Beranjak dari filmnya yang dirilis di akhir tahun 2024, dengan rasa kepo dengan sequel nya, saya memberanikan diri untuk lanjut ke buku kedua tentang kisah si Robot Liar, Rozzum—Roz.
Pada serial Escapes ini bercerita tentang kelanjutan Roz yang dibeli oleh keluarga Shareef dan diminta mengurusi Pertanian Hiltrop.
Awal mula, saya suudzon dengan si kembar, Jad dan Jaya, karena berpikir mereka justru tetap ingin Roz bersamanya. Namun, situasinya lebih complicated di mana di tengah" usaha melarikan dirinya, Roz justru dihadapi dg situasi dilema antara kembali ke pulau atau menetap di Hiltrop Farm.
Mungkin karena saya seantusias itu saat menonton film pertama, saat membaca dialog Roz dan Brightbill, saya seakan mendengar langsung alih" membaca 😂
Dibuat deg-degan sepanjang cerita saat Roz kembali dikejar The Recho dan bertemu The Maker—jujur, saya kepo dengan tubuh Roz yang baru nanti seperti apa 🤔
Terakhir, saya tersentuh dan mengapresiasi besar untuk perjuangan dan usaha penulis, walau memang terdengar seperti "buku anak-anak" biasa, tapi saya ngga menyangka kalau Mr Brown sampai melakukan penelitian dan belajar banyak ttg hal" yg berkaitan dg robot 🫡👏🏻
Ohya, di akhir cerita juga di-spill beberapa bab dari sequel terakhirnya loh, The Wild Robot: Protects! Makin ndak sabaaar 🤯
Jujur, ini melebihi ekspektasi saya dan ternyata tema science fiction yang dibawakan cukup berat, jadi sempat jeda dan hampir mau dnf.
Karena cukup banyak tokoh yang disebutkan, itu juga senantiasa bikin saya bingung. Namun, saya baru ngeh kalau di bag akhir buku juga diinfokan tentang para tokoh.
Ohya, buat yang ngga paham tentang beberapa istilah, jangan khawatir karena penulis menyertakan catatan kakinya!
Walau memang, ternyata kemunculan alien atau makhluk di luar bumi baru disinggung di bagian akhir cerita.
Buku pertama karya Sandra Brown yang bikin saya menghela napas sepanjang mencoba menamatkan cerita. Ya, 'mencoba'.
Sebagai penggemar genre misteri dan kriminalitas—apalagi dibumbui suspense—tentu saya sudah berharap banyak dengan Friction. Tapi memang manusia sebaiknya tidak meninggikan ekspektasi dahulu, ya 😅
Bercerita tentang Crawford Hunt yang melakukan sidang dengar pendapat untuk mendapatkan hak asuh kembali atas Georgia membuat Friction 'di-klaim' menjadi kisah sebuah kasus yang penuh ketegangan 👮
Awal mula saya percaya bahwa fokus ceritanya lebih ke unsur suspense, di mana Hunt terlibat dalam sebuah kasus serius sementara si Hakim—Holly Spencer—berusaha menjaga reputasinya tetap aman. Namun, di tengah situasi yang rumit ini, mereka justru terlibat dalam hubungan pribadi yang sayangnya terasa dipaksakan—ngga jarang mikir, 'weh bukannya ini bikin bias hukum??' 👁👄👁
Tokoh Georgia, putri kecil Hunt saya rasa punya potensi untuk menambah makna cerita, tapi yang saya temui malah Brown seakan memfokuskan inti cerita pada romansa antara Hunt dan Holly 🕊
Pada awal cerita juga terasa sangat membosankan. Memang benar, jikalau sudah disebutkan siapa penembaknya, namun rasanya bertele-tele untuk mendapatkan benang merah motif pelaku dan dalang dibalik penembakan di ruang sidang saat itu 👩⚖️
Saya 'gemas' sekali dengan karakter Neil, Joe—si ayah mertua Hunt—, dan Hunt itu sendiri. Takkan saya debat, kalau masa lalu Hunt memang malang, tapi bagaimana penulis menggambarkan cara Hunt 'memandang' dan 'berpikir' tentang Holly, sejujurnya cukup membuat niat saya utk dnf semakin membesar. Walau begitu, mungkin akan cocok utk pembaca yang menyukai bumbu erotica dan romansa yang panas ❤️🔥
Saya akui, ketika memasuki halaman ke 400-an, diri ini sungguh tidak sabar untuk melihat bagaimana Hunt menghabisi pelaku dan nasib hak asuh Georgia. Walau lagi-lagi, kenyataan pahit harus saya telan karena rupanya ending tidak seterpecahkan seperti yang saya perkirakan.
