clavishorti's reviews
90 reviews

Celana by Joko Pinurbo

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Buku Celana adalah sebuah karya sastra berisi kumpulan puisi yang lahir dari pena Joko Pinurbo pada tahun 1999. Karya ini seperti sebuah petualangan yang membawa pembaca melintasi beragam tema, membuka tirai kehidupan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Setiap bait puisi mengalir seperti aliran sungai yang mengikuti alur waktu, menghadirkan cerita-cerita yang menggugah pikiran pembacanya. 
 
Joko Pinurbo menghadirkan lukisan-lukisan yang mendalam tentang kehidupan sehari-hari. Setiap goresan pena mengungkap konflik dalam rumah tangga, kejutan di balik kisah tukang becak, dan setiap titik kehidupan yang terlupakan. Melalui kemahiran bahasa dan intuisi yang tajam, beliau menggambarkan kehidupan yang berwarna, meskipun dalam kebiasaan yang paling sederhana. 
 
Di dalam bait-bait puisinya, Joko Pinurbo membawa sentuhan cinta dengan keunikan yang menggelitik. Dalam setiap kata yang ditorehkan, beliau menghadirkan kerinduan, kekecewaan, dan kebahagiaan yang memperkaya setiap jalinan hubungan di antara manusia. Tidak hanya itu, Joko Pinurbo juga menyoroti ketimpangan yang merajalela dalam masyarakat, serta standar-standar yang seringkali dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Lewat karyanya, beliau menaburkan biji kesadaran akan kompleksitas struktur sosial, mengajak kita merenung atas setiap sisi kehidupan yang tak terduga. 
 
Dengan penuh humor dan ironi, Joko Pinurbo juga mengangkat isu-isu yang relevan dengan kondisi negara kita. Perjuangan aktivisme dan politik yang tengah berkobar pada tahun 1999 menjadi lanskap yang diabadikan dalam puisi-puisinya. Beliau dengan cermat menggambarkan perjuangan para pejuang hak asasi manusia, sambil menyuarakan keprihatinan akan pelanggaran yang tak terelakkan. 
 
Tak terlupakan, di dalam Celana, terdapat juga refleksi pribadi dan eksistensial tentang makna hidup, keberadaan, dan tujuan di dunia ini. Pinurbo tak hanya menyibak kisah kehidupan, melainkan juga mengupas tabir kematian yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Dengan kata-kata yang memesona, beliau memandu pembaca melintasi lorong-lorong, menuju makna yang lebih dalam tentang keberadaan dan hakikat hidup. 
 
Dari ragam tema yang melimpah, buku ini mempersembahkan perbincangan yang beragam dan kaya. Namun, sayangnya, bagi saya pribadi, buku ini belum mampu menyentuh ke dalam hati saya. Barangkali karena saya masih awam dalam memahami puisi, sehingga untuk menghayati dan memaknainya dengan lebih mendalam, diperlukan usaha dan waktu yang lebih panjang. 
 
Selain itu, saya juga tertarik dengan pemilihan judul Celana untuk buku ini. Apakah ada makna khusus di balik pemilihan judul tersebut? Mungkinkah karena puisi yang berjudul “Celana” di dalam buku ini memiliki signifikansi yang mendalam bagi sang penulis? Selain itu, saya mencatat bahwa meskipun judul bukunya adalah Celana, kata yang sering muncul dalam puisi-puisi di dalam buku ini adalah ‘ranjang’. Apakah ada keterkaitan antara kedua kata tersebut dalam konteks puisi yang disajikan? 
 
Bagi para pencinta seni puisi, buku ini layak menjadi rekomendasi. Meskipun belum mampu meraih tempat di lubuk hati saya, penilaian ini semata-mata adalah hasil pemikiran pribadi. Barangkali, bagi para penggemar puisi yang lebih berpengalaman, buku ini dapat menjadi sumber inspirasi yang menyentuh dan menggugah. 
Hujan Kepagian by Nugroho Notosusanto

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Buku Hujan Kepagian adalah sebuah karya sastra yang memuat enam cerita pendek yang disusun oleh tangan cendekia Nugroho Notosusanto. Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1958, buku ini menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah. 
 
Cerita-cerita yang terhampar di dalamnya membawa pembaca dalam perjalanan emosional yang mendalam, mengisahkan tentang zaman di mana gemuruh senjata menggema di antara lapisan awan mendung masa agresi Belanda pada tahun 1947-1949. Setiap cerita, dihias dengan latar belakang yang menggambarkan keganasan zaman, membawa kita berkelana dalam pusaran perang yang membara. 
 
Buku ini dengan tajam mengarahkan sorotan kepada para tentara, khususnya para tentara pelajar, yang turut berperan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Mereka, yang semula hanya mengejar cita-cita ilmu di bangku sekolah, berubah menjadi pejuang yang tangguh, siap menghadapi bahaya demi kemerdekaan bangsanya. Sebagai ujung tombak dalam pertempuran melawan pasukan Belanda, mereka menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan dan semangat juang yang membara. 
 
Dengan narasi yang memukau, pembaca dibawa merasakan getirnya perjuangan yang dijalani oleh para pejuang kemerdekaan. Mereka, bukan hanya pelajar, tetapi pahlawan yang rela mengorbankan segalanya demi cita-cita luhur bangsa. Di setiap halaman, terpahatlah kisah keberanian yang menginspirasi, di mana segala rintangan dihadapi dengan kepala tegak dan hati yang kokoh. 
 
Namun, di balik keberanian dan semangat juang, buku ini juga menyingkapkan sisi lain dari perang, menggali masalah-masalah sosial yang tersembunyi di balik gemerlapnya medan pertempuran. Norma-norma yang seharusnya menjadi landasan bermasyarakat, seperti norma kesopanan dan norma kesusilaan, terkadang terabaikan di medan perang. 
 
Selain itu, buku ini tidak hanya menggambarkan keganasan pertempuran, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang tetap bersinar di tengah kegelapan perang. Meskipun terlibat dalam pertempuran yang mematikan, namun tetaplah terlihat kilauan kebaikan hati yang muncul dari para pejuang, menghadirkan harapan di tengah-tengah keputusasaan. Dengan memperkaya narasi melalui penceritaan yang penuh warna, buku ini memperlihatkan segala sisi kompleks dari perang kemerdekaan, mengajak pembaca untuk merenung dan mengapresiasi keberanian serta pengorbanan para pahlawan bangsa. 
 
Dari lubuk hati yang dalam, saya sungguh menyukai buku ini. Sudut pandangnya yang unik dan bahasanya yang kaya akan daya tariknya sendiri, tak terkecuali tema-tema yang diusungnya. Bahasa yang digunakan sungguh memesona dan mengalir dalam balutan sastra lama yang mengingatkan pada gemerlapnya masa lalu. Saat kita terhanyut dalam aliran narasinya, kita akan menemukan banyak kata-kata dan objek yang khas pada zamannya. Mulai dari merek kacamata hingga permen, bahkan hingga sepatu yang menjadi penanda khas zamannya. Senjata-senjata yang digunakan pun tidak luput dari perhatian, menghadirkan nuansa autentik dari masa perjuangan tersebut. 
 
Walau demikian, di tengah keindahan alur cerita yang menghipnotis, tak terelakkan pula terdapat sejumlah kesalahan penulisan serta pemakaian bahasa yang tak selalu sesuai standar. Barangkali hal ini disebabkan oleh fakta bahwa buku ini terbit pada masa lampau, di mana mesin tik, norma-norma tata bahasa, dan kaidah penulisan belum secanggih dan seketat masa kini. Meski demikian, hal ini justru menjadi bagian dari keaslian dan keragaman buku tersebut, menyiratkan nuansa nostalgia akan zamannya, di mana kebersamaan dengan kekurangan dan kejelasan masih terasa hangat dalam benak para pembaca. 
 
Dari lubuk hati yang dalam, saya sungguh terpukau dengan cerita pendek yang pertama, yang berjudul “Senyum”. Pesan yang terkandung di dalamnya sungguh menyentuh hati saya dengan dalamnya. Terpaparlah di hadapan mata saya gambaran yang menggetarkan jiwa, menceritakan kisah seorang pejuang yang meski terluka, masih mampu menyunggingkan senyuman di bibirnya. Senyum itu bukan semata upaya untuk menyembunyikan luka, melainkan juga merupakan bentuk keteguhan hati dan semangat yang tak pernah padam, meskipun badai datang menerpa. 
 
Selain itu, “Perawan di Garis Depan” juga menempati tempat istimewa dalam hati saya. Meskipun saya masih merasa sangat kesal dan marah di mana perempuan harus menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi bahkan saat berjuang melawan penjajah. Saya sungguh mengutuk tindakan keji mereka, yang tidak layak disebut sebagai manusia. Cerita ini menggambarkan tragedi yang menyayat hati, di mana seorang perempuan yang seharusnya diberi perlindungan dan penghormatan malah menjadi sasaran kekejaman dan pelecehan. 
 
Melalui lapisan-lapisan cerita yang dalam dan mengharukan, buku Hujan Kepagian tidak hanya sekadar merupakan himpunan kisah perjuangan, melainkan juga sebuah refleksi yang memantulkan kompleksitas manusia dan perang itu sendiri. Setiap lembarannya dihiasi dengan kisah-kisah yang menggugah hati, mengajak kita untuk memandang baik sisi terang maupun sisi gelap dari perang dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan membius pembaca dalam gelombang emosi yang mendalam, buku Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto memberikan pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan dan keberanian yang harus senantiasa kita junjung tinggi dalam lembaran sejarah bangsa kita. 
 
Dan aku merangkak terus. Aku lupa kepada sakit, aku merangkak terus. Dan aku lihat di puncak Bukit Kuwuk, Tati berdiri berpakaian putih dengan pita merah di rambut dan ikat pinggang merah melilit pinggangnya. Ia menari-nari kegirangan, di tangannya sebuah batu tulis.

