jurusan, apalagi macam Lina yang msh punya kesempatan buat "kabur". Nggak kabur, sih, tepatnya beralih ke jurusan lain, ikut tes lagi. Kalo Lina ada di tengah2 siswa kelas 3 yang nggak lolos SNMPTN, auto dirujak karena dianggap kurang bersyukur. But, ini bukan medsos aplikasi burung biru, ya, dan fiksi pula, jadi aman.

Soal relatable, Lina yang galau nerusin jurusan yg diinginkan orang tua dan dirinya sendiri emang ada. Dilema macam ini sampai kapan pun pasti ada. Tapi, di buku ini banyak banget privilesenya. Bisa liburan ke Hongkong, banyak orang yang bisa diajak brainstorming plus curhat, dan bertemu cowok idaman. Masih banyak lagi sebenarnya, tp yang berhasil teringat sampai aku nulis reviu ini hanya itu. I know, fiksi nggak bisa dijadikan patokan yang pasti, tapi apa ya, menurutku di sini penyelesaian kegalauannya kurang relate. Nggak setiap orang dipertemukan dengan sosok cowok yang suportif dan siap mendampingi macam Chen gitu.

Bahas konflik, masalah Dewi ini agak terlalu dipaksa masuk. Pernah baca di suatu tempat kalau antagonis dalam cerita itu nggak harus berwujud karakter. Bisa ego dari protagonis itu sendiri, yang mana di sini sikap "membangkang" dan nggak mau tahu Lina soal peternakan udah cukup jadi sesuatu yang "menghalangi" dia buat berkembang, maunya nurutin ego aja. Iya, sih, di akhir masalah Dewi bisa jadi semacam kesatria kuda putih buat Lina, tapi nggak harus panjang juga kok konflik mereka. Apalagi jahatnya Dewi tuh, gaje, bikin gregetan. Tipe kesel yang walaupun udah damai pun tetep kesel sama dia. Penyelesaian masalah di antara mereka? Well, kurang memuaskan kalau boleh jujur. Ada enggaknya masalah Dewi juga nggak begitu berpengaruh ke konflik Lina sendiri.

Romansa Chen‐Lina nggak bisa dibilang mulus juga, sih. Apa ya, Chen terlalu cepat suka, seolah-olah Lina belahan jiwanya? Terus waktu dia kecewa karena nggak bisa foto2 Lina lagi tuh bikin bingung. Elu deketin Lina buat dijadiin model foto doang, Bang? Rada syok saya 😅

Satu lagi, ada yang kontradiktif dari beberapa karakter. Penulis kasih semacam kalimat2 bijak yang bisa jadi quotes, tapi posisinya ada di pov si karakter yg msh clueless soal keputusan pasti macam Lina. Menurutku agak sedikit mengganggu juga karena banyak kalimat semacam ini, kesannya penulis ingin sekali menyelipkan kutipan (atau kata2nya sendiri) kata2 bijak ke setiap kesempatan sehingga terkesan salah tempat.

Deskripsi soal tempat, peternakan, dan lain-lain juga terkesan menempel saja. PLUS, aku nggak tau di versi cetul udah direvisi atau belum, tapi di sini teknisnya berantakan banget astaga. Ada kata yang entahlah nggak jelas maksudnya apa ada di situ.

But still, jadi kepengin jalan2 juga ke Hongkong, eh 🙈