Take a photo of a barcode or cover
challenging
dark
emotional
informative
reflective
sad
fast-paced
Mata dibayar mata. Begitulah kira-kira salah satu hukum dasar dari masyarakat adat. Di mana pembalasan dendam atas kejahatan kehormatan adalah hal yang wajar dan diperbolehkan. Yang menjadi masalah adalah bahwa satu mata dapat dibalas dengan dua atau bahkan lebih mata.
Mukhtar Mai, sebagai anak perempuan tertua dan wanita terhormat (karena mengajar Al Quran), dibujuk untuk meminta pengampunan dari klan Mastoi atas tuduhan yang dijatuhkan pada adiknya yang masih berusia 12 tahun. Tuduhan tak konsisten itu mulanya hanya sebatas pencurian tebu, tapi kemudian bergulir menjadi perayuan seorang wanita Mastoi, hingga pemerkosaan. Saran dari pemimpin desa yang merupakan salah satu anggota dewan adat tidak didengar, dan anggota lain (yang kebanyakan adalah klan Mastoi) merencanakan pemerkosaan massal sebagai hukuman. Lucu memang, di saat pemerkosaan dan zina adalah perbuatan terlarang dan patut dihukum, hukuman berupa pemerkosaan tidak dianggap sebagai kejahatan. Dan wanita, sebagai makhluk 'nomor 2', yang tugasnya hanya melayani suami dan keluarga tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, selalu menjadi pelampiasan, objek pembalasan dendam dan penjatuhan hukuman.
Kasus Mukhtar Mai hanyalah satu bagian kecil dari pelanggaran HAM oleh masyarakat patriarki. Kasus yang apabila tidak terendus media, tidak akan pernah sampai ke ranah internasional. Dan korbannya tidak akan pernah mengetahui hak-haknya. Bahwa kejahatan itu adalah salah, bahwa mereka tidak sepatutnya merasa bersalah atas kejahatan yang dilakukan orang lain.
Dalam kasus-kasus semacam ini, korban dengan mudahnya berubah menjadi pihak yang bersalah atas 'kebohongannya' dan 'keikutsertaannya' dalam tindakan bejat tersebut. Masyarakat, dengan sindiran dan ancamannya, mendorong korban untuk mengakhiri hidupnya karena tekanan dan rasa malu. Melaporkan kasus hanya akan menambah daftar ancaman balas dendam. Toh, mereka tidak bisa membaca. Dan polisi, yang kebanyakan tidak berdaya dengan kekuatan dewan adat, hanya akan menyuruh korban membubuhkan cap jempol di atas kertas kosong. Segala kisah mereka berubah menjadi kata-kata polisi. Sehingga ketika kasus dibawa ke pengadilan, korban akan disudutkan dengan inkonsistensian laporan, yang menyebabkannya dicap sebagai pembohong. Ketika korban hidup dalam ketakutan, para pelaku tidak merasa resah sedikit pun, karena mereka yakin akan dibebaskan.
Keadilan dalam hukum sepertinya masih menjadi tanda tanya besar bagi kemanusiaan. Masih saja ada orang-orang apatis yang memutarbalikkan fakta dengan teori-teori tak berperikemanusiaan mereka.
Pendidikan itu penting bagi perempuan. Bukan untuk mengadu dan mengalahkan lelaki. Karena setara tidak berarti sama. Tapi banyak dari masyarakat patriarki yang menganggap pendidikan untuk anak perempuan itu tidak penting. Apakah sebenarnya mereka takut akan kekuatan perempuan? Kekuatan perempuan yang menolak untuk diam?
Mukhtar Mai, sebagai anak perempuan tertua dan wanita terhormat (karena mengajar Al Quran), dibujuk untuk meminta pengampunan dari klan Mastoi atas tuduhan yang dijatuhkan pada adiknya yang masih berusia 12 tahun. Tuduhan tak konsisten itu mulanya hanya sebatas pencurian tebu, tapi kemudian bergulir menjadi perayuan seorang wanita Mastoi, hingga pemerkosaan. Saran dari pemimpin desa yang merupakan salah satu anggota dewan adat tidak didengar, dan anggota lain (yang kebanyakan adalah klan Mastoi) merencanakan pemerkosaan massal sebagai hukuman. Lucu memang, di saat pemerkosaan dan zina adalah perbuatan terlarang dan patut dihukum, hukuman berupa pemerkosaan tidak dianggap sebagai kejahatan. Dan wanita, sebagai makhluk 'nomor 2', yang tugasnya hanya melayani suami dan keluarga tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, selalu menjadi pelampiasan, objek pembalasan dendam dan penjatuhan hukuman.