Expand filter menu Content Warnings
Perempuan Bersampur Merah by Andaru Intan

Go to review page

dark emotional informative mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Di Banyuwangi, di antara remang bayang, Sari meratapi tragedi tahun 1998 yang menghantui jiwanya hingga kini. Dalam gulita ingatnya, terpatri duka yang teramat mendalam. 
 
Ayahnya, hanyalah korban dusta, dicap sebagai dalang ilmu hitam tanpa sebab yang jelas, sementara sang paman tercinta, terpaksa mengembara jauh, mengungsi dari tanah kelahiran demi menyudahi lakon miring yang mengharu-biru. 
 
Namun, bara keadilan yang menyala di sanubari Sari membakar apinya yang tak pernah redup. Dalam perjalanan yang penuh liku dan petualangan, ia beriringan dengan Rama dan Ahmad, sahabat setianya, terjerembab dalam belantara rahasia yang menyelimuti tarian gandrung. 
 
Tak hanya berhadapan dengan misteri-misteri yang mengelilingi mereka, tetapi juga dengan peredam yang rumit dari masa lalu yang tak kunjung sirna. Dalam cobaan tanpa henti, persahabatan mereka harus berlari, melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi dengan angin lalu tragedi yang berduri. 
 
Dalam pangkal perjalanan Sari mencari kepingan keadilan di Banyuwangi, apakah ia akan menemukan benderang yang dicari, ataukah terperosok dalam jurang kelam masa lalu yang terus menariknya tanpa henti? 
 
 
Kurasa orang-orang dewasa terlalu sulit dipahami. Mereka membuat aturan-aturan yang kadang tak adil sama sekali. Bagaimana bisa, kami yang lahir secara utuh membawa badan dan pikiran kami sendiri selalu dinilai sebagai jelmaan orangtua kami. Kami tidak pernah sama dengan orangtua kami. Kami manusia baru yang punya kehidupan baru dan pilihan baru. Kami tidak lahir membawa dosa ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Seharusnya, kami tak dihakimi atas apa yang pernah mereka lakukan. Tapi, kami ini bisa apa? 

  
Dalam kegelapan yang menghantui dan merangkul ingatan, Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru membelah ruang dan waktu dengan tajam. Dengan pemilihan sampul yang memikat karya sakutangan, pembaca segera diseret ke dalam alur cerita yang mengiris, memunculkan lapisan-lapisan kebudayaan, mengungkap permasalahan sosial yang tersembunyi, dan bahkan membawa kita merenung pada catatan sejarah yang tak terlupakan, menjelajahi luka-luka yang terpendam di bawah permukaan. 
 
Melalui cerita yang sederhana namun mendalam, buku ini menghadirkan gambaran yang menggetarkan tentang praktik pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sebuah tragedi yang telah terukir dalam lembaran hitam sejarah Indonesia, yang diwarnai dengan penuh tragedi dan ketidakadilan. 
 
Selama berabad-abad hingga era modern ini, mereka yang menelusuri jejak ilmu pengobatan tradisional, ramalan, atau keahlian supranatural sering kali tersesat dalam belantara stigma sebagai “orang pintar” dalam dinamika masyarakat. Namun, di balik khazanah pengetahuan yang mereka miliki, kekuatan yang mereka genggam juga menjadi senjata bermata dua yang menusuk, menanam benih ketakutan dan kecurigaan di hati kaum awam. 
 
Seperti alur yang terangkum dalam lembaran buku ini, cerita Perempuan Bersampur Merah mencerminkan peristiwa nyata yang mengguncang Banyuwangi pada tahun 1998. Masyarakat diseret dalam gemuruh kehebohan oleh rangkaian pembunuhan yang menghantam mereka yang dituduh sebagai dukun santet. Di tengah gelombang kekejaman, kelompok-kelompok yang mengenakan pakaian hitam pekat, dikenal sebagai ninja, diduga menjadi dalangnya. Dengan gerak-gerik yang terkoordinasi dan sistematis, mereka menorehkan luka ketakutan yang tak terlupakan di benak warga sepanjang peristiwa mencekam ini. 
 
Semuanya berawal dari kejadian-kejadian tak lazim, kematian yang mengejutkan dan mengundang pertanyaan, mendorong masyarakat mencari jawaban dan tanggung jawab, dengan mudah menuding individu-individu yang terkait dengan dunia supranatural sebagai kambing hitam. Hasilnya, mereka yang dicurigai memakai kekuatan ilmu hitam menjadi sasaran tuduhan dan kecurigaan, bahkan berujung pada kematian tragis dengan cara yang keji. Tragedi ini menggores luka yang mendalam dalam sejarah Banyuwangi, serta menciptakan bayangan yang kelam atas kota tersebut, dipenuhi dengan praktik-praktik ilmu hitam. 
 
Demikian juga, dalam rimba sejarah Indonesia yang diwarnai oleh perangkat konflik sosial, politik, dan ekonomi, amarah pembunuhan terhadap mereka yang dianggap berkekuatan supranatural sering tersirat dalam lipatan motif politik, persaingan kekuasaan, atau permusuhan di antara kelompok-kelompok. 
 
Penuduhan terhadap sosok-sosok yang dipercayai memiliki anugerah gaib sering kali menjadi senjata ampuh bagi mereka yang menghendaki menundukkan musuh politik atau merusak stabilitas politik pemerintah. Sosok-sosok yang berpengaruh di tengah masyarakat atau dianggap dapat menguatkan pihak lawan seringkali terjebak dalam pusaran tuduhan palsu ini. Dengan cara begitu, praktik ini menjadi instrumen bagi penguasa untuk mempertahankan hegemoni mereka. 
 
Meski upaya penyelidikan telah dilakukan, bayang-bayang dalang di balik peristiwa pembantaian masih belum sepenuhnya terungkap. Dilansir dari beberapa sumber, pada tahun 2015, tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menguak kembali tragedi itu, menegaskan kekejaman pelanggaran hak asasi manusia yang menghantui, menyebabkan ratusan nyawa terkubur dalam kegelapan. Namun, meski upaya penyelidikan bergulir, keadilan bagi korban dan keluarga tetap mengendap di ujung perjuangan yang menyisakan luka. Sementara itu, keturunan korban enggan melangkah lebih jauh, takut akan stigma mewarisi ilmu hitam yang mengembara tetap mengikat dengan kuat hingga akhir hayat. 
 
Sementara senja memayungi Banyuwangi dengan warna jingga yang merona, bayang-bayang tragedi meresap dalam hening desa, menyatu dengan aroma mencekam yang menguar. Namun, semangat kebenaran tetap berkobar, menyalakan nyala harapan baru untuk Banyuwangi. Banyuwangi, dengan sejarah hitam yang melingkupinya, membangkitkan keinginan untuk menghindari kisah tragis yang berulang, memperkuat pagar pencegahan dan rekonsiliasi. 
 
Maka, perlawanan terhadap gelapnya peradaban haruslah padat dan kokoh seperti simpul yang terikat. Hanya dengan langkah bersama, pemerintah dan masyarakat, kita dapat merajut kembali benang kemanusiaan, memastikan setiap jiwa di bumi ini tegak berdiri tanpa rasa takut, tanpa tuduhan palsu yang dapat merenggut nyawa kapan saja. 
 
Bukankah indah, bahwa dalam perenungan akan lembaran sejarah kelam, kita juga disuguhi kearifan budaya yang tak ternilai? Melalui karya Perempuan Bersampur Merah, Intan Andaru melampaui batas-batas waktu, membawa kita ke dalam lapisan-lapisan kehidupan yang penuh warna. Tidak sekadar menyorot praktik pembunuhan yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet, Intan Andaru juga menembus ke dalam gerak-gerik penari Gandrung dan kekuatan magis yang mengitarinya. Dalam alur yang khas, penulis membawa kita melalui lautan narasi yang hidup, memastikan kita terus terhanyut dalam cerita yang tak pernah membosankan. 
 
Dengan kepandaian yang menawan, Intan Andaru mempersembahkan isu romansa dalam karya ini tanpa mengandalkan paksaan, melainkan dengan kelembutan yang mengalir begitu alami namun tak pernah kehilangan kesan. Dalam beberapa bagian cerita yang mengangkat kisah kekeluargaan, kita disuguhkan dengan kehangatan yang mengalir begitu meresap, seolah-olah membawa kita ke dalam pelukan lembut keluarga itu sendiri. Terpandang jelas dalam setiap jalinan kata adalah betapa pentingnya ikatan keluarga, bagaimana cinta dan kasih sayang melintas di antara anggota keluarga, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang menyentuh hati. 
 
Tak sekadar merenungkan kisah percintaan yang teramat manis, tapi juga melalui jalur ini, Intan Andaru memberikan kita cerminan yang jernih tentang nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta penghargaan terhadap warisan sejarah dan kebudayaan kita melalui alur cerita ini. Dengan piawai, bak seorang penenun yang ulung, Intan Andaru menenun benang merah di antara hamparan persoalan-persoalan yang kompleks. Ia menghubungkan setiap cabang cerita, mengurai kemisteriusan sejarah, dan merajut kehangatan keluarga menjadi kain yang kuat dan indah. 
 
Dengan demikian, bagi para pecinta sejarah yang ingin mengintip dan belajar dari masa kelam Indonesia dulu, serta bagi mereka yang merindukan narasi yang memperkaya jiwa dengan bebau kebudayaan, Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru adalah suatu keharusan. Dalam alirannya yang mengalir begitu indah, ia tak hanya mengungkap tragedi-tragedi masa lalu, tetapi juga menghadirkan kehangatan budaya yang tak ternilai harganya. Sebuah perjalanan yang memperkaya pikiran dan jiwa, menggugah kesadaran, dan merajut benang merah yang mengikat kita dengan sejarah leluhur. 

Expand filter menu Content Warnings
I Must Betray You by Ruta Sepetys

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Selamat datang di Romania tahun 1989, di mana kebebasan adalah impian yang terlarang dan mimpi adalah matahari yang terkunci dalam kegelapan rezim otoriter Nicolae Ceaușescu. Di tengah bayang-bayang ketakutan dan pengucilan, kita bertemu dengan Cristian Florescu, seorang pemuda yang bermimpi menjadi penulis. Namun, dalam negara yang dikuasai oleh kebijakan kejam dan aturan yang ketat, bermimpi adalah keberanian yang berbahaya. 

