Scan barcode
imandanial's review against another edition
4.0
Officially a fan of Shimaki Kensaku and Kobo Abe. I am really glad to know that there is many more excellent writer in Japan that I yet to know.
nmcannon's review
emotional
slow-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.0
After enjoying Ningen Shikkau, I picked up A Late Chrysanthemum as part of my search for any and all of Dazai Osamu-san’s work. The New York Times recently ran an article (https://www.nytimes.com/2023/03/05/books/review/osamu-dazai-tiktok.html) about how Dazai-san’s work is seeing an uptick in popularity because of the manga Bungo Stray Dogs. Allow me reassure you that the article is 100% correct. While online encyclopedia entries remark that Dazai-san’s fictions are an extreme niche interest outside of Japan, I must fight tooth-and-nail to get anything by him from the library. No Longer Human has twelve holds on it. A Late Chrysanthemum has four of his realistic short stories: “Memories,” “A Golden Picture,” “A Garden Lantern,” and “Chiyojo.”
Lane Dunlop doesn’t introduce this story collection well or have good biographies of the authors. It was odd to read praise on how diverse this collection’s selection is. Today, “diverse” indicates that the authors come from a variety of ethnic backgrounds and/or are gender minorities. In the 1980s, “diverse” means non-white, as far as I can tell. All the stories are by cishet Japanese men from the same era. How far society has come; how far we have to go in dismantling white supremacy.
Because of my low tolerance for short stories (a severe character flaw, I know), I restricted myself to reading only Dazai-san’s stories. “Memories” is an account of Dazai-san’s childhood and adolescence. Elsewhere I’d read that crafting “Memories” sparked Dazai-san’s love of writing, so I felt especially lucky to read it. His reminisces are endearing and a little heartbreaking. Of the four fictions, this one was my favorite.
“A Golden Picture” is about a grown man who is unexpectedly reunited with his childhood maid/nanny, O-kei. Now happily married, O-kei visits him in his bachelor pad and reminisces about his little kid antics and pranks, praising him a good boy. Hearing her enduring love for him, the man is ashamed of how bad he treated O-kei, and he resolves to live better. The narrator’s resolution was a pretty positive note to end on—from my understanding, many of Dazai-san’s protagonists are pathetic wet cat of men, who refuse to change.
In “A Garden Lantern,” good girl Sakiko recounts what led to her arrest and societal fall from grace. She fell in love with Mizuno, a student who loves to put on airs bigger than his bank account. She was dazzled by his wit and slumming-it sophisticated ways. All was well until Mizuno’s school announced an upcoming field trip to the beach. Ashamed of not owning swim trunks, Mizuno publicly said he wasn’t going and privately complained to Sakiko. She’s not made of money either, but she wants the best for Mizuno, so…she tried to shoplift swim trunks. It didn’t go well. Her reputation is ruined, and worse, Mizuno dumps her to save his reputation. What would be an ordinary story of a “good girl falls for bad boy” is quietly remarkable in Dazai-san’s hands. The ordinariness is part of the story’s remarkability. Mizuno doesn’t have smoldering good looks, a leather jacket, a motorcycle, or tragic backstory to justify his actions. He’s just a jerk. Secondly, the plot is circular: the story begins and ends with Sakiko in a jail cell, bemoaning her fate. There’s no dramatic irony or “if I had known.” She is where she is, and she was always going to end up there if she pursued this asshole.
The last story, “Chiyojo” hit close to home, as it dwelled on a young writer. In her teens, Kazuko displays remarkable writing talent. Her mother and uncle constantly badger her to practice her writing and publish her work. Being a teen, Kazuko has little interest in a career, preferring to spend her free time with friends. Understandable. Later in life, Kazuko tries her hand at writing again…but feels like her talent has disappeared and what little remains is unremarkable. I’ve honestly never seen a short story so eloquently expose the burden of expectation placed on teenagers before. When I was a teen, there was a huge pressure to mine oneself for commodifiable skills and perform them now now now. I wasn’t super talented like Kazuko, but I vividly remember fretting that I wasn’t any good.
