wien's reviews
43 reviews

Heartbreak Motel by Ika Natassa

Go to review page

3.0

Sama dengan beberapa pembaca lainnya, aku terkecoh oleh bab awal yang disajikan buku ini.

Aku sempat mau ngetwit kalau buku ini mengandung trigger warnings, tapi aku urungkan setelah bab awal itu aku selesai lewati. Rasanya kayak kegocek sekegocek-goceknya. Kudos.

Aku nggak terlalu suka baca sinopsis sih, jadi nggak menaruh rekaan-rekaan cerita apapun atau tebakan apapun ketika membacanya.

Aku suka suatu cerita yang menampilkan isi pikiran karakter. Heartbreak Motel ini punya Ava yang bisa aku liat isi pikirannya. Hence, I like it.

Tapi, banyak tapinya.

Aku kadang merasa Ava ini kayak.... terlalu preachy. Seingatku ia kadang nampilin isi pikiran yang menggambarkan pandangan dia atas sesuatu, aku bisa terima ini dan aku bisa suka sama bagian ini. Tapi, aku rasa dia lebih banyak ngabisin waktu untuk ceramah tentang apa yang dia tahu. Beberapa dialog aku skip.

Aku jadi bisa menilai kalau Ava itu memang punya banyak pengetahuan. Tapi, punya banyak pengetahuan nggak menjadikan kita cerdas kalau udah berurusan sama cinta.

Aku gemes banget sama konflik yang mendasari cerita Ava dengan Raga. Gemeeeeees banget kok bisa Ava kayak gitu? Tapi mungkin karena trauma yang Ava miliki terlalu besar. Mungkin karena emang bener jatuh cinta itu bikin otak kebajak. Si Raga juga... 37 tahun usiamu tapi luar biasa banget bisa ngikutin permainan dalam hubungan kalian selama 2 tahun. Eh betul kan, dua tahun? Jujur aku sebetulnya punya secuil harapan Ava bisa mikir lebih jernih karena aku rasa dia bisa. Dia ngerti banyak hal. Tapi nggak apa-apa, ujungnya mereka tetap bahagia kok.

Semales-malesnya sama Reza Malik, aku lebih bisa menikmati konflik Ava dengan Reza dibandingkan dengan Raga. Aku lebih bisa merasakan gimana rumitnya mereka berdua. Aku bisa lebih merasakan dinamika yang terjadi antardua karakter ini.

Ada satu lagi konflik, tapi sepertinya kurang diolah dengan lebih kompleks. Jadinya hambar.

Overall, aku rasa ini oke jika pingin menikmati pergulatan karakter dengan kehidupan dia. Cerita yang fokus sama isi pikiran dia. Cuman ya gitu, banyak hal minor yang akhirnya jadi 'risk'.
Perempuan di Titik Nol by Moh. Amir Sutaarga, Nawal El Saadawi

Go to review page

4.0

Buku ini menggugat rasa empati saya. Saya merasa begitu kecil dibandingkan dengan sosok Firdaus yang telah melewati pengalaman hidup pahit sebagai seorang perempuan. Mungkin orang akan marah ketika menelusuri perjalanan alur di awal. Marah kepada dunia yang ditintakan oleh Nawal. Tapi, Firdaus dibiarkan untuk sadar dengan sendirinya menggunakan akal dan pikiran yang sudah ada padanya.

Bagi saya, buku ini adalah tentang perjalanan meraih kesadaran akan kemerdekaan diri. Kemudian bagaimana upaya atas mempertahankan kemerdekaan itu. Walau pada ujungnya, dunia penuh kebohongan yang dituliskan Nawal tak memberi balasan yang setimpal atas perjuangan Firdaus memperoleh kemerdekaan dirinya.

Saya meraba-raba mengapa tokoh perempuan sentral dalam buku ini adalah Firdaus. Mungkin di sanalah memang tempat sebaik-baik dirinya berada, bagi yang percaya.
Almond by Won-pyung Sohn

Go to review page

4.0

Buku ini seperti berada di tapal batas antara debat melelahkan nature vs nurture. Dalam buku ini, faktor genetik (nature) maupun pengalaman/lingkungan (nurture) sama-sama memiliki porsi dalam pembentukan seorang manusia. Yun-jae adalah perwujudan terbesarnya. Secara nature, ia tidak memiliki privilege genetik yang sama dengan orang lain. Ukuran amigdala dalam kepalanya cenderung lebih kecil. Akibatnya, berlainan dengan manusia pada umumnya, ia tak mampu merasakan sakit atau takut serta tak mampu mengekspresikan perasaannya. Buat saya, Yun-jae adalah manifestasi fiktif dari sosok-sosok yang sering dipinggirkan lantaran dianggap aneh. Padahal, perbedaan yang menyebabkan pegucilan itu bisa jadi berasal dari modal genetik yang mustahil diutak-atik di awal.