Dalam sebuah taruhan berisiko, Cristian memutuskan untuk membuka topeng busuk rezim dan memberikan suara untuk rakyatnya yang tercekik oleh tirani. Namun, di dunia di mana setiap langkah adalah taruhan dengan nasib, apa sebenarnya yang akan dihasilkan dari perjuangan Cristian untuk kebebasan? 


“Kau tahu, Cristian. Dante ternyata salah. Neraka tidak panas. Neraka ternyata dingin dan beku.” 


Dalam I Must Betray You karya Ruta Sepetys, pembaca disuguhkan dengan sebuah perjalanan yang menegangkan, memadukan elemen fiksi dengan kejadian sejarah yang nyata. Terletak di tengah-tengah gejolak Revolusi Romania tahun 1989, buku ini menyoroti tema pengkhianatan, keluarga, cinta, dan semangat revolusi yang menggetarkan jiwa.

Berbeda dengan karya-karya sebelumnya seperti Salt to the Sea dan The Fountains of Silence, I Must Betray You memilih pendekatan yang memikat dengan menyajikan cerita melalui satu sudut pandang utama: Pengalaman Cristian, seorang remaja yang penuh semangat, berjuang melawan tirani dan ketidakadilan rezim yang membatasi kebebasan individu.

Di antara tembok-tembok beton rezim yang tinggi dan menakutkan, Cristian menjadi panduan kita melintasi lorong-lorong kekuasaan yang gelap, ketakutan yang menyelimuti, dan keputusasaan yang menghantui. Dari sudut pandangnya, kita menyaksikan tidak hanya kisah perjuangannya, tetapi juga kompleksitas hubungan antar karakter dan dinamika kehidupan sehari-hari di bawah tekanan rezim otoriter.

Melalui bait-bait puisinya yang menusuk, kita menyaksikan panorama politik yang kompleks dan kekerasan yang merajalela di negeri itu. Pembaca diundang untuk merasakan tekanan politik yang mencekam dan ketegangan sosial yang melingkupi setiap aspek kehidupan Cristian. Dalam setiap halaman, kita disuguhkan dengan detail-detail yang menggugah, mulai dari dialog yang sarat makna hingga deskripsi yang hidup tentang keadaan lingkungan sekitarnya. Ini memungkinkan pembaca untuk benar-benar terhubung dengan pengalaman Cristian dan secara emosional terlibat dalam perjuangannya.

Dengan alur cerita yang terstruktur secara rapi dan mengalir dengan lancar, pembaca dihanyutkan dalam perjalanan emosional yang menguras hati. Setiap halaman dipenuhi dengan nuansa pengkhianatan yang meresap, pertempuran batin yang mengguncang, dan tetesan harapan yang menggelora di tengah kegelapan yang melanda. Ketegangan terus membangun, membawa pembaca melalui labirin emosi karakter utama, sementara pengkhianatan dan keberanian saling berbenturan, menciptakan drama yang memikat dan penuh intrik. Dengan setiap bab, pembaca terus disuguhkan dengan momen-momen mendebarkan dan pemikiran yang mendalam, menjadikan pengalaman membaca buku ini tak terlupakan.

Pepatah yang menyatakan bahwa sejarah adalah guru terbaik sungguh terbukti dalam pengalaman membaca buku I Must Betray You karya Ruta Sepetys. Bagi saya, buku I Must Betray You bukan hanya sekadar cermin bagi masa lalu yang tragis, tetapi juga sebuah pengingat yang sangat kuat akan pentingnya belajar dari masa lalu. Dengan mengingat dan mempelajari masa lalu, kita dapat mencegah terulangnya kesalahan yang sama di masa depan. Sebagai pembaca, saya disadarkan akan urgensi untuk menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan, dan martabat manusia yang harus kita pertahakan dengan gigih, bahkan di bawah tekanan dan penindasan dari rezim otoriter.

Melalui lapisan-lapisan narasi yang kuat, Ruta Sepetys menggambarkan dengan jelas bagaimana rezim komunis di Romania berhasil memupuk rasa ketidakpercayaan di antara masyarakatnya. Mereka menggunakan berbagai alat propaganda untuk mengontrol informasi yang disampaikan kepada masyarakat, bahkan memanipulasi berita dan menyensor konten yang tidak sesuai dengan narasi mereka. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kebingungan di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya memunculkan rasa tidak percaya terhadap sumber informasi resmi.

Selain itu, rezim komunis juga membangun jaringan pengawasan yang luas, termasuk polisi rahasia dan pengaduan masyarakat, menciptakan atmosfer ketakutan dan paranoia di antara warga. Rasa tidak aman ini memperkuat isolasi dan ketidakpercayaan di antara individu-individu dalam masyarakat, sehingga menyulitkan terbentuknya solidaritas sosial yang kuat.

Tidak hanya itu, rezim komunis juga menggunakan taktik intimidasi dan represi untuk menindas segala bentuk oposisi atau perlawanan. Dengan melakukan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan eksekusi terhadap siapa pun yang dianggap sebagai ancaman, mereka menciptakan iklim ketakutan yang melumpuhkan dan menghambat upaya masyarakat untuk bersatu melawan tirani.

Dengan menggunakan berbagai cara yang telah dijelaskan sebelumnya, rezim komunis secara sistematis membangun dan memperkuat rasa ketidakpercayaan di antara masyarakatnya. Mereka merobek solidaritas sosial, memadamkan semangat persatuan, dan mengurangi peluang untuk terbentuknya koalisi oposisi yang kuat. Meskipun demikian, api perlawanan terhadap tirani tidak pernah padam. Sebagai sumber ketahanan dan harapan, semangat ini terus berkembang di tengah ketidakpastian dan ketakutan yang merajalela. Setiap tindakan represif rezim hanya memperkuat tekad rakyat untuk menentangnya.

Dan pada suatu titik, semangat perlawanan ini mencapai puncaknya dalam Revolusi Romania tahun 1989. Saat itu, di tengah gejolak politik dan kekerasan yang melumpuhkan, suara-suara perlawanan bergema melalui jalan-jalan kota. Mereka tidak hanya mencerminkan kemarahan dan ketidakpuasan, tetapi juga menggugah jiwa dan semangat para pengikutnya untuk bangkit melawan penindasan yang telah lama mereka tanggung.

Revolusi itu bukan hanya tentang pergantian kekuasaan, tetapi juga tentang harapan akan masa depan yang lebih terang. Itu adalah dorongan kolektif untuk membebaskan diri dari belenggu tirani dan menegakkan hak-hak asasi manusia yang telah lama diabaikan. Dengan keberanian dan keteguhan hati, rakyat Romania mengubah takdir mereka sendiri, mengukir sejarah baru yang akan diingat selamanya. Di balik tragedi dan pengorbanan, terbitlah cahaya harapan yang membawa perubahan yang revolusioner bagi bangsa mereka.

Buku I Must Betray You karya Ruta Sepetys adalah sebuah perjalanan yang menggugah jiwa dan membawa kita menjelajahi kedalaman emosi dan kekuatan kemanusiaan. Salah satu poin utamanya adalah narasinya yang luar biasa kuat dan mendalam. Melalui kata-kata yang indah dan penuh warna, Ruta Sepetys membawa kita melintasi jalan berliku politik dan kekerasan yang memenuhi Romania pada tahun 1989.

Puisi-puisi yang ditulis oleh karakter utama, Cristian, adalah permata yang membuat buku ini bersinar lebih terang. Dalam buku catatannya, puisi-puisi ini memberikan kedalaman emosi dan introspeksi yang lebih dalam tentang perasaan dan pikiran karakter utama. Mereka tidak hanya menambah kekayaan alur cerita, tetapi juga memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna yang lebih dalam dari setiap peristiwa yang terjadi.

Selain itu, alih bahasa yang dilakukan oleh Fira Nursya’bani adalah sebuah karya seni dalam dirinya sendiri. Meskipun terjemahan, Fira Nursya’bani mampu menghidupkan kembali semua nuansa dan emosi dari narasi aslinya dalam bahasa Indonesia. Bahkan, puisi-puisi yang awalnya ditulis dalam bahasa Inggris tetap memancarkan keindahannya dalam terjemahan ini, menunjukkan keahlian dan kepekaan sang penerjemah dalam menyampaikan pesan dengan keaslian bahasa yang berbeda.

Meskipun buku I Must Betray You memiliki banyak keunggulan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satu kelemahan yang mungkin mencolok adalah penggunaan satu sudut pandang dalam penyampaian ceritanya. Berbeda dengan ciri khas Ruta Sepetys yang menghadirkan sudut pandang yang beragam dan banyak dalam karya-karyanya sebelumnya, di buku ini kita hanya mendapatkan satu sudut pandang, yaitu dari perspektif karakter utama, Cristian. Meskipun hal ini membantu untuk lebih mendalaminya karakter utama dan memungkinkan pembaca merasakan pengalaman secara intim, beberapa pembaca mungkin merasa terbatas dalam memahami sudut pandang lain atau memperoleh wawasan yang lebih luas tentang peristiwa yang terjadi.

Selain itu, ada kemungkinan bahwa terdapat beberapa sejarah yang belum dimasukkan ke dalam buku ini. Meskipun Ruta Sepetys telah melakukan penelitian yang mendalam dan menggabungkan kejadian sejarah nyata dengan fiksi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada keterbatasan dalam ruang lingkup karya sastra. Beberapa pembaca mungkin merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang konteks sejarah yang lebih luas atau peristiwa-peristiwa tambahan yang mungkin tidak dimasukkan ke dalam narasi utama.