Kasus Mukhtar Mai hanyalah satu bagian kecil dari pelanggaran HAM oleh masyarakat patriarki. Kasus yang apabila tidak terendus media, tidak akan pernah sampai ke ranah internasional. Dan korbannya tidak akan pernah mengetahui hak-haknya. Bahwa kejahatan itu adalah salah, bahwa mereka tidak sepatutnya merasa bersalah atas kejahatan yang dilakukan orang lain.
Dalam kasus-kasus semacam ini, korban dengan mudahnya berubah menjadi pihak yang bersalah atas 'kebohongannya' dan 'keikutsertaannya' dalam tindakan bejat tersebut. Masyarakat, dengan sindiran dan ancamannya, mendorong korban untuk mengakhiri hidupnya karena tekanan dan rasa malu. Melaporkan kasus hanya akan menambah daftar ancaman balas dendam. Toh, mereka tidak bisa membaca. Dan polisi, yang kebanyakan tidak berdaya dengan kekuatan dewan adat, hanya akan menyuruh korban membubuhkan cap jempol di atas kertas kosong. Segala kisah mereka berubah menjadi kata-kata polisi. Sehingga ketika kasus dibawa ke pengadilan, korban akan disudutkan dengan inkonsistensian laporan, yang menyebabkannya dicap sebagai pembohong. Ketika korban hidup dalam ketakutan, para pelaku tidak merasa resah sedikit pun, karena mereka yakin akan dibebaskan.
Keadilan dalam hukum sepertinya masih menjadi tanda tanya besar bagi kemanusiaan. Masih saja ada orang-orang apatis yang memutarbalikkan fakta dengan teori-teori tak berperikemanusiaan mereka.
Pendidikan itu penting bagi perempuan. Bukan untuk mengadu dan mengalahkan lelaki. Karena setara tidak berarti sama. Tapi banyak dari masyarakat patriarki yang menganggap pendidikan untuk anak perempuan itu tidak penting. Apakah sebenarnya mereka takut akan kekuatan perempuan? Kekuatan perempuan yang menolak untuk diam?
This is such a heartbreaking book and is really interesting all at once
In the Name of Honor by Mukhtar Mai is an incredibly powerful, and extremely important memoir that tells of her fight for justice. Mukhtar Mai is from a remote village in Pakistan, who was "sentenced" to be gang-raped by the tribal council of her village, to pay for a crime her 12-year-old brother did not even commit. However, she does not dwell on the injustice committed against her, but instead focuses on her fight for justice and dignity. Instead of committing suicide, as was expected of her, she fought back, and with the settlement she received, went on to open schools in her village and nearby area, to fight against the illiteracy of girls and help other young women to fight back against injustice and inhumane treatment. This is such an important book, and I greatly encourage everyone to read it, it is easy to read, but so powerful and thought provoking.
While the story is compelling and important, this book felt like it should have been a webpage somewhere. There were no particularly new details from what was reported in the international news and the writing was choppy.
challenging
dark
emotional
informative
inspiring
medium-paced
Mukhtar Mai is inspirational. In the Name of Honour did not leave me feeling saddened. The way I thought it would. Reading about gang rape is never easy. Mukhtar lives in a small village. She cannot read or write. That fact led to an official trying to take advantage of her after she is violated. She is gang raped as the result of a clan decision. Her younger brother allegedly committed a crime and, she is to be punished for it. As the book progresses, Mukhtar grows angry and seeks justice. In Pakistan, women's rights are basically nonexistent. But she doesn't give up. In the end, she is able to open a school. We learn very little about her childhood (I would have liked to read a little bit more about it) and, her short lived marriage. As a divorced woman, she is not really considered "respectable". The book mentions the fact that while in custody her brother was raped as well. There are other stories, of women that came to Mukhtar after her case got world wide attention. Too many. But hopefully Mukhtar's story has already saved a woman from going through what she did.