Namun, apakah kondisi nature ini kemudian mendikte kehidupan Yun-jae secara keseluruhan?

Tentu saja kita tahu, tidak. Yun-jae beruntung memiliki privilege dalam bentuk lain. Ia berada di tengah keluarga yang menyayanginya. Ibu Yun-jae gigih membantu anaknya untuk mempelajari cara beremosi. Sekilas mungkin jadi terlihat sang ibu tidak menerima Yun-jae sebagaimana adanya, tapi justru ini bisa dilihat sebagai suatu perlawanan terhadap gagasan bahwa manusia hanya terbentuk dari faktor genetik yang dibawa. Lewat usaha yang dilakukan sang ibunya, ia meyakini Yun-jae mampu belajar.

Dari situ, lambat laun semakin terlihat bahwa Yun-jae bukanlah sosok yang kita kira. Orang seperti Yun-jae sering disalahpami sebagai karakter yang tidak akan bisa beremosi. Dia dianggap monster. Namun, berbeda dengan apa yang terlihat, Yun-jae justru tumbuh menjadi karakter yang memiliki rasa penasaran tanpa batas dan mampu memahami emosi manusia lain. Ia berkembang menjadi karakter yang memiliki kadar empati paling tinggi. Yang lebih menakjubkan lagi, dari pemahaman inilah Yun-jae mampu mengambil keputusan.

Ini berbeda dengan penggambaran orang-orang "normal" yang sekilas digambarkan dalam buku. Mereka dapat diasumsikan memiliki kemampuan emosional yang lebih mudah dipicu. Mereka dapat dengan mudah merasakan kasihan, akan tetapi simpati ini tidak cukup untuk membuat mereka mampu mengambil keputusan layaknya Yun-jae.

Secara umum, buku ini adalah tentang pencarian diri, pencarian jawaban, dan upaya tentang memahami manusia lain. Saya sangat mengapresiasi tema besar ini karena saya merasa hidup di tengah dunia yang menjauh dari upaya saling memahami. Hal lain yang saya apresiasi dengan setara adalah bagaimana buku ini menunjukkan bahwa kondisi biologis yang tampak memberi seseorang batasan bukan berarti menjadi hal mutlak yang tak bisa diubah. Kita mampu belajar.

Buku ini akan menjadi salah satu bacaan favorit saya tahun ini. Namun, saya hanya memberikan empat bintang karena ada faktor teknis yang belum mencapai penilaian sempurna seperti gaya bahasa (saya membaca terjemahan Bahasa Inggris) dan penyelesaian akhir yang tergesa.
The Red-Haired Woman by Orhan Pamuk

Go to review page

4.0

Buku ini adalah karya Orhan Pamuk pertama yang saya baca. Saya langsung terbawa ke dalam cerita yang pada intinya menceritakan tentang mitos yang berulang. Atau mungkin sebenarnya buku ini coba mengungkap bahwa mitos itu adalah wujud dari kenyataan?

Yang unik, meski poros cerita adalah hubungan seorang laki-laki dengan ayah dan sosok ayahnya, judul buku ini jauh dari sinyal itu. Porsi penceritaan tentang perempuannya pun minim. Meski kelihatan demikian, saya menyukai penggambaran wanita dalam buku ini terutama si wanita berambut merah. Ia digambarkan kuat dan memiliki pendirian. Dalam beberapa bagian mungkin kita akan menangkap kesan male-gaze. Akan tetapi, saya bisa mengabaikan sudut pandang tersebut dan lebih fokus terhadap atribusi hebat yang dimilikinya.

Nah, bagian akhir mengungkap peran wanita berambut merah sesungguhnya. Bagi saya, ia adalah penggerak utama dari cerita ini. Mungkin ini yang menjadi alasan buku ini memiliki judul sedemikian rupa.