Meskipun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut tidak mengurangi kekuatan dan keindahan buku ini. I Must Betray You tetap menjadi sebuah karya yang memukau, menggugah, dan memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu yang tragis. Dengan alur cerita yang menarik, karakter-karakter yang kompleks, narasi yang kuat, puisi-puisi yang memikat, dan terjemahan yang cemerlang, buku ini tidak hanya memikat hati pembaca, tetapi juga memberikan wawasan yang berharga tentang periode bersejarah yang penting. Buku ini mengingatkan kita akan kekuatan dan keberanian manusia dalam menghadapi masa lalu yang tragis, dan mendorong kita untuk tidak pernah melupakan pelajaran berharga yang dapat diambil darinya. Saya sangat merekomendasikan buku I Must Betray You karya Ruta Sepetys bagi siapa pun yang ingin tenggelam dalam dunia yang penuh dengan intrik politik, perjuangan batin, dan semangat revolusi yang menggetarkan jiwa.

Expand filter menu Content Warnings
The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-mo

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

2.0

As I first flipped through the pages of The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-Mo, translated into English by Kim Chi-Young, a surge of awe swept through me. Amidst the rows of pages beckoning to be explored, lay a premise so captivating: the tale of an elderly female assassin with a cold heart in Korea, nearing the twilight of her career. My mind raced with possibilities and intrigues that could unfold within these pages. “Woah,” I whispered to myself in utter admiration, “this story concept is truly riveting.” 
 
However, as I delved into the storyline, I quickly realized that adjustments were needed. It felt like navigating through uncharted territory, where the plot seemed hazy and directionless. The narrative presented felt somewhat lackluster, demanding an ample amount of time to truly forge a connection with the story. It was akin to sailing through murky waters, where the characters felt completely devoid of dimension and lacked depth. It proved challenging for me to genuinely engage with them, as if they were mere fleeting shadows drifting through the pages of the book. 
 
What’s more confounding, the primary conflict in this story appeared to resolve swiftly and without leaving a significant impact. As a reader expecting tension and build-up in a thriller-action narrative, I felt somewhat disappointed with how the book failed to fully embody the essence of its genre. I yearned for more spine-tingling moments and heart-pounding plot twists, yet they seemed inadequately served within these pages. Throughout the story, I searched for solid ground but found myself lost amidst confusion. I hoped to find a glimmer of light at the end of the narrative tunnel, yet even then, I remained adrift in a storyline that felt perplexing and unsatisfying. 
 
Moreover, as I read about the relationship between the main character, Hornclaw, and her dog, a sense of discomfort crept into my mind. Although Hornclaw acknowledged her neglect of her pet, the empathy I felt towards the animal, abandoned for so long and left unfed, only intensified. Imagine the plight of the dog, faithfully waiting for its owner but receiving minimal attention, even to the point of starvation. It not only violated humane norms but also disturbed the conscience of the reader. 
 
Hornclaw’s indifference towards the welfare of her pet raised serious questions in my mind. Was this merely a reflection of the cold and unfeeling nature of an assassin, or was there something deeper that the author wished to convey? I pondered whether Hornclaw was intended to be portrayed as a psychopath lacking empathy towards other living beings. These questions lingered in my mind, adding a layer of emotional complexity to my reading experience. 
 
However, amidst the disappointment that shrouded this reading journey, there was one part of the story that managed to capture my attention strongly. It was when the author delved into the depths of Hornclaw’s character, taking us through her formative years to the person we encounter in this story. I felt like I was uncovering a hidden treasure trove as I traversed each page recounting Hornclaw’s journey from childhood to adulthood. 
 
In this section, the author seemed to find greater freedom in storytelling. The narrative became more vivid, colorful, and followed a clearer direction. Details about Hornclaw’s background were told with meticulous depth, providing a more tangible portrayal of who she truly is behind the cold facade of an assassin. 
 
Every moment of Hornclaw’s childhood, every obstacle she faced on her journey to adulthood, resonated strongly within this narrative. From past traumas to her relationships with loved ones, each element added new dimensions to Hornclaw’s character, making her feel more human and complex. This not only provided a deeper understanding of Hornclaw as an individual but also gave me hope that the story would take a turn and become even more compelling. 
 
Nonetheless, despite my efforts to re-immerse myself in the initial storyline, I still found it challenging to fully enjoy The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-Mo. Even as the story approached its conclusion, a sense of dissatisfaction lingered in my mind. It wasn’t easy to determine whether the lack of appeal in this narrative stemmed from a writing style that didn’t align with my taste or from a translation that may not have fully preserved the essence of the original story. However, in all respects, this book fell short of meeting my personal expectations. Additionally, I also recognize that readers’ tastes and preferences are highly subjective, and The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-Mo may well be a favorite for others. This serves as a reminder of the importance of appreciating the diversity of reading preferences and providing space for each work to find its place in the hearts of readers. 
 
 
“Not just because you’re a dog. It’s the same with people. They think that an old person can’t live the rest of her life with her mind intact, that an old person gets sick easily and spreads disease, and that nobody will take care of the elderly. That’s what they think about all living things.” 

Expand filter menu Content Warnings
Confessions by Kanae Minato

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Di balik kedamaian permukaan, tersembunyi kegelapan yang tak terbayangkan dalam kisah Moriguchi Yuko, seorang guru SMP yang kehilangan anaknya dalam sebuah peristiwa tragis. Namun, di tengah kesedihan yang mendalam, kecurigaan mulai menghampirinya. Moriguchi yakin bahwa kematian anaknya bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan sebuah tindakan keji yang harus diungkapkan. Dengan tekad bulat, dia bersumpah untuk menemukan kebenaran dan memastikan bahwa pembunuh anaknya tidak akan lepas dari keadilan. Namun, apa yang akan terungkap dalam pencariannya?

Perjalanan panjang akan bermula di sini, menuntunnya pada kebenaran yang mengejutkan.


Dalam karya fenomenalnya, Confessions, Minato Kanae membawa pembaca melalui perjalanan yang penuh intrik dan ketegangan. Dengan keahliannya yang luar biasa, Minato Kanae mempersembahkan sebuah cerita yang menggugah dan memikat, merambah ke dalam lanskap gelap dari keadilan yang terdistorsi, balas dendam yang membara, dan psikologi manusia yang rumit.

Dikenal sebagai “Ratu Iya-misu”, Minato Kanae tidak hanya menulis, tetapi menciptakan karya-karya yang meresap ke dalam jiwa pembaca dengan kekuatan dan ketajaman yang luar biasa. Iya-misu, sebuah aliran misteri yang tumbuh subur dalam sastra Jepang, mempersembahkan pengalaman membaca yang membawa pembaca ke dalam labirin kegelapan dan konflik batin dari kemanusiaan.

Dalam iya-misu, pembaca dihadapkan pada suasana yang gelap dan perasaan tak nyaman hingga mempertanyakan fondasi moralitas dan kebenaran. Di sini, kekerasan, ketidakmampuan manusia, dan pertarungan batin menjadi pemandangan yang umum, menciptakan suasana yang tak tertandingi dalam sastra misteri dan menggugah para pencinta sastra yang haus akan tantangan intelektual dan emosional.

Sejalan dengan itu, saat menyelami Confession karya Minato Kanae, pembaca akan disuguhi dengan narasi yang tajam dan mendalam, membawa mereka dalam perjalanan yang memaksa untuk merenungkan ulang konsep-konsep moralitas dan esensi manusia. Setiap halaman membawa nuansa ketegangan, menuntun pembaca melalui labirin konflik psikologis yang kompleks dan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang sifat kemanusiaan.

Saya pribadi, sangat terkesan dengan keunikan penyampaian cerita yang disajikan dalam buku ini. Penulis dengan cermat menempatkan setiap detail, membangun misteri secara perlahan tanpa terburu-buru menuju akhir. Pembaca diajak untuk meresapi setiap konflik psikologis yang rumit, sambil mengikuti jejak pencarian kebenaran yang semakin rumit.

Tak hanya itu, kejutan-kejutan yang tersebar di sepanjang cerita memperkaya pengalaman membaca. Saya secara pribadi merasa terkejut oleh putaran-putaran tak terduga dalam plot, yang menyajikan kejutan-kejutan yang menggetarkan. Kemampuan penulis untuk menggiring pembaca pada petualangan yang penuh ketidakpastian membuat setiap halaman menjadi lebih menarik dan menggugah rasa ingin tahu.

Saya juga sangat terkesan dengan cara Confessions menggali isu peradilan remaja, sebuah ranah yang kompleks dan sering kali menghadirkan tantangan moral yang mendalam. Sistem ini, yang dirancang untuk menangani pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja, sebenarnya bertujuan untuk mendidik dan merehabilitasi mereka, namun realitasnya seringkali jauh dari harapan.

Di tengah kisah yang menegangkan, Minato Kanae berhasil memperlihatkan ketidakpastian yang melingkupi penentuan batas usia antara anak-anak dan dewasa dalam sistem hukum. Perbedaan batas usia di berbagai negara juga merupakan salah satu hal yang memperumit pemilihan sistem peradilan yang tepat, menciptakan dilema yang membingungkan.

Namun, lebih dari sekadar kompleksitas hukum, Confessions juga menggugah kesadaran tentang realitas kejam di balik sistem peradilan remaja. Di dalamnya terungkap bagaimana sistem yang seharusnya melindungi anak-anak sering kali disalahgunakan oleh pihak berwenang.

Terlebih lagi, beberapa anak mungkin “dengan sengaja” melakukan kejahatan karena merasa diri mereka akan dilindungi oleh sistem peradilan remaja. Keyakinan bahwa konsekuensi dari tindakan mereka akan lebih ringan atau bahwa mereka akan mendapatkan perlakuan yang lebih ramah oleh sistem tersebut dapat mendorong perilaku yang merugikan dan merusak. Hal ini tidak hanya menggugah kesadaran kita akan kelemahan dalam sistem peradilan remaja, tetapi juga menyoroti urgensi untuk melakukan perubahan yang mendalam guna melindungi hak-hak dan kesejahteraan bersama.