Epic! Bagaimana realita kekerasan, kemiskinan, patriarki, ketidakpedulian orangtua, dan golongan minoritas dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang brutal dan apa adanya.
Berlatar di La Matosa, kota fiktif Meksiko—tepatnya di Desa Villa—, Musim Prahara membawa saya untuk melihat bagaimana badai kehancuran memerangkap dan menimbulkan konsekuensi terhadap kota ini.
Ohya, sebelum membaca, sebaiknya perhatikan rating age dan content warning nya ya. Karena mba Astrid tak hanya sekadar menerjemahkan karya Melchor namun dengan bahasa vulgar layaknya anak tongkrongan, Musim Prahara mungkin dapat menjadi buku tersinting sejauh yang pernah dibaca 💀
Namun, melalui terjemahan dan kontennya inilah, saya sukses diajak mengeksplorasi bagaimana dampak psikologis dan sosial timbul akibat praktik misogini dan objektifikasi pada masyarakat yang ada.
Rasanya, tiap struktur masyarakat kesenggol semua. Perempuan, laki-laki dan maskulinitasnya, sampai mereka yang menyimpang. Bahkan. Kalau disebutin content warning nya apa aja tuh serasa ngga cukup!
Tak hanya beragam isu sosial yang diangkat, namun kemampuan Melchor dalam menghadirkan tiap tokoh dengan karakter abu-abunya membuat emosi dan akal saya sebagai pembaca serasa dibenturkan terus.
Dan...sebenarnya ini buku yang cukup tipis. Tapi dengan format penulisannya yang dipakai: satu bab, hanya ada satu paragraf dan (seringnya) diakhiri dengan koma, saya sarankan untuk mempersiapkan waktu yang cukup karena ngga jarang saya merasa engap dan seakan diburu-buru—karena tidak ada jedanya.
Titanic. Siapa yg tidak mengenalnya? Wilhelm Gustloff. Apakah asing mendengarnya?
Salt to The Sea ikut menenggelamkan saya bersama tragedi MV Wilhelm Gustloff yg naas menjadi bencana paling mematikan dalam sejarah maritim.
Melalui 4 POV berbeda: Joana—si perawat dari Lithuania, Florian—seniman muda asal Prussia, Emilia—gadis 15 tahun asal Polandia, dan Alfred—si German Naval officer, saya dibuat merasakan langsung bagaimana Hannibal Operation dilakukan.
Yap, operasi yang melibatkan evakuasi warga sipil dan tentara Jerman dari Prussia dan menjadi salah satu evakuasi melalui laut terbesar dalam sejarah ⛴️
Dengan 4 POV berbeda ini awalnya membuat saya bingung, terlebih tiap POV nya singkat". Namun, sisi menguntungkannya adalah tidak berasa kalau sudah menghabiskan bacaan ini.
Layaknya menonton film dokumenter, ketegangan dan kengerian tiap tokoh terasa nyata dalam menghadapi angin kematian dan tembakan dari pasukan Russia dan Tentara Merah.
Menyeberangi danau es, muatan penumpang yg hampir 10x lipat dari batas maksimum, juga diserang torpedo. Sungguh terasa seperti tak ada harga utk tiap nyawa yg dimiliki.
