Take a photo of a barcode or cover
Ngilu baca bukunya, hiks hiks hiks.
Saya penyuka buku-buku yang dimana suasana yang digambarkan oleh si penulis dalam buku tersebut bisa membuat kita merasa seolah benar-benar 'ada di dunia tempat cerita tersebut berlangsung', dan buku inilah salah satunya. Ditambah ceritanya murni buatan orang Indonesia pula, dengan segala keluguan dan keterpurukan Dukuh Paruk di masa lalu, benar-benar nilai plus. Penggambarannya jelas, meskipun diceritakan dengan gaya bahasa 'lama' namun sangat bisa dimengerti.
Dan ceritanya, yang sebenarnya simple, namun dibuat sangat-complicated-dan-menyayat-hati.
Sebutlah Srintil dan Rasus, teman sepermainan di masa kecil dari Dukuh Paruk, yang saling menyukai -namun keadaan berubah begitu Srintil dititahkan untuk menjadi ronggeng. Posisi seorang Ronggeng, di Dukuh Paruk bukan main-main. Ia dihormati, semua laki-laki ingin menyawer, menari (dan bertayub) dengannya. Bila Srintil naik panggung seluruh warga Dukuh Paruk melihat. Namun justru inilah yang kemudian membuat Rasus menjauh -ia membenci keadaan Srintil yang harus menjadi ronggeng dan menjadi 'milik semua orang'.
Singkat cerita, Rasus pergi dari Dukuh Paruk dan menjadi tentara. Hingga pada suatu ketika peristiwa 1965 terjadi dan mengakibatkan Srintil ditahan di penjara hingga 2 tahun lamanya. Selepas ditahan, Srintil tidak mau lagi menjadi ronggeng. Ia ingin hidup layaknya perempuan biasa -ingin menikah, punya anak dan punya keluarga, namun ia malu dengan statusnya sebagai ronggeng yang sudah pernah 'dinaiki' banyak orang serta sebagai mantan tahanan. Di lain sisi, masih banyak laki-laki yang memperlakukannya sebagai ronggeng, mereka bersedia 'membayar' Srintil untuk 'menari' bersama mereka.
Suatu ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan bertemu Srintil. Di bagian ini, haduh, rasanya gemes setengah mati. Terutama ketika Srintil minta dinikahi; Sakum & Sakarya juga menyarankan Rasus untuk menjadikan Srintil sebagai istri; dan Rasus malah menolak. Kalau saya bilang, gengsinya ketinggian.
Bagian yang paling menyedihkan, tentu saja, endingnya. Rasanya 'keterlaluan' sampai menjadikan Srintil gila seperti itu. Padahal sampai bagian-bagian akhir saya masih berharap Rasus bakalan balik kemudian menikah dengan Srintil. Namun justru sebenarnya disitu juga kelebihan ceritanya. Begitu selesai membaca Ronggeng Dukuh Paruk ini, rasanya ada haru, ada sedih, namun diluar itu semua, ada kagum yang mendalam akan cara Bpk Ahmad Tohari menceritakan kisah Srintil & Rasus ini. Benar-benar seperti diserabut dari dunia lain.
Saya jatuh cinta pada tokoh Rasus dengan segala kekeraskepalaannya; kecintaannya pada Srintil meskipun ia lebih memilih untuk tidak menikah dengan gadis tersebut -saya jatuh cinta pada Dukuh Paruk, seperti yang diceritakan dalam buku ini, dengan segala keterpurukan, kebodohan dan keluguannya, serta sifat 'nrimo pandum' yang mereka anut. Saya jatuh cinta pada Goder, seorang anak kecil yang bisa menggerakkan hati Srintil dan menumbuhkan kasih sayang hingga Srintil menginginkan kehidupan sebagai perempuan 'yang sebenarnya'. Saya jatuh cinta pada penceritaan buku ini, meskipun endingnya bikin kepingin nangis ngilu karena terbayang akan nasib Srintil.
Two thumbs up!