Tidak hanya itu, kisah ini juga menyoroti dampak media terhadap persepsi kita tentang kejahatan. Melalui narasi yang menggugah, kita disuguhkan gambaran tentang bagaimana media sering kali mempermainkan berita kejahatan untuk mendongkrak peringkat, tanpa memikirkan dampaknya pada pandangan masyarakat. Hal ini menambah dimensi moralitas yang mendalam dalam cerita, membuat pembaca terdorong untuk merenung tentang peran dan tanggung jawab media dalam menyajikan informasi kepada publik.

Andry Setiawan dan Clara Canceriana juga berhasil menghadirkan alih bahasa yang halus dan mudah dipahami dari Confessions ke dalam bahasa Indonesia. Dengan keahlian mereka dalam menangkap nuansa dan makna asli setiap kalimat, mereka menjaga kualitas dan keutuhan cerita, sambil memastikan agar pembaca dapat merasakan alur cerita dengan lancar dan tanpa hambatan. Terjemahan mereka tidak hanya mentransfer kata demi kata, tetapi juga menggali esensi dan emosi yang tersembunyi di dalam teks asli, sehingga pembaca dapat merasakan kedalaman cerita tanpa kehilangan pesan yang disampaikan.

Dengan setiap halaman yang memikat dan setiap adegan yang memukau, Confessions karya Minato Kanae membawa pembaca dalam perjalanan yang mendalam ke dalam labirin moralitas, keadilan, dan kompleksitas manusia. Melalui jalinan cerita yang penuh teka-teki, buku ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pikiran pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan yang meresahkan tentang dunia di sekitar kita. Dari isu-isu moralitas yang membingungkan hingga dampak media yang mempengaruhi, setiap lapisan cerita mengundang pembaca untuk merenungkan peran mereka dalam membentuk masyarakat. Saya sangat merekomendasikan Confessions karya Minato Kanae ini kepada siapa pun yang ingin menikmati pengalaman membaca yang memikat dan menegangkan.

Expand filter menu Content Warnings
The Fountains of Silence by Ruta Sepetys

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny hopeful informative inspiring mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Selamat datang di Madrid tahun 1957, sebuah kota yang dipenuhi dengan pesona yang tak terbantahkan, namun juga menyembunyikan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat di permukaan. Di bawah sinar matahari yang berkilauan, kota ini menjadi magnet bagi para turis dan ekspatriat yang haus akan petualangan, menawarkan musim panas yang indah dan anggur yang menggoda. 
 
Namun, di balik kilauan kota yang gemerlap, tersimpan kisah-kisah gelap yang menggetarkan jiwa. Inilah dunia yang dihadapi oleh Daniel Matheson, seorang remaja Amerika yang merindukan keindahan negara asal ibunya. Bersenjata dengan kamera, Daniel menjelajahi jalan-jalan Madrid, menangkap momen-momen indah sekaligus misterius yang mengintip di balik tirai kehidupan sehari-hari. 
 
Saat takdir mempertemukannya dengan Ana Torres Moreno, seorang gadis yang menyimpan rahasia kelam di dalam dirinya, Daniel terjerat dalam pusaran intrik dan bahaya yang mengancam kehidupan mereka. Dari kemewahan Hotel Castellana Hilton hingga ancaman Garda Sipil yang mengancam, setiap sudut kota menjadi panggung bagi kisah-kisah yang menegangkan dan tak terduga. 
 
Apa sebenarnya yang terjadi di balik layar kehidupan yang tampak begitu tenang di Madrid? 


 
Sejarah akan mengungkapkan bahwa, di tengah perperangan, korban paling besar seringnya adalah mereka yang paling muda. Anak-anak dan remaja yang tak berdaya menjadi korban-korban tak berdosa dari kekejaman dan tekanan ideologi.
 
The Fountains of Silence karya Ruta Sepetys merupakan sebuah karya sastra yang menggugah pikiran dengan menyajikan kisah berdasarkan sejarah asli Spanyol. Negara tersebut tenggelam dalam bayang-bayang rezim diktator Francisco Franco yang mencekam. Dalam alur ceritanya, penulis Ruta Sepetys merangkai sebuah narasi yang menggugah kesadaran akan kekuasaan dan penindasan, serta keberanian dalam mengungkap kebenaran di tengah-tengah kegelapan masa lalu. 
 
Pertama-tama, penulis menyoroti permasalahan utama terkait kekuatan dan penindasan. Dalam dunia yang diperintah oleh rezim otoriter, kekuasaan politik dan militer ditempatkan di tangan segelintir orang yang menggunakan kekuasaan tersebut untuk menekan dan mengontrol masyarakat. Seperti yang digambarkan dalam buku ini, kebebasan individu seringkali diinjak-injak oleh kepentingan politik yang lebih besar, menghasilkan ketidakadilan yang mengakar dalam struktur kekuasaan. 
 
Kediktatoran menghasilkan iklim ketakutan dan penindasan di masyarakat, menyebabkan orang hidup dalam kewaspadaan yang berlebihan. Mereka menjadi hati-hati dalam setiap ucapannya dan langkahnya, karena takut akan konsekuensi yang mungkin timbul jika dianggap melawan rezim. Hal ini menciptakan suasana yang tegang dan mengakibatkan banyak orang merasa terkekang dalam berekspresi dan berpikir dengan bebas. 
 
Rezim otoriter menekan kebebasan individu dan mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini tercermin dalam pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan budaya, agama, dan politik yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan pribadi serta kebebasan berekspresi. Adanya sensor dan kontrol terhadap media juga membuat informasi terbatas dan seringkali diputarbalikkan sesuai dengan narasi yang diinginkan oleh rezim. 
 
Selain itu, kediktatoran menciptakan ketidaksetaraan yang merajalela di masyarakat. Mereka yang mendukung rezim atau memiliki hubungan dekat dengan penguasa sering kali mendapatkan perlakuan istimewa dan keuntungan, sementara individu yang dianggap menentang atau tidak setuju dengan rezim bisa menghadapi diskriminasi, penahanan, atau bahkan penyiksaan. Situasi ini memunculkan ketidakadilan sosial yang dalam dan memperkuat pembelahan dalam masyarakat. 
 
Kediktatoran juga menjadi penghalang bagi perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat. Kekuasaan yang terpusat pada segelintir orang atau kelompok menyebabkan sumber daya dan kesempatan ekonomi terkonsentrasi pada mereka, sedangkan mayoritas masyarakat terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Hal ini membuat kemungkinan untuk meningkatkan taraf hidup dan meraih impian menjadi sangat terbatas bagi banyak orang. 
 
Namun, di balik bayang-bayang tirani yang menguasai, tersimpan rahasia dan kebenaran yang tersembunyi, menanti untuk diungkap. Para karakter utama dalam cerita ini terlibat dalam sebuah perjalanan mendebarkan untuk menggali kebenaran tersembunyi tentang masa lalu mereka yang dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan. Mereka sadar bahwa, untuk mengubah arah masa depan, kita harus berani menghadapi dan mengungkap masa lalu yang kelam. 
 
Tema perlawanan dan pengorbanan melahirkan dinamika yang tegang dalam kisah ini. Para karakter mendapati diri mereka terjebak dalam situasi di mana mereka harus membuat pilihan sulit antara taat pada rezim yang kejam atau bangkit melawan ketidakadilan. Pilihan-pilihan ini seringkali dihadapi dengan risiko besar, termasuk ancaman terhadap keselamatan pribadi dan kehidupan mereka. Namun, mereka memilih untuk beraksi demi keadilan dan kemanusiaan, kendati harus menghadapi konsekuensi yang mengerikan. 
 
Tidak hanya itu, The Fountains of Silence juga menelusuri tema identitas dan keberagaman budaya dengan penuh kepekaan. Melalui interaksi antara karakter-karakter yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, novel ini menggambarkan kompleksitas identitas individu serta bagaimana budaya memengaruhi persepsi dan pengalaman mereka. Para karakter dalam cerita ini juga belajar untuk menghargai bagaimana sejarah membentuk masa kini dan masa depan mereka. Mereka menyadari bahwa mengenang dan menghormati warisan sejarah adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan tercerahkan. 
 
Saya jatuh cinta kembali pada karya-karya Ruta Sepetys. Awalnya, saya tersentuh oleh keindahan tulisannya dalam Salt to the Sea, dan saya tahu bahwa saya telah menemukan seorang penulis yang istimewa. Namun, ketika saya melangkah ke dalam dunia The Fountains of Silence, saya sekali lagi terpesona oleh kekuatan dan keindahan narasinya. 
 
Salah satu hal yang membuat karya-karya Ruta Sepetys begitu memikat adalah kemampuannya untuk mengalirkan cerita dengan kehalusan dan kelancaran yang luar biasa. Setiap kata dan kalimatnya terasa seperti aliran sungai yang tenang namun menghanyutkan, membawa kita menjelajahi dunia yang dia ciptakan dengan segala kekuatan dan kelemahannya. 
 
Penggunaan sudut pandang yang berubah-ubah dalam cerita juga menjadi daya tarik tersendiri. Dengan melihat cerita dari sudut pandang yang berbeda, kita dapat melihat kebenaran yang kompleks dan nuansa yang dalam dari perspektif setiap karakter. Ini membuat kita semakin terhubung dengan cerita dan karakter-karakternya, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang latar belakang dan motivasi mereka. 
 
Namun, yang paling saya sukai dari karya-karya Ruta Sepetys adalah kemampuannya untuk menciptakan cerita yang begitu kuat dan mengesankan sehingga tetap menghantui pikiran dan hati kita bahkan setelah menutup halaman terakhir bukunya. Cerita-ceritanya menggali kedalaman emosi dan memperkenalkan kita pada kehidupan yang mungkin tidak pernah kita alami sendiri, tetapi dengan kemampuan Ruta Sepetys untuk menggambarkannya dengan begitu jelas, kita merasa seolah-olah telah berada di sana, bersama dengan karakter-karakternya. 
 