Atmosfer tertekan yg berhasil diciptakan penulis saya jamin lahir dikarenakan buku ini ditulis dengan berbagai riset dan wawancara dari para korban/keluarga korban MV Wilhelm Gustloff.
Salt to The Sea akan menjadi buku yang paling saya rekomendasikan, terutama jika Anda penyuka genre Perang Dunia dan Sejarah.
Terakhir, kehancuran, kehilangan, kerugian, dan derita. Bukankah hanya itu yg disisakan oleh perang?
Sebagai pembuka, gently reminder seperti karyanya Cantik Itu Luka, Cinta Tak Ada Mati juga berisi konten yang sukses meneror mental pembaca dengan karakter dan kontennya yang abnormal dan “berani”—mungkin tepatnya liar—di saat bersamaan 🤧
Sebelumnya, terima kasih juga untuk teman saya yang sudah menyebutkan judul buku ini karena dengan tema dan latar waktu yang beragam, Cinta Tak Ada Mati sukses mengajak saya untuk melihat dan merenungi bagaimana orang-orang ‘buangan’ terdorong untuk melakukan tindakan tak lazimnya.
Meskipun ada beberapa bagian cerita yang tidak dapat saya maknai—karena belum mudeng—tapi ajaibnya saya tetap dapat menikmati cerita pendek lainnya yang dibawakan.
Berbicara tentang favorit, saya suka dengan:
1. Kutukan Dapur—yang berbicara lebih jauh dari sekadar perlawanan budak wanita pada masa kolonial 👍🏻
2. Lesung Pipit—wanita yang membebaskan diri dari pernikahan paksa dengan cara yang ngga terbayang oleh saya 🤯
3. Cinta Tak Ada Mati—part terpanjang sekaligus diakhiri dengan ending yang completely dropped my jaw 💀
4. Surau—menyindir orang beribadah tapi seringkali tak tahu tujuan.
5. Caronang—menunjukkan perlawanan yang ‘unik’ dengan realisme magisnya 🦊
6. Bau Busuk—tentang komunis dan petrus. Bagudd!
7. Pengakoean Seorang Pemadat Indis—walaupun susah dicerna tapi suka karena berasa diajak nostalgia dengan ejaan jaman dulu 🥹
8. Jimat Sero—tentang seorang korban bully yang dihadiahi jimat dengan bayaran yang lagi-lagi bikin tercengang 😨
9. Tak Ada yang Gila di Kota Ini—penutup yang ‘cakep’ banget karena merefleksikan normalitas dalam masyarakat 🤐
Benar adanya kalau membaca karya Mas Eka ngga jarang bikin capek pikiran dan mental tapi seorang penulis harus dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan unik, bukan?
Rapatkan barisan dan mari berpegang tangan bersama, kawan. Karena White Nights bukan hanya sekadar kisah romansa, tapi juga memotret kegelisahan dan kesendirian seorang yang mendamba kekasih 🥹🤝
Oke, sebelumnya, saya tahu Dostoyevsky semenjak lewat thread tentang Demons-nya beliau, dan siapa sangka—sebagai pembaca yang sebenarnya menghindari romance thingy—White Nights membuat saya jatuh cinta dengan bagaimana Dostoyevsky mengisahkan tokoh aku yang introvert, terasing dari dunia sekitar sehingga membuatnya menghabiskan waktunya dengan membayangkan kehidupan romantis dalam pikirannya—nah loh, kek siapa wkwk—hingga suatu malam, ia bertemu dengan Nastenka.
Pertemuan yang bukan hanya sekadar pertemuan yang tidak sengaja inilah yang akan membuat pembaca beneran ikut merasakan greget dan relate kalau pengaruh keterasingan dan memimpikan seseorang memang bukan main rasanya.