PS:
Lagi cari-cari versi film-nya, Sang Penari (2011). Kemarin itu waktu November tahun lalu tayang di Cineplex nggak sempet nonton karena memang belum tertarik, eeeh sekarang malah jadi terobsesi begini :p
Saya penyuka buku-buku yang dimana suasana yang digambarkan oleh si penulis dalam buku tersebut bisa membuat kita merasa seolah benar-benar 'ada di dunia tempat cerita tersebut berlangsung', dan buku inilah salah satunya. Ditambah ceritanya murni buatan orang Indonesia pula, dengan segala keluguan dan keterpurukan Dukuh Paruk di masa lalu, benar-benar nilai plus. Penggambarannya jelas, meskipun diceritakan dengan gaya bahasa 'lama' namun sangat bisa dimengerti.
Dan ceritanya, yang sebenarnya simple, namun dibuat sangat-complicated-dan-menyayat-hati.
Sebutlah Srintil dan Rasus, teman sepermainan di masa kecil dari Dukuh Paruk, yang saling menyukai -namun keadaan berubah begitu Srintil dititahkan untuk menjadi ronggeng. Posisi seorang Ronggeng, di Dukuh Paruk bukan main-main. Ia dihormati, semua laki-laki ingin menyawer, menari (dan bertayub) dengannya. Bila Srintil naik panggung seluruh warga Dukuh Paruk melihat. Namun justru inilah yang kemudian membuat Rasus menjauh -ia membenci keadaan Srintil yang harus menjadi ronggeng dan menjadi 'milik semua orang'.
Singkat cerita, Rasus pergi dari Dukuh Paruk dan menjadi tentara. Hingga pada suatu ketika peristiwa 1965 terjadi dan mengakibatkan Srintil ditahan di penjara hingga 2 tahun lamanya. Selepas ditahan, Srintil tidak mau lagi menjadi ronggeng. Ia ingin hidup layaknya perempuan biasa -ingin menikah, punya anak dan punya keluarga, namun ia malu dengan statusnya sebagai ronggeng yang sudah pernah 'dinaiki' banyak orang serta sebagai mantan tahanan. Di lain sisi, masih banyak laki-laki yang memperlakukannya sebagai ronggeng, mereka bersedia 'membayar' Srintil untuk 'menari' bersama mereka.
Suatu ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan bertemu Srintil. Di bagian ini, haduh, rasanya gemes setengah mati. Terutama ketika Srintil minta dinikahi; Sakum & Sakarya juga menyarankan Rasus untuk menjadikan Srintil sebagai istri; dan Rasus malah menolak. Kalau saya bilang, gengsinya ketinggian.
Bagian yang paling menyedihkan, tentu saja, endingnya. Rasanya 'keterlaluan' sampai menjadikan Srintil gila seperti itu. Padahal sampai bagian-bagian akhir saya masih berharap Rasus bakalan balik kemudian menikah dengan Srintil. Namun justru sebenarnya disitu juga kelebihan ceritanya. Begitu selesai membaca Ronggeng Dukuh Paruk ini, rasanya ada haru, ada sedih, namun diluar itu semua, ada kagum yang mendalam akan cara Bpk Ahmad Tohari menceritakan kisah Srintil & Rasus ini. Benar-benar seperti diserabut dari dunia lain.
Saya jatuh cinta pada tokoh Rasus dengan segala kekeraskepalaannya; kecintaannya pada Srintil meskipun ia lebih memilih untuk tidak menikah dengan gadis tersebut -saya jatuh cinta pada Dukuh Paruk, seperti yang diceritakan dalam buku ini, dengan segala keterpurukan, kebodohan dan keluguannya, serta sifat 'nrimo pandum' yang mereka anut. Saya jatuh cinta pada Goder, seorang anak kecil yang bisa menggerakkan hati Srintil dan menumbuhkan kasih sayang hingga Srintil menginginkan kehidupan sebagai perempuan 'yang sebenarnya'. Saya jatuh cinta pada penceritaan buku ini, meskipun endingnya bikin kepingin nangis ngilu karena terbayang akan nasib Srintil.
Two thumbs up!
PS:
Lagi cari-cari versi film-nya, Sang Penari (2011). Kemarin itu waktu November tahun lalu tayang di Cineplex nggak sempet nonton karena memang belum tertarik, eeeh sekarang malah jadi terobsesi begini :p
Srintil, Rasus, dan segala hiruk pikuk warga Dukuh Paruk. Memang adat dan sejarah seharusnya tidak dicampuradukkan. Namun mau dikata apa, kita hidup harus maju mengikuti zaman. Buku ini membawa kita dalam perasaan seorang wanita yang paling dalam. Tentang wanita yang ingin dicintai dengan tulus, tentang wanita yang ingin dilihat keakuannya, yang ingin disentuh jiwa dan rasanya, bukan dijadikan sebagai objek pemuas hasrat nafsu duniawi.