While A Late Chrysanthemum didn’t make me gush, I enjoyed Dazai-san’s writings. They tickled my intellect, if not my heart. I’m eager for more.
febrfebrfebr's review against another edition
3.0
Buku ini adalah antologi cerpen dari tujuh pengarang sastra Jepang klasik, yaitu Shiga Naoya, Ozaki Shiro, Yasunari Kawabata, Shimaki Kensaku, Hayashi Fumiko, Osamu Dazai dan Kobo Abe. Dari sini, pembaca diperkenalkan kepada gaya masing-masing pengarang yang bisa jadi khas.
Shiga Naoya memotret perasaan-perasaan tersembunyi tokoh-tokoh utamanya di tengah suatu episode hidup. Ada juga cerpen yang memotret kecerobohan akibat kesabaran yang dibuyarkan oleh penyakit.
Cerpen-cerpen Ozaki Shiro memiliki kecenderungan mengasosiasikan fenomena dalam kehidupan manusia dengan fenomena yang terjadi dalam hubungannya dengan dunia hewan atau alam.
Cerpen-cerpen Yasunari Kawabata memotret adegan-adegan sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Cerpen yang dimuat dalam antologi ini termasuk bagian dari Cerita-Cerita Telapak Tangan.
Cerpen-cerpen Shimaki Kensaku lebih merupakan catatan pribadinya selama memulihkan diri dari sebuah penyakit. Penulis terutama mengamati perilaku hewan. Salah satu cerpennya mengangkat pengamatan terhadap satu jenis hewan yang paling kubenci, yaitu kel***** (aku bahkan tidak ingin menulis namanya). Untungnya, cerpen itu hanya terdiri dari lima halaman.
A Late Chrysanthemum sendiri merupakan cerpen karya Hayashi Fumiko yang bercerita tentang seorang geisha yang terus mendamba belaian pria di usianya yang menua. Ia mengenang beberapa pria yang pernah terlibat dengannya, terutama seseorang yang vitalitasnya tak terlupakan. Cerpen ini terdiri dari paragraf-paragraf sangat panjang yang memuat dialog-dialog dengan padat. Cerpen ini adalah satu-satunya cerpen Hayashi Fumiko, satu-satunya pengarang perempuan dalam antologi ini.
Sebagian cerpen-cerpen Osamu Dazai adalah catatan kenangan masa kecil yang tidak bahagia-bahagia amat. Sebagian lainnya adalah cerpen-cerpen dengan tokoh utama perempuan. "Chiyojo" adalah satu dari dua cerpen yang paling berkesan bagiku dalam antologi ini. Chiyojo bercerita tentang seorang gadis yang karangannya dua kali dimuat dalam sebuah majalah sastra. Karangan-karangannya mengundang apresiasi yang sangat luas dari berbagai pihak, sehingga gadis itu dianggap anak berbakat sastra yang menjanjikan. Meskipun demikian, ia merasa karangan itu biasa-biasa saja. Ia pun tidak memiliki keinginan untuk serius menulis. Ia hanya ingin hidup yang biasa-biasa saja dalam ranah domestik. Bisa dibilang, aku memahami sentimennya yang pernah kurasakan pada sekitar masa aku baru lulus kuliah.
Cerpen-cerpen Kobo Abe memiliki gaya surealis yang kontras dengan cerpen-cerpen lainnya dalam antologi ini. Aku paling suka "The Flood", cerpen yang memotret kekacauan ketika semua orang miskin dan termarjinalkan mencair dengan karakteristik cairan yang liar nakal brutal membuat semua orang jadi gempar. Cerpen lainnya, "The Red Cocoon" dan "The Stick" adalah kombinasi kesuraman dan komedi tragis yang juga absurd. Aku paling terkesan dengan penulis ini dan berharap bisa membaca karya-karyanya lagi kelak.