Keduanya ini terhubung dan terkonek dengan janji pertemanan untuk bertemu di malam-malam berikutnya. Tokoh Aku dan Nastenka juga saling mengisahkan kisahnya masing-masing yang ngga jarang bikin saya, “ah, been in your shoes”. And the saddest part is sang tokoh Aku justru berharap pada Nastenka, sedangkan Nastenka sedang berharap dan menunggu pria lain 💔
Saya tidak bisa menyalahkan Nastenka untuk keputusan akhirnya, but surely, we all agree that the letter is a bit too much? 🤧 Yah, walau memang tokoh Aku juga sebaiknya lebih membuka diri supaya ia tidak terus menerus hidup dalam pikirannya sendiri.
Terakhir, White Nights yang dilabeli sebagai karya klasik ternyata pemilihan bahasanya tidak sesulit yang saya perkirakan. Walau memang banyak kosakata (puitis) baru yang saya temui, namun buku ini beneran mendeskripsikan “last hug” sebenarnya 🙈
"Kosong". Itu kesan yg saya rasakan selepas menutup buku ini.
Saat mendengar kata Auschwitz dan Holocaust, biasanya atmosfer mengerikan dan penuh simpati akan menyelimuti namun entah mengapa dalam buku ini justru saya merasa kosong 👣
The Tattooist of Auschwitz menceritakan kisah Lale Solokov, seorang juru tato selama mjd tahanan Auschwitz—yah, tahu kan makna tatonya? 💔
Namun, hela napas berat terpaksa saya lepaskan karena ekspektasi tinggi utk kisah yg dalam & emosional harus berakhir sia-sia.
Jujur, saya amat ingin menyukai buku ini—gmn ngga, wong buku yg saya idamkan sejak masa sekolah menengah—terutama dengan berdasar pada kisah nyata, saya yakin The Tattooist of Auschwitz dapat mjd kisah yg lebih emosional terutama berkaitan dg para tahanan Kamp Konsentrasi.
Saya kian berdoa saat membuka halaman demi halaman, namun emosi & simpati itu tidak kunjung saya rasakan—ndak konek scr emosional dengan plot dan main chara.
Kisah cinta antara Lale dan Gita memang menjadi percikan tersendiri, namun saya pikir fokusnya justru berakhir menjadi spt roman picisan—berputar ttg lovebird ini 🤧
Walau begitu, memang dalam beberapa hal, buku ini memberi saya pengetahuan lain ttg yg belum saya tahu. Terutama dg kata pengantar yg ditulis oleh putra Lale dan Gita, serta additional information lainnya di penghujung buku.
"Cover cantik, isinya juga cantik", itu kesimpulan saya selepas membaca Anak Rantau. Saya akui kalau saya memboyong novel ini dikarenakan jatuh hati dengan covernya, dan siapa yang menyangka kalau isinya pun 'daging'.
Diawali dengan prolog yg mendebarkan, bang Fuadi seperti khasnya membubuhkan banyak petuah-petuah dan taman bunga kata-kata dalam karyanya. Tentu, sama seperti karyanya yang lain, Anak Rantau juga diisi dengan pendidikan.
Awal mula saya berpikir kalau Anak Rantau bercerita tentang sosok seperti Alif, namun ternyata lebih dalam dan berwarna.
Hepi, seorang anak Jakarta yang diceritakan berusaha 'menarik' perhatian sang ayah di hari pembagian raportnya, ternyata justru berakhir dikirim ke rumah sang kakek dan nenek di tanah Minang. Berada di tanah Minang inilah yang nantinya akan membentuk dan mendidik karakter Hepi.
Saya pikir ada beberapa part yang tak perlu dikisahkan dan takkan mengubah jalan dan makna cerita. Saya senang dan 'terpukul' dengan kisah Pandeka Luko yang tanpa sadar juga mengiyakan dan setuju dengan kisah-kisah beliau yang menyayat hati.