Buku ini banyak mengajarkan tentang orang bodoh yang bahagia karena tidak tahu apa-apa. Banyak hal di buku ini yang menjadi tamparan buat saya pribadi karen saya masih belum mampu membantu banyak orang di sekitar saya, padahal mereka sangat membutuhkan.
Sedih, nasib seorang perempuan hanya dianggap sebagai perempuan milik bersama. Akhirnya, dia gila karena tidak mampu menahan rasa malu akan masa lalunya.
Sedih, nasib seorang perempuan hanya dianggap sebagai perempuan milik bersama. Akhirnya, dia gila karena tidak mampu menahan rasa malu akan masa lalunya.
Buku ini sudah mengendap di sudut rak buku saya sekurang-kurangnya 7 tahun—pernah saya baca kira-kira seperempatnya, tapi itu pun sudah lama sekali. Dulu saya bukan penikmat fiksi-fiksi literatur semacam ini, jadi rasanya wajar saja saya tidak pernah benar-benar tertarik membaca buku ini saat usia saya masih belasan.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang kehidupan Srintil dan Rasus, dua anak Dukuh Paruk yang ditinggal mati ayah-ibunya akibat tragedi racun tempe bongkrek (yang saya sendiri tidak tahu apa itu atau bagaimana wujudnya). Srintil kemudian menjadi ronggeng, dan Rasus menjadi tentara—sederhananya begitu. Lebih dari itu, buku ini bercerita tentang Dukuh Paruk, kampung tertinggal di Dawuan yang setiap penduduknya buta huruf, melarat, dan hidup dalam norma-norma yang mungkin kurang lazim jika dianut di daerah lain.
Srintil sejak kecil senang menari, dan tetua Dukuh Paruk dibuatnya percaya bahwa ada indang ronggeng dalam dirinya—syarat utama menjadi ronggeng yang sebenarnya. Semua gembira, kecuali Rasus yang telah lama menjadikan Srintil perwujudan ibunya yang hilang entah di mana. Tapi Srintil tetap harus menjadi ronggeng, dan Rasus yang marah pada Dukuh Paruk karena menjadikan perwujudan ibunya seorang ronggeng minggat untuk menjadi tentara tanpa pangkat. Ia pergi meninggalkan dua: Srintil yang patah hati luar biasa, dan Dukuh Paruk yang damai dan bergembira dengan kehadiran ronggeng di tengah-tengahnya.
Menjadi ronggeng, tentu saja bukan hanya perkara menari—ia korban dominasi budaya patriarki. Dan menjadi penduduk Dukuh Paruk juga bukan hanya perkara hidup dalam keluguan—ia korban hiruk pikuk politik Indonesia di tahun 1965. Srintil dan kelompok ronggengnya dianggap berkaitan dengan PKI, dan karenanya seluruh pedukuhan dilalap api, sosok-sosok pentingnya dibui.
Secara kasat mata, barangkali akan banyak yang melihat Ronggeng Dukuh Paruk sebagai sebuah love story—yang saya rasa tepat, namun hanya secara parsial. Srintil mencintai Rasus, mencintai juga keperempuanannya—semula yang dapat menguasai laki-laki, kemudian yang menginginkan 'tempat berlabuh'. Rasus mencintai (atau mungkin lebih tepatnya merindukan) sosok Emak, mencintai juga Dukuh Paruk, tanah airnya yang tidak seberapa. Sakarya mencintai kesetiaannya pada Ki Secamenggala. Kartareja dan istrinya mencintai penghasilan mereka sebagai dukun ronggeng.
Membaca Ronggeng Dukuh Paruk, rasanya seperti melihat dengan mata kepala sendiri segala kejadian di dalamnya berkat penuturan yang mendetail. Isi pikir setiap tokohnya juga diuraikan secara rinci, sehingga setiap bagian cerita terasa sangat manusiawi—meski mungkin bagi sebagian orang ini menjadikannya terkesan lambat dan terlalu bertele-tele.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang kehidupan Srintil dan Rasus, dua anak Dukuh Paruk yang ditinggal mati ayah-ibunya akibat tragedi racun tempe bongkrek (yang saya sendiri tidak tahu apa itu atau bagaimana wujudnya). Srintil kemudian menjadi ronggeng, dan Rasus menjadi tentara—sederhananya begitu. Lebih dari itu, buku ini bercerita tentang Dukuh Paruk, kampung tertinggal di Dawuan yang setiap penduduknya buta huruf, melarat, dan hidup dalam norma-norma yang mungkin kurang lazim jika dianut di daerah lain.