Buku ini memiliki ukuran huruf yang kecil dan spasi yang cukup rapat, sehingga agak sulit dibaca. Beberapa cerpen memiliki paragraf-paragraf panjang, sebagian membentang hingga dua halaman lebih. Bersama format yang demikian, membaca buku ini membutuhkan konsentrasi yang cukup ekstra.
Shiga Naoya memotret perasaan-perasaan tersembunyi tokoh-tokoh utamanya di tengah suatu episode hidup. Ada juga cerpen yang memotret kecerobohan akibat kesabaran yang dibuyarkan oleh penyakit.
Cerpen-cerpen Ozaki Shiro memiliki kecenderungan mengasosiasikan fenomena dalam kehidupan manusia dengan fenomena yang terjadi dalam hubungannya dengan dunia hewan atau alam.
Cerpen-cerpen Yasunari Kawabata memotret adegan-adegan sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Cerpen yang dimuat dalam antologi ini termasuk bagian dari Cerita-Cerita Telapak Tangan.
Cerpen-cerpen Shimaki Kensaku lebih merupakan catatan pribadinya selama memulihkan diri dari sebuah penyakit. Penulis terutama mengamati perilaku hewan. Salah satu cerpennya mengangkat pengamatan terhadap satu jenis hewan yang paling kubenci, yaitu kel***** (aku bahkan tidak ingin menulis namanya). Untungnya, cerpen itu hanya terdiri dari lima halaman.
A Late Chrysanthemum sendiri merupakan cerpen karya Hayashi Fumiko yang bercerita tentang seorang geisha yang terus mendamba belaian pria di usianya yang menua. Ia mengenang beberapa pria yang pernah terlibat dengannya, terutama seseorang yang vitalitasnya tak terlupakan. Cerpen ini terdiri dari paragraf-paragraf sangat panjang yang memuat dialog-dialog dengan padat. Cerpen ini adalah satu-satunya cerpen Hayashi Fumiko, satu-satunya pengarang perempuan dalam antologi ini.
Sebagian cerpen-cerpen Osamu Dazai adalah catatan kenangan masa kecil yang tidak bahagia-bahagia amat. Sebagian lainnya adalah cerpen-cerpen dengan tokoh utama perempuan. "Chiyojo" adalah satu dari dua cerpen yang paling berkesan bagiku dalam antologi ini. Chiyojo bercerita tentang seorang gadis yang karangannya dua kali dimuat dalam sebuah majalah sastra. Karangan-karangannya mengundang apresiasi yang sangat luas dari berbagai pihak, sehingga gadis itu dianggap anak berbakat sastra yang menjanjikan. Meskipun demikian, ia merasa karangan itu biasa-biasa saja. Ia pun tidak memiliki keinginan untuk serius menulis. Ia hanya ingin hidup yang biasa-biasa saja dalam ranah domestik. Bisa dibilang, aku memahami sentimennya yang pernah kurasakan pada sekitar masa aku baru lulus kuliah.
Cerpen-cerpen Kobo Abe memiliki gaya surealis yang kontras dengan cerpen-cerpen lainnya dalam antologi ini. Aku paling suka "The Flood", cerpen yang memotret kekacauan ketika semua orang miskin dan termarjinalkan mencair dengan karakteristik cairan yang liar nakal brutal membuat semua orang jadi gempar. Cerpen lainnya, "The Red Cocoon" dan "The Stick" adalah kombinasi kesuraman dan komedi tragis yang juga absurd. Aku paling terkesan dengan penulis ini dan berharap bisa membaca karya-karyanya lagi kelak.
Buku ini memiliki ukuran huruf yang kecil dan spasi yang cukup rapat, sehingga agak sulit dibaca. Beberapa cerpen memiliki paragraf-paragraf panjang, sebagian membentang hingga dua halaman lebih. Bersama format yang demikian, membaca buku ini membutuhkan konsentrasi yang cukup ekstra.
More...