A review by haifarania
Semasa by Maesy Ang, Teddy W. Kusuma

4.0

Semakin bertambah umur, selera bacaanku jadi bergeser. Aku mulai “berkewajiban” membaca buku-buku yang hype, punya review bagus di Goodreads, yang isinya thought provoking & life-changing, dan sebagainya. Lambat laun, membaca bukan lagi sebatas hobi atau kegiatan mencari kesenangan. Melainkan juga tuntutan bagiku untuk mencari sedikit perubahan dari hidup yang kian membosankan dan begini-begini saja.

Kadang aku jadi kangen dengan Haifa cilik, yang bisa dengan spontan membaca buku apa saja, menikmati jalan cerita yang disajikan penulis, membalik halaman demi halaman, tanpa harus banyak berpikir tentang apa yang ia baca.

Mungkin kerinduan semu itulah yang membuatku berkeinginan mengulangi hal serupa. Jam menunjukkan pukul 6 pagi ketika aku secara asal-asalan mengambil novel “Semasa” (yang sebenarnya milik kakakku) lalu mulai membaca buku ini sembari rebahan di kasur dengan selimut masih membungkus kaki. Aku tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap buku ini, murni karena aku langsung merasa tertarik begitu membaca kalimat pertamanya:

Terkadang hal-hal kecil di depanmu, hal-hal yang tak signifikan sebetulnya, mengingatkanmu pada rentetan kejadian masa lalu yang –dengan cara yang kerap berbelit-belit– seolah menjelaskan keadaanmu saat ini.

"Semasa" menceritakan tentang kenangan masa kecil, realita tumbuh dewasa, perasaan kesepian, namun juga menyentuh sisi hangat seperti hubungan keluarga dan arti dari merelakan. Dengan tebal tidak sampai 200 halaman, kisah buku ini dituturkan secara apa adanya, malah cenderung biasa-biasa saja. Tidak ada adegan menggebu-gebu atau apalah.

Begitu menutup buku, barulah aku menyadari. Mungkin sebuah buku tidak perlu jadi "luar biasa" untuk bisa meninggalkan kesan di hati pembacanya.

Selama ini, aku selalu menilai seberapa bagusnya sebuah buku dari seberapa impactful isi buku tersebut padaku. “Semasa” bukanlah tipikal buku seperti itu. Alih-alih, Semasa mengingatkanku tentang kisah orang biasa-biasa saja. Saking biasanya, cerita buku ini mungkin bisa dialami oleh orang-orang di sekelilingku, atau bahkan diriku sendiri. Kisah Coro, Sachi, Bapak, Bibi Sari, serta Paman Giofridis membuatku merasakan sebuah kedekatan layaknya perasaan hangat ketika pulang ke rumah atau mengingat kenangan indah. Sederhana, namun cukup untuk membuatku mengakhirinya dengan senyuman.