Srintil sejak kecil senang menari, dan tetua Dukuh Paruk dibuatnya percaya bahwa ada indang ronggeng dalam dirinya—syarat utama menjadi ronggeng yang sebenarnya. Semua gembira, kecuali Rasus yang telah lama menjadikan Srintil perwujudan ibunya yang hilang entah di mana. Tapi Srintil tetap harus menjadi ronggeng, dan Rasus yang marah pada Dukuh Paruk karena menjadikan perwujudan ibunya seorang ronggeng minggat untuk menjadi tentara tanpa pangkat. Ia pergi meninggalkan dua: Srintil yang patah hati luar biasa, dan Dukuh Paruk yang damai dan bergembira dengan kehadiran ronggeng di tengah-tengahnya.
Menjadi ronggeng, tentu saja bukan hanya perkara menari—ia korban dominasi budaya patriarki. Dan menjadi penduduk Dukuh Paruk juga bukan hanya perkara hidup dalam keluguan—ia korban hiruk pikuk politik Indonesia di tahun 1965. Srintil dan kelompok ronggengnya dianggap berkaitan dengan PKI, dan karenanya seluruh pedukuhan dilalap api, sosok-sosok pentingnya dibui.
Secara kasat mata, barangkali akan banyak yang melihat Ronggeng Dukuh Paruk sebagai sebuah love story—yang saya rasa tepat, namun hanya secara parsial. Srintil mencintai Rasus, mencintai juga keperempuanannya—semula yang dapat menguasai laki-laki, kemudian yang menginginkan 'tempat berlabuh'. Rasus mencintai (atau mungkin lebih tepatnya merindukan) sosok Emak, mencintai juga Dukuh Paruk, tanah airnya yang tidak seberapa. Sakarya mencintai kesetiaannya pada Ki Secamenggala. Kartareja dan istrinya mencintai penghasilan mereka sebagai dukun ronggeng.
Membaca Ronggeng Dukuh Paruk, rasanya seperti melihat dengan mata kepala sendiri segala kejadian di dalamnya berkat penuturan yang mendetail. Isi pikir setiap tokohnya juga diuraikan secara rinci, sehingga setiap bagian cerita terasa sangat manusiawi—meski mungkin bagi sebagian orang ini menjadikannya terkesan lambat dan terlalu bertele-tele.
dark
slow-paced
Plot or Character Driven:
Character
Strong character development:
Yes
Loveable characters:
Yes
Diverse cast of characters:
No
Flaws of characters a main focus:
No
Aku awalnya penasaran gimana perjalanan Srintil jadi ronggeng. Makin dibaca makin hmm okelah meskipun agak capek dengan deskripsi penulis tentang semua hal mulai dari deskripsi desa, hewan, hingga tokohnya. Tapi aku suka bagaimana Ahmad Tohari bisa merajut kata2 menjadi kalimat indah.
Dari pertengahan ke belakang, aku merasa makin sedih sama nasib Srintil. Ah sangat sulit menceritakan apa yang aku pikirkan tentang buku ini terutama semua tokohnya.
Dari pertengahan ke belakang, aku merasa makin sedih sama nasib Srintil. Ah sangat sulit menceritakan apa yang aku pikirkan tentang buku ini terutama semua tokohnya.
Salah satu novel Indonesia terbaik yang pernah saya baca. Keseluruhan cerita, tokoh dan deskripsi ditulis dengan rasa yang kaya, realistis dan dengan pendalaman yg bijaksana. Rekaman sejarah ditulis dengan berimbang dari sudut pandang yang jarang diungkap. Sungguh patah hati lah saya dengan sikap Rasus di tengah-tengah cerita. Namun begitulah sifat manusia, tidak pernah mendewasa dalam sekali jadi.
Saya membaca buku ini menggunakan platform digital, bukan beli tapi meminjam di e-library milik Kementerian Keuangan.
