Scan barcode
A review by blackferrum
Perempuan di Rumah No 8 by Mutiarini
dark
emotional
informative
lighthearted
reflective
sad
slow-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? N/A
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
3.75
Actual rating: 3,8
Dua buku penulis sebelumnya berhasil memberikan impresi yang baik, terutama The Priveleged One. Lalu, sekali lagi, buku ini memberikan kesan yang mendalam serta membekas dengan isu yang diangkatnya.
Setelah mengalami KDRT sampai keguguran, Anika memilih bersembunyi dari suaminya. Persembunyian itu lantas membawanya melihat banyak hal, termasuk banyaknya korban KDRT atau KDH (Kekerasan Dalam Hubungan), serta bagaimana akhirnya korban menyikapi permasalahannya; menutup atau memilih abai.
Rumah persembunyian baru Anika menyimpan misteri mengenai sosok hantu berkepala bengkok bernama Lastri. Sama seperti respons kebanyakan orang, Anika ketakutan. Lalu mimpi-mimpi kilas balik kehidupan Lastri datang malam demi malam, memperlihatkan bahwa Lastri punya nasib serupa dengannya, korban KDRT.
Stigma masyarakat mengenai KDRT memang menyeramkan. Apalagi ketika ada pemahaman yang mengendap jika hal tersebut adalah aib keluarga semata dan punya arti orang lain tidak boleh ikut campur. Sekalipun memakan korban jiwa.
Penulis terampil merangkai semua jenis KDRT yang terjadi, termasuk laki-laki sebagai korban. Banyaknya pemberitaan mengenai perempuan adalah korban dan laki-laki adalah pelaku membuat yang terjadi sebaliknya semakin menekan kaum laki-laki.
Buku ini membahas mengenai kekerasan dalam rumah tangga maupun hubungan, tapi bukan berarti menghakimi salah satu pihak. Pelaku memang sering kali dianggap satu-satunya pemicu adanya kekerasan di sini, tapi bagaimana jika ditarik jauh ke belakang? Pembahasan mengenai rantai trauma yang diturunkan dari generasi ke generasi turut andil dalam menyebabkan perilaku pelaku maupun korban.
Keluarga Anika punya banyak trauma yang tak kasat mata. Kisahnya memilukan. Kepenginnya jotos saja si kakek, tapi masalahnya nggak sesederhana itu. Begitupun dengan Reza. Dia memang cowok brengsek yang minta banget dihajar balik, tapi sayangnya yang punya andil sikapnya nggak hanya dia. Baca buku ini indeed makin frustrasi karena nggak bisa melakukan apa pun, selain ikut merasa sesak.
Selain akhir dari kisah KDRT yang biasanya menyesakkan, ditunjukkan pula akhir yang not bad atau korbannya memilih berdamai dengan keadaan. Bukan maksudnya lantas menerima kekerasan yang dia dapat dengan lapang dada, tapi memilih memutus kekerasan itu dengan kesadaran penuh demi kedamaian diri sendiri maupun keluarga dan/atau orang terdekatnya yang ikut terkena dampak.
Intinya, buku ini punya isian yang padat dan memang agak berat, mengingat topik yang diangkat. Ending-nya aku suka. Enggak memaksakan harus berakhir manis banget sampai rasanya susah menjadi kenyataan, tapi cukuplah jadi gambaran realistis kira-kira itulah yang akan terjadi jika ada di posisi Anika. Kira-kira, ya, langkah baiknya bisa dicontoh, lain-lain yang buruk harus ditinggalkan.
Sayangnya, penjelasan mengenai KDRT/KDH ini masih banyak dituturkan langsung oleh narasi penulis. Kadang aku merasa ini buku self-improvement berkedok novel karena alur ceritanya jalan di awal dan akhir.
Dua buku penulis sebelumnya berhasil memberikan impresi yang baik, terutama The Priveleged One. Lalu, sekali lagi, buku ini memberikan kesan yang mendalam serta membekas dengan isu yang diangkatnya.
Setelah mengalami KDRT sampai keguguran, Anika memilih bersembunyi dari suaminya. Persembunyian itu lantas membawanya melihat banyak hal, termasuk banyaknya korban KDRT atau KDH (Kekerasan Dalam Hubungan), serta bagaimana akhirnya korban menyikapi permasalahannya; menutup atau memilih abai.
Rumah persembunyian baru Anika menyimpan misteri mengenai sosok hantu berkepala bengkok bernama Lastri. Sama seperti respons kebanyakan orang, Anika ketakutan. Lalu mimpi-mimpi kilas balik kehidupan Lastri datang malam demi malam, memperlihatkan bahwa Lastri punya nasib serupa dengannya, korban KDRT.
Stigma masyarakat mengenai KDRT memang menyeramkan. Apalagi ketika ada pemahaman yang mengendap jika hal tersebut adalah aib keluarga semata dan punya arti orang lain tidak boleh ikut campur. Sekalipun memakan korban jiwa.
Penulis terampil merangkai semua jenis KDRT yang terjadi, termasuk laki-laki sebagai korban. Banyaknya pemberitaan mengenai perempuan adalah korban dan laki-laki adalah pelaku membuat yang terjadi sebaliknya semakin menekan kaum laki-laki.
Buku ini membahas mengenai kekerasan dalam rumah tangga maupun hubungan, tapi bukan berarti menghakimi salah satu pihak. Pelaku memang sering kali dianggap satu-satunya pemicu adanya kekerasan di sini, tapi bagaimana jika ditarik jauh ke belakang? Pembahasan mengenai rantai trauma yang diturunkan dari generasi ke generasi turut andil dalam menyebabkan perilaku pelaku maupun korban.
Keluarga Anika punya banyak trauma yang tak kasat mata. Kisahnya memilukan. Kepenginnya jotos saja si kakek, tapi masalahnya nggak sesederhana itu. Begitupun dengan Reza. Dia memang cowok brengsek yang minta banget dihajar balik, tapi sayangnya yang punya andil sikapnya nggak hanya dia. Baca buku ini indeed makin frustrasi karena nggak bisa melakukan apa pun, selain ikut merasa sesak.
Selain akhir dari kisah KDRT yang biasanya menyesakkan, ditunjukkan pula akhir yang not bad atau korbannya memilih berdamai dengan keadaan. Bukan maksudnya lantas menerima kekerasan yang dia dapat dengan lapang dada, tapi memilih memutus kekerasan itu dengan kesadaran penuh demi kedamaian diri sendiri maupun keluarga dan/atau orang terdekatnya yang ikut terkena dampak.
Intinya, buku ini punya isian yang padat dan memang agak berat, mengingat topik yang diangkat. Ending-nya aku suka. Enggak memaksakan harus berakhir manis banget sampai rasanya susah menjadi kenyataan, tapi cukuplah jadi gambaran realistis kira-kira itulah yang akan terjadi jika ada di posisi Anika. Kira-kira, ya, langkah baiknya bisa dicontoh, lain-lain yang buruk harus ditinggalkan.
Graphic: Domestic abuse, Emotional abuse, Physical abuse, and Sexual violence