Di antara karakter-karakter yang mengisi halaman-halaman buku ini, Fuga muncul sebagai sebuah bintang yang bersinar dengan kekuatan dan kehormatan yang luar biasa. Dalam dunia yang gelap dan penuh ketakutan di bawah rezim diktator, keberaniannya bersinar terang, menginspirasi dan menggetarkan hati pembaca.

Fuga, si penggali kuburan dengan mimpi yang melambung tinggi menjadi seorang matador, adalah contoh hidup dari prinsip tindakan lebih berbicara dari pada kata-kata. Meskipun jarang terdengar bicaranya, kehadirannya menggema dengan kekuatan yang menggetarkan jiwa. Dalam diamnya, dia mewakili tekad yang kuat, tidak tergoyahkan oleh ketidakpastian atau ketakutan yang menghantui masyarakat di sekelilingnya.

Fuga memukau dengan keteguhannya menghadapi ketidakadilan. Di bawah bayang-bayang rezim yang menindas, ia tak pernah menampakkan kelemahan atau ketakutan. Bahkan di hadapan kenyataan yang keras dan mustahil, impian besar Fuga sebagai seorang matador tetap bersinar, menjadi sumber kekuatannya yang tak tergoyahkan.

Namun, di balik keberaniannya, ada sebuah hati yang lembut dan penuh rasa hormat. Saat menjadi seorang matador, dia tidak pernah lupa untuk memperlakukan lawannya dengan keanggunan dan kesopanan yang mengesankan. Meskipun berada di tengah-tengah pertarungan yang memacu adrenalin dan mungkin penuh dengan bahaya, dia selalu menjaga integritasnya dan menghormati lawan-lawannya.

Fuga adalah sebuah cerminan dari kekuatan manusia untuk tetap tegar di bawah tekanan dan ketidakadilan. Dia adalah pahlawan yang menunjukkan bahwa bahkan di tengah-tengah kegelapan yang paling dalam, cahaya keberanian, kehormatan, dan keteguhan hati tetap bersinar terang. Melalui kisahnya, pembaca diajak untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang benar dan pentingnya mempertahankan mimpi dan prinsip bahkan di dalam badai yang paling dahsyat sekalipun.
 
Dengan pengalaman yang berkesan, saya ingin menyoroti dedikasi dan kepiawaian Airien Kusumawardani sebagai alih bahasa dalam karya ini. Meski mengalihbahasakan teks ke dalam bahasa Indonesia, beliau berhasil mempertahankan kehidupan cerita secara luar biasa. Melalui kepiawaian dan ketelitian dalam memilih kata-kata, beliau mampu menjaga esensi cerita agar tetap tersampaikan dengan kuat dan memikat. Dengan demikian, setiap baris terjemahan yang dihasilkan beliau tidak hanya sekadar memindahkan kata demi kata, tetapi juga mampu menghidupkan kembali cerita dengan setiap detilnya. Keahlian Airien Kusumawardani sebagai alih bahasa telah memberikan kontribusi besar dalam menyampaikan pesan, nuansa, dan emosi dari versi aslinya ke dalam terjemahan, sehingga pembaca dapat merasakan kedalaman cerita dengan sempurna. 
 
Melalui The Fountains of Silence, Ruta Sepetys sekali lagi memperlihatkan kepiawaian luar biasanya dalam memahat kata-kata. Ia mampu menyajikan sejarah menjadi sebuah cerita yang tidak hanya memikat, tetapi juga menggugah jiwa pembaca. Dari kehalusan narasi hingga perubahan sudut pandang yang cerdas, karya ini tidak sekadar menghibur, tetapi juga membawa kita pada perjalanan emosional yang tak terlupakan. 
 
Setelah menutup halaman terakhir buku ini, saya merasa seperti telah melakukan perjalanan yang mendalam dan bermakna. Cerita ini masih melekat erat dalam pikiran dan hati saya, memicu refleksi mendalam tentang sejarah dan kompleksitas manusia. Oleh karena itu, dengan sepenuh hati, saya merekomendasikan The Fountains of Silence kepada siapa pun yang mencari pengalaman membaca yang menghantui dan memikat, serta ingin mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang masa lalu yang berharga. 

Expand filter menu Content Warnings
Penaka by Altami N.D.

Go to review page

dark emotional informative mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Dalam perjalanan kehidupannya, Sofia terseret dalam aliran tak terduga dari cobaan dan kekacauan yang mengguncang pondasinya. Meskipun hanya dua tahun sejak ikrar pernikahannya, ia menemukan dirinya terjebak dalam labirin ketidakpastian yang membingungkan. Rumah yang kacau dan tak beraturan mencerminkan keadaan dalam dirinya yang semakin terpuruk, menjauh dari sinar kebahagiaan yang dijanjikan. Suaminya, Laksana, seorang pria yang tenggelam dalam kecanduan bermain online game, bahkan tak menyadari betapa jauhnya ia telah menjatuhkan keluarganya ke dalam jurang bahaya. Sofia merasa seperti seorang penumpang tak diundang dalam perjalanannya sendiri, merantau di ladang kesepian yang sunyi dan gelap. 
 
Tiba-tiba, pada suatu saat dalam keheningan yang menyiksa, Sofia menyadari bahwa tubuhnya telah berubah menjadi sesuatu yang tak dikenal. Mulai dari botol minum hingga hewan peliharaan, dan bahkan mengambil rupa orang asing yang misterius. Kehancuran itu bukan hanya pada fisiknya, tetapi juga pada hakikat dirinya yang terperangkap di dalamnya. 
 
Saat Sofia meraba-raba kebingungan dan kepanikan, dia mulai menyingkap tabir rahasia gelap yang menyelimutinya. Pertanyaan-pertanyaan menggerogoti pikirannya: Mengapa ini terjadi padanya? Apa maksud di balik segala bentuk yang tak terduga ini? Sementara nasib anaknya bergantung pada benang tipis, dan rencananya hancur berantakan, Sofia tahu bahwa dia harus menemukan jalan kembali ke bentuknya yang asli.
 
Penaka, karya dari Altami N. D., mempesona dengan gaya penulisan yang mengalir, menarik pembaca ke dalam dunia Sofia, seorang ibu rumah tangga yang tenggelam dalam lautan kepenatan dan stagnasi hidup. Cerita ini tidak hanya menyuguhkan ide yang segar, tetapi juga menghadirkan sentuhan fantasi yang menambahkan lapisan misteri dan daya tarik yang tak terbantahkan. 
 
Sofia, sebagai tokoh utama, adalah gambaran yang menggugah simpati tentang kehidupan sehari-hari yang cukup banyak dijalani oleh wanita di sekitar kita. Dalam penjara rutinitas yang tak kunjung berubah, ia merasa terhimpit oleh keterbatasan dan kekosongan. Namun, beban hidupnya menjadi semakin berat dengan kehadiran suaminya, Laksana, yang lebih memilih terbenam dalam dunia online game daripada membantu membagi beban tanggung jawab.
 
Bab awal cerita membangun ketegangan yang intens, menghadirkan pembaca dalam kegelisahan Sofia yang terhimpit oleh perasaan terabaikan dan tidak dihargai. Suami yang seharusnya menjadi pendamping setia malah menjadi beban tambahan, meninggalkannya sendirian dalam pertarungan menghadapi kesulitan hidup. Melalui tulisan yang tajam, penulis menggambarkan dengan sempurna betapa sulitnya posisi Sofia, merangkai rasa frustrasi dan keputusasaan yang begitu nyata.
 
Seperti pena yang mengalir di atas kertas, penulis memutar haluan cerita, menyorot bahwa mungkin “batu sandungan” sebenarnya adalah diri Sofia sendiri. Di setiap lembaran berikutnya, pembaca diajak menembus kedalaman pikiran Sofia yang penuh kompleksitas. Kebiasaan merenungkan kesempurnaan orang lain memperlihatkan bahwa terkadang musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri yang terperangkap dalam jerat perbandingan tak berujung.
 
Namun, di tengah gemerlap kata-kata yang melintas di atas halaman, tersembunyi kekurangan dari tinta yang menorehkan cerita ini. Pergantian sudut pandang yang seharusnya menjadi puncak konflik justru terasa seperti loncatan kasar dari satu lini narasi ke yang lain, tanpa memperhatikan keselarasan dan kedalaman emosi karakter. Penulis tampak tergesa-gesa dalam memindahkan permasalahan ke diri Sofia sepenuhnya, seolah mencari jalan pintas untuk menggiring alur cerita menuju titik klimaks, tanpa memperhatikan keaslian dan kompleksitas setiap karakter.
 
 
Lebih dalam lagi, penulis tampak tenggelam dalam lautan kompleksitas psikologis yang mengelilingi karakter Laksana, suami dari Sofia. Dengan cermat, penulis mencoba menggambarkan bagaimana trauma masa lalu telah membentuk dan membayangi perilaku buruknya. Misalnya, penulis mungkin menggambarkan momen-momen konkret dalam kehidupan Laksana yang menimbulkan dampak emosional yang mendalam, serta bagaimana trauma tersebut membentuk pola pikir dan reaksi-reaksi yang tidak sehat.

Namun, dalam upaya untuk menyajikan gambaran yang utuh, penjelasan yang disuguhkan terasa terlalu ringkas dan permukaan. Penulis mungkin hanya menyentuh pada permukaan masalah, tanpa benar-benar mengeksplorasi kedalaman emosi dan konflik internal yang dialami oleh Laksana. Seakan-akan, penyelesaian dari konflik internal yang rumit ini diberikan secara instan, tanpa adanya usaha mendalam untuk menggali lapisan-lapisan yang lebih dalam dari psikologi karakter.
 
Hal ini menimbulkan kekhawatiran dan rasa ketidakpuasan, karena memberikan kesan seperti menerima atau membenarkan perilaku negatif Laksana sebagai konsekuensi langsung dari trauma masa lalunya. Padahal, seharusnya, penanganan yang lebih bijaksana dan realistis adalah dengan mengeksplorasi bagaimana Laksana bisa menemui bantuan profesional untuk membantu mengatasi permasalahan psikologisnya. Dengan meminta bantuan dari ahli psikologi atau konselor, karakter Laksana bisa menjalani proses penyembuhan yang lebih terstruktur dan mendalam. Dalam proses ini, pembaca dapat melihat bagaimana Laksana berjuang, tumbuh, dan mengatasi trauma masa lalunya, memberikan dimensi baru bagi perkembangan karakter dan alur cerita secara keseluruhan.
 