Jelas, saya membaca buku ini karena banyak sekali review positif dari banyak bookfluencer setelah melahap bacaan ini. Hingga akhirnya saya berhasil menemukan buku ini free to read di platform digital itu.
Saya sudah kena spill kalau gaya penulisan Ahmad Tohari itu sungguh detil dalam menggambarkan latar suatu cerita. Dan Ronggeng Dukuh Paruk dibuka dengan paragraf yang begitu indah. Menggambarkan bagaimana kondisi Dukuh Paruk yang masih asri dengan segala kemelaratannya dan alam yang menaunginya.
Ahmad Tohari benar-benar seperti menulis puisi dalam setiap paragrafnya. Beberapa kali memang terkesan bertele-tele tapi seringnya itu justru memperkuat saya sebagai pembaca untuk menyelami dan diajak untuk ikut merasakan pergulatan batin para tokohnya.
Ronggeng Dukuh Paruk juga ikut menceritakan bagaimana efek samping yang luar biasa pasca kejadian "geger komunis 1965" bagi seorang bekas tahanan dan struktur kemasyarakatan.
Buku ini diakhiri dengan kondisi yang sungguh tragis dan memilukan. Bagaimana seorang yang dulunya jaya bisa menjadi gila karena harapan yang begitu tinggi dihempas begitu saja menghujam ke dalam bumi.
"Bahwa zaman berjalan sambil mengayun ke kiri dan ke kanan. Setelah Dukuh Paruk mencapai puncak kebanggaan, kini zaman mengayunkannya ke kurun yang membawa serta kebalikannya.”
Jelas, saya membaca buku ini karena banyak sekali review positif dari banyak bookfluencer setelah melahap bacaan ini. Hingga akhirnya saya berhasil menemukan buku ini free to read di platform digital itu.
Saya sudah kena spill kalau gaya penulisan Ahmad Tohari itu sungguh detil dalam menggambarkan latar suatu cerita. Dan Ronggeng Dukuh Paruk dibuka dengan paragraf yang begitu indah. Menggambarkan bagaimana kondisi Dukuh Paruk yang masih asri dengan segala kemelaratannya dan alam yang menaunginya.
Ahmad Tohari benar-benar seperti menulis puisi dalam setiap paragrafnya. Beberapa kali memang terkesan bertele-tele tapi seringnya itu justru memperkuat saya sebagai pembaca untuk menyelami dan diajak untuk ikut merasakan pergulatan batin para tokohnya.
Ronggeng Dukuh Paruk juga ikut menceritakan bagaimana efek samping yang luar biasa pasca kejadian "geger komunis 1965" bagi seorang bekas tahanan dan struktur kemasyarakatan.
Buku ini diakhiri dengan kondisi yang sungguh tragis dan memilukan. Bagaimana seorang yang dulunya jaya bisa menjadi gila karena harapan yang begitu tinggi dihempas begitu saja menghujam ke dalam bumi.
"Bahwa zaman berjalan sambil mengayun ke kiri dan ke kanan. Setelah Dukuh Paruk mencapai puncak kebanggaan, kini zaman mengayunkannya ke kurun yang membawa serta kebalikannya.”
Ahmad Tohari dengan detail mendeskripsikan Dukuh Paruk, baik kondisi geografisnya maupun masyarakatnya. Digambarkan masyarakat Dukuh Paruk adalah masyarakat miskin, bodoh, polos dan memiliki nilai primordial yg kuat. Kepolosan masyarakat Dukuh Paruh dimanfaatkan oleh pihak2 yang ingin berkuasa dan diacuhkan oleh aparat yang bebal.
Tokoh Srintil juga dideskripsikan dengan detail.Tetapi karena sudah terlebih dahulu menonton adaptasi novel ini, di benak saya yg terbayang sebagai Srintil adalah Prisia Nasution dan Rasus adalah Oka Antara. Walaupun banyak perbedaan antara novel dan adaptasi bukunya.
Tokoh Srintil juga dideskripsikan dengan detail.Tetapi karena sudah terlebih dahulu menonton adaptasi novel ini, di benak saya yg terbayang sebagai Srintil adalah Prisia Nasution dan Rasus adalah Oka Antara. Walaupun banyak perbedaan antara novel dan adaptasi bukunya.