Menuju akhir cerita, plot twist banyak ditemukan. Walau beberapa sudah saya tebak sejak awal dan benar, namun ngga nyangka kalau ternyata Pandeka Luko kakeknya Hepi! Pengembangan tiap karakter juga cukup memuaskan, terlebih dengan mantra "maafkan, maafkan, maafkan, lupakan". Semoga kita senantiasa berbesar hati untuk memaafkan ya.
Lebih jauh daripada itu, adalah benar pendidikan dan guru yang tepat akan mempengaruhi karakter para penerus bangsa. Memang, mendidik anak bukan duduk perkara yang mudah, tapi masa anak-anak adalah masa emas untuk membentuk moral dan karakternya, kan?
Walaupun saya baru mendapat feel dan pace nya setelah menghabiskan ratusan halaman, saya ucapkan terima kasih terkhusus pada Penulis karena dengan karyanya ini, saya merasa dipeluk dan dituntun bareng. Terakhir, saya jadi pengen terbang langsung ke Minang karena budaya yang diceritakan di Anak Rantau ini bikin penasaran <3
Okay, dalam rangka memberanikan diri mencoba baca manga dalam origin language-nya, mari ulas karya yang hype di kalangan pecinta jejepangan ini.
Sayonara Eri berpusat pada 2 orang anak muda, Yuta dan Eri. Pada awal panel, dapat dilihat bahwa Yuta saat itu sedang berulang tahun ke-12 dan dihadiahi ibunya sebuah handphone di mana handphone ini nantinya akan merekam sisa-sisa hari sang ibu yang divonis suatu penyakit.
Jujur aja, awalnya saya ngga expect karena sebagai penderita silinder, baca manga ini ternyata cukup triggering. Bagaimana ngga, wong hampir setiap panel digambar berbayang—benar" berasa lg nonton film dokumenter bukannya baca manga 😁
Part Yuta yang lari setelah dapat kabar kalau ibunya lg sekarat pun bohong kalau ngga bikin sedih. Siapa sih yang siap ditinggal orang terkasih, apalagi ibunya ? Tapi sebelumnya pun, sang ibu punya permintaan yang "gila" di mana Yuta diminta ttp merekam momen" terakhir ibunya—ibu sendiri lg sekarat, divideoin, yo meringis atiku, rek.
Yuta pun akhirnya ngajuin filmnya ini ke sekolah untuk tugas proyek dengan ending yang sulit ditebak yang membuat temen" nya akhirnya mencemooh dan bikin Yuta berniat bunuh diri. Yuta bahkan udah bikin video perpisahannya buat sang ayah sebelum bener" melompat dari atas gedung.
Percobaan bunuh dirinya digagalin karena tiba" muncul Eri, gadis misterius yang ternyata satu sekolah dengan Yuta. Eri dan Yuta pun akhirnya berteman dan semacam bikin perjanjian juga di mana Yuta akan merekam Eri layaknya Yuta merekam ibunya. Jujur, di sini udah ngira, apa jangan" Eri jg akan bernasib sama layaknya ibu Yuta ? 🤔
Pertanyaan pun dijawab karena ternyata benar, Eri menderita sakit di akhir dan yep, Yuta kehilangan Eri juga. Menuju akhir cerita, Yuta kembali ke markas tempatnya bersama Eri sering bersama. Di markas ini, jujur sebenarnya saya jadi memikirkan teori" wkwk, karena tiba" aja Eri pun muncul juga di markas!
Kayak, Eri vampir ? Atau gimana sih ? Wkwk. Dan karena ini jg lah saya jd nyari" dan baca" teori Goodbye, Eri yang ada di peramban.
Cerita juga sepertinya diakhiri dengan open ending. Jujur saya bertanya", kenapa ledakan ? Ledakan yang sama dg bagaimana Yuta mengakhiri film ibunya ? Ada makna tertentu kah ?
Bagaimana pun, saya pikir Goodbye, Eri mengajarkan tentang bagaimana kita memilih akan menyikapi atau mengingat seperti apa seseorang yang sudah meninggalkan kita.