You need to sign in or sign up before continuing.

3.74 AVERAGE


Un piccolo saggio che ci fa capire quanto la nostra società, che è una società "positiva" e dedita alla performance, ci abbia res* nemic* di noi stess* perché, pur di fare e mostrare che facciamo, cadiamo in depressione e in burnout.

Viviamo in una società dove è imperante l’eccesso di positività, in cui non ci dobbiamo più incontrare e scontrare con l’Altro. Viviamo nell’ipercapitalismo, che mette il capitale sopra ogni cosa. Viviamo convinti che possiamo fare, possiamo fare di più e autorealizzarci: e così ci autocostringiamo a lavorare fino al punto di cadere in depressione o arrivare al burnout; il tutto credendo di essere liberi e quindi senza mai interrogarci su ciò che stiamo facendo e perché.
L’autore propone un antidoto: la PROFANAZIONE di cui parlava Agamben. Dobbiamo profanare le cose “serie” e giocarci. Solo così possiamo uscire dal tempo del lavoro e tornare al tempo della festa; solo così possiamo, forse, cambiare prospettiva.
challenging reflective medium-paced
informative reflective fast-paced

it saddens me a bit to think of how over the years the internet digestion of things has cheapened the ideas from this essay, running with the word/concept of burnout without really engaging with its reality.

While I do think that at times Han traces clear boundaries between disciplinary/achievement societies that aren't really that solid in practice (at least not in my corner of the global south) the way he reads late modernity is incredibly refreshing (and very depressing, funnily enough.)

construiu um pequeno triplex na minha mente

La verdad es que no me he enterado de nada, porque está escrito con un lenguaje muy complejo. Me parece que a la hora de trasladar un mensaje tienes que utilizar un lenguaje claro y entendible para el público.
challenging informative reflective slow-paced
reflective medium-paced

Expand filter menu Content Warnings

Buku tentang manusia era “Achievement society” dimana keberlimpahan, bukan kelangkaan, yang jadi masalah. Dimana motto “tidak-ada-yang-mustahil” adalah amunisinya. Masyarakat era ini berjuang mencari keunikkan diri namun pada saat bersamaan sangat “empati”, mudah dekat, merasa “relatable”. Excess of positivity. Mereka orang-orang aktif - terlebih karena ada banyak hal yang bisa mereka lakukan - sehingga tidak ada waktu untuk berhenti, istirahat, introspeksi, dan sejenisnya.

Pada akhirnya masyarakat ini kelelahan sendiri dengan standar-standar pribadi yang mereka pikir bisa tercapai. Tidak lagi bertanya “Apa ini perlu saya lakukan?” melainkan langsung melompat pada ”Bisakah saya melakukannya?”. Manusia ini adalah versi mutakhir dari manusia era “Disciplinary society” era industrialisme, dimana “Saya harus…” adalah mottonya. Implikasi serius dari "Disciplinary society" adalah sosok Bartleby yang pernah ditulis oleh Herman Melville, dimana tokoh utama dalam cerita tersebut menolak terobjektifikasi menjadi mesin ketik, alih-alih seorang manusia dengan dimensi-dimensi kepribadiannya. Tidak seperti “Achievement society” yang sudah mandiri, “Disciplinary society” ini didisiplinkan oleh norma-norma sosial. Masyarakat “Achievement society” tidak perlu sosok bos dan sejenisnya untuk dieksploitasi seperti pendahulunya, mereka bisa mengeksploitasi diri mereka sendiri atau auto-exploitative. Pokoknya mandiri sekali. Mereka bosnya, mereka juga bawahannya. Menolak norma wajar-wajar saja karena tidak ada hal yang benar-benar tinggi selain berhasil menjadi diri sendiri atau menjadi manusia yang bebas. Kabarnya, sequel dari “Achievement society” ini adalah “Doping society”. Tapi buku ini belum membahas sampai kesana.
challenging