 
Hingga akhir cerita, saya merasa bahwa penulis belum berhasil menyajikan resolusi yang memuaskan, terutama untuk perjalanan karakter utama. Komunikasi antara Sofia dan Laksana masih terasa terputus, membiarkan ketegangan yang terpendam tetap mengintai di antara mereka seperti bayangan yang menakutkan. Ketidaksepakatan yang belum terselesaikan ini bukanlah sekadar konflik biasa, melainkan benih yang dapat tumbuh menjadi pertikaian yang lebih besar di masa depan. Seperti semacam api kecil yang belum padam, ketegangan di antara Sofia dan Laksana masih bersembunyi di balik senyuman palsu dan kata-kata yang tidak terucapkan, menunggu momen yang tepat untuk meletus dalam ledakan emosi yang menghancurkan.
 
Akan tetapi, saya memahami sepenuhnya pesan yang ingin disampaikan oleh penulis tentang dinamika pernikahan dan keberanian untuk menghadapi tantangan. Kehidupan tidaklah selalu terhampar lurus di jalur yang mulus; terkadang kita harus menempuh jalan yang berliku, terjatuh, dan bangkit kembali dengan tangan tergenggam erat bersama pasangan hidup kita. Penulis memberikan pengajaran berharga bahwa penting bagi kita untuk melihat setiap situasi dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Tiap perspektif membawa kebenaran dan pemahaman yang unik. Hidup bukan sekadar sebuah perlombaan untuk mencapai kesempurnaan atau mengejar gambaran kebahagiaan yang seringkali dipamerkan di dunia maya. 
 
Pesan ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan yang sejati tidak selalu ditemukan di puncak keberhasilan atau dalam momen-momen gemilang yang dipamerkan di dunia maya. Sebaliknya, kebahagiaan sering kali tumbuh dan berkembang melalui proses kesabaran, perjuangan, dan ketulusan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ini adalah pengingat bahwa kita tidak berjalan sendirian dalam perjalanan hidup kita; setiap individu memiliki cerita dan rintangan yang berbeda, menjadikan hidupnya sebagai sebuah perjalanan yang unik dan berharga. Dengan saling mendukung dan memahami satu sama lain, kita dapat melewati segala kesulitan dengan lebih mudah dan menguatkan ikatan kita satu sama lain. 
 
Selain itu, ada hal yang membuat saya sangat terkesan, yaitu desain sampul dari buku Penaka ini. Saat saya melihatnya, saya menyadari bahwa sampulnya merupakan hasil karya dari Orkha Creative. Desainnya sungguh memukau dan menarik perhatian saya dengan kuat. Bentuknya yang berbeda dari kebanyakan sampul buku yang saya lihat menambah kesan yang sangat kental dari kata “penaka” itu sendiri. Saya merasa seolah-olah sampul tersebut menjadi jendela ke dunia cerita yang menunggu untuk dijelajahi. Setiap detailnya terasa begitu dipertimbangkan dengan baik, menimbulkan rasa ingin tahu yang besar tentang isi buku di dalamnya. 
 
Warna-warna yang dipilih, tipografi yang digunakan, serta elemen-elemen desain lainnya saling melengkapi satu sama lain, menciptakan harmoni visual yang menawan. Saya bahkan merasa seperti terhipnotis oleh keindahan estetika yang ditampilkan dalam sampul ini. Terlebih lagi, desain yang begitu unik dan berbeda dari yang biasa saya lihat menimbulkan kesan bahwa buku ini memiliki sesuatu yang istimewa dan berbeda dari yang lain 
 
Dalam keseluruhan, Penaka karya Altami N. D. telah memberikan pengalaman yang mengesankan dan mendalam bagi saya. Mulai dari cerita yang menggugah hingga desain sampul yang memikat, setiap aspek dari karya ini menarik saya lebih dalam ke dunia yang diciptakan oleh penulis. Hal yang paling mencolok bagi saya adalah pesan yang tersembunyi di balik cerita ini. Di tengah-tengah drama dan petualangan, buku ini merangkum kebijaksanaan tentang kehidupan, cinta, dan perjuangan. Dengan cara yang menginspirasi, Penaka mengajarkan kita untuk melihat kehidupan dari berbagai sudut pandang, merangkul keragaman, dan menghargai perjuangan setiap individu. Sampul buku yang menawan dari Orkha Creative juga menambahkan dimensi artistik yang memikat, menegaskan kesan bahwa di balik kata-kata yang tertulis, ada dunia yang menunggu untuk dijelajahi. Saya tak sabar untuk melihat karya-karya selanjutnya dari Altami N. D. 

Expand filter menu Content Warnings
Persona by Fakhrisina Amalia

Go to review page

challenging dark emotional mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Di balik pesona yang memikat, Altair Nakayama menyimpan rahasia yang misterius. Ketika Azura mulai jatuh cinta padanya, Altair pergi dengan tiba-tiba, meninggalkan Azura dalam kebingungan dan kerinduan yang mendalam. Namun, bukan hanya kehilangan Altair yang menjadi tantangan bagi Azura, melainkan juga pengungkapan rahasia-rasahasia kelam yang menyelimuti keluarganya, yang mulai terungkap satu demi satu. Dalam kekacauan ini, Nara menjadi tempat perlindungan bagi Azura, menyediakan dukungan dan keberanian di tengah-tengah kegelisahan.

Waktu terus berjalan, dan tiba-tiba Altair kembali datang, membawa kebingungan dan pergolakan emosi yang baru bagi Azura. Dalam kisah yang penuh teka-teki ini, Azura harus memilih antara cinta yang kembali pulang, yang mungkin membawa jawaban atas misteri yang mengitarinya, atau keberadaan Nara yang selalu ada di sisinya, memberikan ketenangan dan kepastian. Di antara pilihan yang sulit ini, Azura harus menjelajahi jalan keputusan yang penuh dengan keraguan dan perasaan bercampur aduk. Siapakah yang akan dipilihnya, dan apa konsekuensi dari pilihan tersebut?

Karya kedua Fakhrisina Amalia, Persona, menjadi pemandangan baru yang menarik bagi saya setelah menjelajahi Represi. Meskipun terlihat lebih mudah ditebak, saya menemukan bahwa di balik alurnya yang sederhana, tersimpan petunjuk-petunjuk halus yang memancing rasa ingin tahu untuk merenung dan mengikuti setiap jejak cerita yang terungkap. Keberadaan petunjuk ini justru semakin meningkatkan rasa penasaran saya, membangkitkan keinginan yang tak terbendung untuk menyaksikan bagaimana penulis mempermainkan plot dan menghadirkan kejutan-kejutan tak terduga.

Saat tirai buku Persona terbuka, saya disambut dengan narasi yang penuh keberanian, mengundang saya untuk menyelami kedalaman cerita yang menggugah. Begitu melangkah beberapa halaman, saya terhenti sejenak oleh ketegasan dan detail dalam setiap penceritaan, bahkan sampai-sampai saya merasakan kegetiran di beberapa titik cerita. Meskipun ragu, saya tak bisa menahan diri untuk terus membenamkan diri dalam alur yang memikat, terbawa oleh arus misteri yang menggoda untuk dipecahkan. Sebagai peringatan, saya sangat menyarankan para calon pembaca untuk membaca peringatan konten yang disematkan, sebelum memasuki labirin cerita yang kompleks ini.

Semakin saya meresapi halaman demi halaman buku ini, semakin dalam saya terbenam dalam alur ceritanya, tak sabar untuk mengungkap kesudahannya. Gaya bercerita penulis begitu santai dan sederhana, namun tetap mampu mempertahankan daya tariknya. Rasanya seolah tokoh utama, Azura, hidup di antara halaman-halaman tersebut, dengan setiap kata yang terungkap seakan menjadi pengalaman langsung dari dirinya.

Dengan tema yang diusung, penulis menyajikan karya yang mengundang refleksi mendalam. Melalui bahasa yang berani dan menggugah, penulis dengan penuh empati menggambarkan bagaimana kesepian dan kekosongan bisa merusak jiwa seseorang secara perlahan namun pasti. Lapisan cerita yang kaya akan emosi membawa pembaca melalui lorong-lorong kesepian yang menyayat hati, seolah berjalan di antara bayangan-bayangan yang menghantui.

Setiap halaman dari buku ini dirancang sedemikian rupa untuk menyajikan kisah yang tak terlupakan. Penulis dengan mahir memadukan elemen-elemen yang menghangatkan dengan refleksi yang dalam tentang kondisi mental. Tak pelak, buku ini bukan sekadar bacaan ringan; ia adalah perjalanan emosional yang membangkitkan rasa tak terduga.

Di sisi lain, dalam percakapan antara Azura dan Altair, terasa kaku dan kurang alami. Saya penasaran, apakah penulis sengaja menulisnya demikian karena latar belakang campuran Indonesia-Jepang dari karakter Altair, ataukah ada pertimbangan lain yang membuat percakapan terasa kurang mengalir?

Selain itu, beberapa transisi latar belakang cerita terasa kurang teratur, menyebabkan beberapa pembaca merasa kehilangan alur cerita.
Misalnya, momen tiba-tiba Azura sudah wisuda tanpa pengantar yang memadai.
Saya merasa terkejut dengan peristiwa tersebut dan harus meluangkan waktu untuk kembali ke beberapa halaman sebelumnya guna memastikan tidak melewatkan informasi penting.