So I had not heard of Mukhtar Mai before. And according to this book I should have. It is definitely an impressing and shocking story she tells, and she is a very inspirational character. HOWEVER, I do not think that I will remember her story in a decade or so. Which is sad, because the world has desensitized me so much...
challenging
emotional
hopeful
informative
inspiring
reflective
sad
fast-paced
Eine unfassbare starke Frau!
Mukhtar erlebt, dass was man sich als Frau und Mensch niemals erwünscht - dass bei einem schweren Verbrechen an Menschlichkeit weggeschaut wird. Zerbrochen und gestürzt will sie nichts mehr ertragen wollen und überlegt, wie sie in dieser Welt mit dieser Tat noch weiterverbringen kann. Doch ihre Familie steht hinter hier! Sie widersetzt sich den korrupten Polizisten und dem Staat und versucht ihre Gerechtigkeit einzufordern. Dabei ermöglicht Sie, dass in Ihrem Heimatstadt eine Schule für Mädchen und Jungen gebaut wird, damit die Mädchen früh genug ihre Rechte kennen und sie wissen, was ihnen an Menschlichkeit zusteht. Der Weg durch ihr Leben und dem Prozess ist jedoch ein langer und harter Kampf.
An diesem Beispiel merkt man, dass ohne Journalismus und internationaler Solidarität, der Fall niemals soweit gegekommen wäre. Die Regierung und Polizisten sind wegen dem nationalen und internationalen Druck gezwungen worden den Fall wie einem "wirklichen Fall" zu betrachten ohne jegliche Korruption oder Machthabern. Auch dass das Kastensystem in Pakistan immernoch eine große Rolle spielt, zeigt dieser Fall. In dem Buch werden auch weitere Beispiele von Frauen berichtet, die Mukhtar Mai begleitet und zeigt aufs Neue wie viel Verbrechen an Frauen verübt wird und die Taten von den Tätern totgeschwiegen wird. Eine enorm starke und tolle Frau!
Mukhtar erlebt, dass was man sich als Frau und Mensch niemals erwünscht - dass bei einem schweren Verbrechen an Menschlichkeit weggeschaut wird. Zerbrochen und gestürzt will sie nichts mehr ertragen wollen und überlegt, wie sie in dieser Welt mit dieser Tat noch weiterverbringen kann. Doch ihre Familie steht hinter hier! Sie widersetzt sich den korrupten Polizisten und dem Staat und versucht ihre Gerechtigkeit einzufordern. Dabei ermöglicht Sie, dass in Ihrem Heimatstadt eine Schule für Mädchen und Jungen gebaut wird, damit die Mädchen früh genug ihre Rechte kennen und sie wissen, was ihnen an Menschlichkeit zusteht. Der Weg durch ihr Leben und dem Prozess ist jedoch ein langer und harter Kampf.
An diesem Beispiel merkt man, dass ohne Journalismus und internationaler Solidarität, der Fall niemals soweit gegekommen wäre. Die Regierung und Polizisten sind wegen dem nationalen und internationalen Druck gezwungen worden den Fall wie einem "wirklichen Fall" zu betrachten ohne jegliche Korruption oder Machthabern. Auch dass das Kastensystem in Pakistan immernoch eine große Rolle spielt, zeigt dieser Fall. In dem Buch werden auch weitere Beispiele von Frauen berichtet, die Mukhtar Mai begleitet und zeigt aufs Neue wie viel Verbrechen an Frauen verübt wird und die Taten von den Tätern totgeschwiegen wird. Eine enorm starke und tolle Frau!
How shallow I am to think that as a muslim we shouldn't practised a caste system at all. We are all equal before God and only good deeds that we did will be our salvation. At least, that's what I've been taught by my religion. Reading this book makes me wonder how can the area where Mukhtar Mai came from still practiced their barbaric custom and caste while Islam insisted no superiority whatsoever in his people. Everybody is equal regardless of race, skin color , status and so on. This just baffled me. I cried reading this book knowing that many women faced the same fate as Mukhtar Mai only they were condemned to commit suicide and end their life. Mukhtar may led a revolutionary to end violence against women but the fight is just the beginning. I was grateful seeing that now Mukhtar has a friend that she can share with and she kept fighting to make sure the girls from her village to be educated. This book in its own simplicity taught me one lesson which is fight with all your might. Mukhtar Mai showed me exactly that. She is indeed a hero that i can look up to.