Ada satu hal menarik yang perlu saya soroti, yaitu ketika Azura dan Yara menyisipkan beberapa percakapan dalam bahasa Inggris. Apakah penulis melakukannya untuk menegaskan bahwa Azura telah lulus dari jurusan Sastra Inggris? Namun, pelaksanaannya terasa sedikit kaku dan kurang perlu. Sebenarnya, jika penulis bersedia, penulis bisa saja memasukkan percakapan dalam bahasa Inggris sejak awal cerita tanpa menunggu waktu begitu lama. Meskipun begitu, saya tidak berpendapat bahwa tindakan ini buruk, hanya saja saya berharap penulis dapat lebih leluasa dalam mengembangkan cerita agar tetap terasa alami dan menarik.

Pada bagian akhir cerita, penulis sungguh berani. Kejutan yang dihadirkan sungguh tak terduga—saya sama sekali tidak mengantisipasinya sebelumnya. Memang, pemilihan akhir cerita ini bisa menimbulkan reaksi beragam di antara para pembaca. Ada yang mungkin menyukainya karena sentuhan fantasi yang diberikan oleh penulis,
terutama ketika cerita berhubungan dengan legenda yang disinggung sebelumnya.
Namun, sebagian pembaca lainnya mungkin merasa kecewa dengan pilihan penulis karena dianggap merusak kesan realistis yang telah dibangun sejak awal cerita.

Bagi saya pribadi, saya tidak begitu terganggu dengan akhir cerita ini. Malah, saya sangat mengapresiasi keberanian penulis dalam mengambil langkah tersebut. Bagi saya, akhir cerita ini menjadi sumber diskusi yang menarik, karena membuka ruang bagi saya untuk merenungkan banyak hal.

Berbicara tentang pemilihan judul buku, yaitu Persona, ada sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih dalam. Persona, sebagaimana saya temukan dalam beberapa penjelasan di internet, persona memiliki makna yang mengacu pada citra atau karakter yang ditampilkan seseorang kepada dunia luar. Hal ini seringkali merupakan upaya untuk menyembunyikan aspek-aspek tertentu dari diri mereka atau sekadar untuk memenuhi harapan sosial. Persona menjadi bagian dari identitas yang ditampilkan secara publik.

Namun, saya merasa pemilihan judul Persona ini tidak sepenuhnya mencerminkan konsep persona dalam sisi psikologis dengan keseluruhan cerita yang disampaikan dalam buku ini. Meski begitu, sebagai orang yang hanya memiliki pengetahuan awam tentang psikologi dan hanya mengandalkan penjelasan di internet, mungkin pendapat saya kurang valid. Mungkin ada alasan khusus mengapa penulis memilih kata persona sebagai judul bukunya ini, yang membuat saya sangat penasaran ingin mengetahuinya.

Dalam konteks yang lebih luas, pemilihan judul sebuah karya memiliki peranan yang penting, karena judul adalah jendela pertama bagi pembaca untuk memahami isi dan makna sebuah karya. Oleh karena itu, penjelasan yang lebih mendalam tentang pemilihan judul ini akan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang keseluruhan pesan dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karyanya.

Keseluruhan, pengalaman membaca buku Persona sungguh memikat hati saya. Meskipun terdapat beberapa kekurangan di sana-sini, tak dapat disangkal bahwa buku ini meninggalkan kesan mendalam dan banyak pelajaran berharga yang dapat saya petik dari cerita ini. Menariknya, saya baru menyadari bahwa Represi adalah karya terbaru dari Fakhrisina Amalia, sedangkan Persona merupakan karya sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya perkembangan yang signifikan dalam karya-karya Fakhrisina Amalia.

Saya melihat adanya peningkatan yang cukup mencolok dalam kualitas penulisan dan pengembangan cerita dari buku Persona ini hingga buku Represi. Hal ini menunjukkan dedikasi penulis dalam memperbaiki kekurangan dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi dalam menyajikan karya-karya yang menarik. Karena itu, saya tak sabar untuk menantikan karya-karya selanjutnya dari Fakhrisina Amalia, yang saya yakin akan memberikan pengalaman membaca yang tak kalah menarik dan memikat.

Expand filter menu Content Warnings
Katarsis by Anastasia Aemilia

Go to review page

challenging dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Dalam keheningan malam yang menyelimuti tragedi mengerikan, Tara menjadi salah satu saksi hidup dalam kisah pembunuhan yang mengoyak hati. Seluruh keluarganya tewas dalam pembunuhan sadis, dan ketika polisi berusaha mengungkap tabir misteri ini, Tara—yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan di kotak perkakas kayu—menjadi kunci dari puzzle kelam ini. Dengan bantuan Alfons, sang psikiater, mereka memulai perjalanan di lorong-lorong gelap ingatan Tara yang dipenuhi oleh trauma berat. Korban demi korban semakin berjatuhan, dan kematian demi kematian meninggalkan tanda tanya yang semakin banyak. Apakah misteri kematian yang menyelimuti keluarga Tara akan terungkap, ataukah akan terus menjadi teka-teki yang menggantung di udara? 
 
Buku Katarsis karya Anastasia Aemilia membuka jendela ceritanya dengan kepiawaian yang luar biasa, secara langsung memasukkan pembaca ke dalam atmosfer misteri yang memikat. Pembukaan yang apik berhasil menciptakan rasa ingin tahu yang menggelora, memicu pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu rumah sebagai pusat cerita ini. 
 
Narasinya yang tajam dan gamblang memberikan dampak yang kuat, menyuguhkan kesadisan dan kebrutalan yang langsung terpampang di halaman-halaman awal. Sentuhan autentisitas pada novel ini memberikan kesan mendalam, terutama bagi saya yang merupakan penggemar genre psychological thriller. Saya merasa sangat antusias dan berharap akan mendapatkan pengalaman membaca yang mendalam. 
 
Sayangnya, ketika saya terus membenamkan diri dalam alur cerita, ketidaksempurnaan mulai tampak dengan adanya jalan cerita yang bolong di berbagai bagian, menciptakan kesan hampa bagi pembaca. Meskipun pembukaan cerita dan perkembangan di awal buku sungguh memikat, namun dari pertengahan hingga akhir, kesan yang terbangun mulai kehilangan momentum. Bahkan, di bagian akhirnya, saya merasakan kekecewaan yang cukup mendalam. Meskipun saya memahami niat penulis untuk memberikan kejutan kepada pembaca, eksekusi ide tersebut kurang memuaskan bagi saya, seolah ada kehilangan konsistensi dan detail yang membuat novel ini kurang memuaskan di bagian akhirnya. 
 
Di samping itu, meskipun penulis berhasil memasukkan sejumlah karakter ke dalam jalinan cerita, saya merasa bahwa hanya tokoh utama, Tara Johandi, yang berhasil meninggalkan kesan mendalam dalam diri saya. Banyak karakter lain mungkin sekadar menyelip dalam latar belakang tanpa memberikan kesan yang cukup kuat. Harapan saya pada awalnya adalah penulis akan memberikan kedalaman dan kekhasan kepada setiap karakter, namun sayangnya, pengembangan karakter ini kurang terasa. 
 
Penulis tampaknya menghadapi tantangan dalam mengundang pembaca untuk terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan menebak-menebak di dalam ceritanya. Dalam genre psychological thriller, seni membangun ketegangan dan memancing rasa ingin tahu pembaca adalah elemen kunci yang dapat membuat pengalaman membaca semakin memikat. Sayangnya, dalam novel ini, pengarang tidak berhasil menciptakan suasana yang memicu rasa ingin tahu pembaca atau menyuguhkan teka-teki yang memikat. 
 
Genre psychological thriller sering kali mengandalkan jalan cerita yang penuh intrik, karakter kompleks, dan pengembangan misteri yang mendalam. Namun, kesan membosankan dalam novel ini mungkin disebabkan oleh cara penceritaan yang kurang menggugah imajinasi pembaca. Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk merancang alur cerita yang dapat membangun ketegangan secara bertahap, memberikan petunjuk yang menantang pembaca untuk berpikir, dan mengejutkan dengan kejutan yang tak terduga. Penulis dapat mempertimbangkan untuk lebih berfokus pada elemen psikologis karakter, mengeksplorasi lebih dalam konflik internal, atau menghadirkan elemen misteri yang lebih kompleks. Dengan meningkatkan daya tarik pembaca dan memperkaya cerita, novel psychological thriller ini dapat mencapai potensinya yang sebenarnya. 
 
Saya juga ingin menyampaikan satu hal yang tidak bisa dilewatkan, yaitu kecemerlangan dalam pemilihan gambar sampul buku ini. Desain yang dipilih begitu menarik, unik, dan sederhana, namun mampu menciptakan daya tarik visual yang luar biasa, bahkan mengundang rasa ketegangan yang mendalam. Penggunaan berbagai warna merah yang intens, diselipkan dengan sentuhan putih, menjadikan sampul buku Katarsis benar-benar mencolok dan menonjol di rak buku. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Staven Andersen yang bertanggung jawab atas desain dan ilustrasi sampul ini. Sampul buku yang menakjubkan ini, tanpa diragukan, menjadi salah satu daya tarik pertama yang mengundang pembaca untuk menjelajahi isi cerita di dalamnya. 
 
Meskipun terdapat beberapa kekurangan yang mencuat sepanjang perjalanan membaca, saya tak bisa menyangkal bahwa buku Katarsis karya Anastasia Aemilia memang mampu menciptakan daya tarik yang sulit untuk dilewatkan. Sensasi page-turner begitu terasa, di mana rasa ingin tahu akan akhir cerita membawa saya untuk terus membalik halaman secepat mungkin. Walaupun demikian, sebagai sebuah karya dengan genre psychological thriller, eksekusi keseluruhan buku ini masih terasa kurang memuaskan, meski memiliki potensi ide yang sangat menjanjikan. Saya yakin, dengan sentuhan penulisan yang lebih matang dan fokus yang lebih tajam terhadap pengembangan karakter serta alur cerita, buku ini bisa mencapai potensinya secara penuh. Kesimpulannya, Katarsis memberikan pengalaman membaca yang menghadirkan ketegangan, meskipun terdapat sejumlah aspek yang bisa diperbaiki untuk mencapai kesempurnaan dalam menjelajahi psychological thriller yang kompleks. 

Expand filter menu Content Warnings